: Bait Bait Jiwa: 2016

Tuesday, November 22, 2016

MENDAULATKAN DINAR DAN DIRHAM SEBAGAI MATA UANG TUNGGAL DUNIA ISLAM







Sunday, 20 April 2008M. Shabri H. Abd. Majid
The IIUM Institute of Islamic Banking & Finance (IIiBF)
International Islamic University, Malaysia (IIUM)
E-Mail: mshabri@iiu.edu.my

Abstract
This paper highlights the superioties of Islamic gold dinar and silver dirham over the current paper money (fiat money). Many contemporary Islamic economists believe that dinar and dirham are a desirable alternative of money viewed from social, economic, politic and religious perpectives. The paper then focuses on both prospects and challenges faced by the Muslim countries in their efforts to return to dinar and dirham. At the initial stage of implementating dirnar and dirham, the current fiat money, dinar and dirham may coexist while a transition takes place gradually. The gradual implementation of dinar and dirham is aimed at avoiding shock to the economy. In addition, the Muslim efforts to return to dinar and dirham will be eased by the advancement of Information and Technology (IT) and internet. The paper finally discusses the transaction models of dinar and dirham. From these transaction models, it is found that a small bushel of the gold can support a large number of international transactions.

1. Pendahuluan
Kenapa setiap meningkatnya (appresiasi) nilai Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, maka ekonomi Indonesia dianggap sedang membaik? Sebaliknya, bila nilai Rupiah merosot (depresiasi), maka ekonomi Indonesia dianggap semakin labil. Apakah kepulihan ekonomi sesuatu negara pantas disandarkan pada naik-turunnya nilai uang mereka terhadap Dolar? Bagaimana kalau appresiasi Rupiah terjadi bersamaan dengan depresiasi Dolar, apakah masih memiliki implikasi yang sama? Tentu jawabannya tidak. Dengan kata lain, tatkala nilai Rupiah konstan, tetapi Dolar yang mengalami depresiasi—seolah-olah nilai Rupiah naik dengan sendirinya—maka menguatnya perekonomian Indonesia tidak dapat disandarkan pada naik-turunnya nilai Dolar. Jadi, mengukur tingkat kepulihan dan pertumbuhan ekonomi negara berdasarkan appresiasi atau depresiasi nilai uang domestik terhadap Dolar adalah suatu metode keliru.
Kenapa Dolar tidak bisa dijadikan tolok ukur kepulihan, kemakmuran dan juga pertumbuhan ekonomi? Ini karena Dolar bukanlah mata uang yang terjamin kestabilannya. Tidak stabilnya nilai Dolar adalah, inter alia, disebabkan fluktuasi tingkat inflasi dan adanya tindakan spekulasi dalam pasar valuta asing (Valas). Ini semua akan mempengaruhi jumlah permintaan dan penawaran Dolar. Bahkan pendewaan Dolar telah menyebabkan nilai Rupiah semakin rapuh dan perekonomian Indonesia semakin labil. Sebagai contoh, keterpaksaan Indonesia untuk membiayai pembangunan negara bersumber dari hutang pada negara-negara maju dimana proses peminjaman dan pembayaran hutang yang melibatkan Dolar, tentunya, akan semakin memperlemah nilai Rupiah pada khususnya dan juga perekonomian Indonesia pada umumnya. Semakin banyak permintaan Dolar, maka akan semakin tinggi nilai Dolar di pasar Valas. Sebaliknya, semakin banyak jumlah Rupiah yang ditawarkan, maka nilai Rupiah akan semakin melemah. Ini semua tidak akan terjadi andaikata kita telah mengadopsikan Dinar (emas) dan Dirham (perak) sebagai mata uang negara. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi bangsa Indonesia dan umat Islam untuk bersandar pada mata uang yang memiliki tingkat kestabilan yang lebih terjamin tanpa dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran uang, bebas dari inflasi, bunga (riba), gharar, gambling, dan unsur-unsur spekulatif. Umat Islam harus segera melepaskan rantai ketergantungan mereka pada negara-negara maju (Dolar). Maka tiada pilihan lain, dan pilihan itu adalah pilihan yang paling tepat, yaitu “back to Dinar and Dirham”, seperti telah digunakan sejak zaman Romawi hingga ambruknya Kekhalifahan Usmaniyah, 1924. Kestabilan  uang Dinar (emas) dan Dirham (perak), sebenarnya, juga telah diakui dunia kapitalis. Contohnya, ketika kembali menggunakan uang standar emas pada tahun 1879, tingkat inflasi di Amerika Serikat menurun drastis menyamai tingkat inflasi pada tahun 1861, pada saat uang standar emas digunakan.

2. Sekilas Sejarah Dinar
Banyak yang berpendapat bahwa mata uang Dinar merupakan warisan kekhalifahan dunia Islam. Dalam makalahnya, “Sejarah Penggunaan Matawang Dinar” yang dipresentasikan pada National Dinar Conference di Kuala Lumpur, Anwar (2002) mengatakan bahwa mata uang Dinar telah mulai dicetak dan digunakan sejak masa awal pemerintahan Islam. Namun, kata “Dinar” bukanlah berasal dari bahasa Arab, tetapi  berasal dari bahasa Yunani dan Latin atau mungkin merupakan versi lain dari bahasa Aramaic-Persia “Denarius”. Sementara itu, Dirham diambil dari uang perak “Drahms”, yang digunakan orang-orang Sassan di Persia. Drahms telah diambil dari nama uang perak “Drachma” yang digunakan oleh orang-orang Yunani.
Pada dasarnya, Dinar dan Dirham yang pertama sekali digunakan umat Islam adalah dicetak oleh orang-orang Persia. Dirham perak Sassanian Yezdigird III adalah mata uang koin (logam) yang pertama digunakan umat Islam. Kemudian, Dinar dan Dirham yang digunakan pada masa Khalifah Usman bin Affan juga tidak jauh berbeda dengan koin yang digunakan bangsa Persia, kecuali perbedaan penulisan bahasa di sisi uang Dirham tersebut. Penulisan bahasa Arab dengan nama Allah dan bagian dari ayat-ayat al-Qur’an di Dinar dan Dirham sudah menjadi budaya umat Islam kala itu tatkala mencetak uang Dinar.
Dirham yang pertama dicetak adalah oleh Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan pada tahun 695 Masehi. Beliau mengarahkan Al-Hajjaj untuk mencetak Dirham dengan nilai 10 Dirham yang mempunyai harga sama dengan 7 Dinar (mithqal). Setahun kemudian, beliau menyerukan agar Dinar dicetak dan digunakan di seluruh wilayah kekuasaannya. Di koin Dinar itu, kata-kata “Allah adalah Esa” dan “Allah adalah Abadi” ditulis menggantikan gambar-gambar binatang yang sebelumnya tertera di Dinar.  Sejak saat itu, uang Dinar telah pula dicetak berbentuk bulat, di satu sisi bertuliskan “La Ilaha Illallah” dan “Alhamdulillah” dan di sisi lain tertera nama Khalifah yang mencetak uang dan tanggal pencetakannya. Kemudian, sudah menjadi hal yang lumrah, di atas koin Dirham ditulis “Sallallahu ‘Alayhi Wa Sallam” dan kadang-kadang ditulis pula potongan ayat-ayat al-Qur’an. Dinar dan Dirham tetap menjadi mata uang sah umat Islam kala itu sehingga runtuhnya khalifah Islamiyah. Sejak keruntuhan khalifah Islamiyah, berbagai jenis dan bentuk uang kertas dan logam (fiat money) mulai diperkenalkan.
Di Bumi Nusantara, Dinar dan Dirham sudah mulai digunakan ketika Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326) berkuasa di Kerajaan Samudera Pasai. Dinar Pasai memiliki berat 0,60 gram dan berdiameter 10 mm mempunyai mutu 18 karat. Di bagian depan Dinar Pasai tertera nama Muhammad Malik Al-Zahir dan di bagian belakangnya tertera ungkapan ‘al-Sultan al-‘Adl’.  Seperti di Pasai, mata uang emas yang digunakan di Kelantan-Patani pada kurun yang sama yang terdiri dari jenis-jenis kijang dan dinar matahari juga tertera di atasnya tulisan ‘Malik al-‘Adl’. Ungkapan yang sama juga tertera pada uang Timah Terengganu yang disebut Pitis yang digunakan pada tahun 1838. Di Negeri Kedah pula, Sultan Muhammad Jiwa Zainal Syah II (1710-1760) turut mengeluarkan mata uang emas yang dinamakan Kupang yang ditempa ungkapan ‘Adil Syah’ yang berarti Raja Yang Adil. Ungkapan keadilan (al-‘Adl) yang tertera di atas uang emas jelas menunjukkan betapa pentingnya nilai-nilai keadilan ditegakkan dalam sebuah perekonomian.

3. Al-Qur’an Tentang Dinar dan Dirham
Memang al-Qur’an dan al-Hadist tidak pernah mengklaim bahwa Dinar dan Dirham adalah satu-satunya mata uang yang sah digunakan umat Islam dalam melakukan setiap transaksi dan berbagai aktivitas ekonomi lainnya. Namun demikian, kata-kata Dinar dan Dirham yang terdapat dalam ayat-ayat berikut secara implisit menunjukkan pengakuan Allah terhadap superioritas Dinar dan Dirham. Sebutan Dinar dan Dirham, misalnya terdapat dalam ayat-ayat berikut:
“Dan di antara Ahli Kitab, ada orang yang kalau engkau amanahkan dia menyimpan sejumlah besar harta sekalipun, ia akan mengembalikannya (dengan sempurna) kepadamu, dan ada pula di antara mereka yang kalau engkau amanahkan menyimpan sedinar pun, ia tidak akan mengembalikannya kepadamu kecuali kalau engkau selalu menuntutnya…” (Q.S. Ali Imran: 75);
“Dan (setelah terjadi perundingan) mereka menjualnya dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja bilangannya…” (Q.S. Yusuf: 20).
Sedangkan dalam ayat lain, perkataan emas dan perak direkamkan untuk menjelaskan fungsi dari emas dan perak tersebut. Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, lalu mati sedang mereka tetap kafir, maka tidak sekali-kali akan diterima dari seseorang di antara mereka: emas sepenuh bumi, walaupun ia menebus dirinya dengan (emas yang sebanyak) itu…” (Q.S. Ali Imran: 91); dan “…Dan (ingatlah) orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak membelanjakannya pada jalan Allah, maka khabarkanlah kepada mereka dengan (balasan) azab siksa yang tidak terperi sakitnya” (Q.S. at-Taubah: 34).
Semua ayat di atas tidak menjelaskan bahwa hanya uang Dinar emas dan Dirham perak yang sah dan halal digunakan umat Islam dalam melakukan berbagai aktivitas ekonomi. Ayat-ayat di atas hanya menjelaskan fungsi emas (Dinar) dan perak (Dirham) sebagai alat penyimpan nilai (store of value), alat penukar (medium of exchange), dan alat pengukur nilai (standard of measurement). Merujuk pada ayat-ayat di atas, mayoritas para Fuqaha (Ahli Fiqh) bersetuju bahwa selain Dinar dan Dirham, Dolar, Euro, Rupiah atau berbagai jenis uang hampa (fiat money) lainnya dapat digunakan sebagai mata uang negara asal saja tidak terkontaminasi dengan unsur-unsur spekulasi, riba, gharar, dan gambling.  Walaupun demikian, para ulama lebih menggalakkan agar umat Islam menggunakan Dinar dan Dirham dibandingkan dengan Dolar dan berbagai jenis mata uang hampa lainnya, kerana Dinar dan Dirham memiliki tingkat kestabilan yang lebih tinggi.

4. Kenapa Dinar dan Dirham lebih Stabil?
Gencarnya upaya negara-negara Islam akhir-akhir ini untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam, tidak terlepas dari kestabilan nilai Dinar dan Dirham itu sendiri. Menurut Umar bin Khattab, berat Dinar adalah 4,25 gram, sedangkan Dirham adalah 3 gram. Penentuan nilai Dinar atau Dirham adalah didasarkan atas beratnya atau nilai intrinsiknya. Sedangkan rasio dari Dinar dan Dirham adalah berkisar antara 1:10 dan 1:16. Rasio 1:15 ditetapkan oleh Abdul Malik dan berlangsung dalam periode yang cukup lama. Hal ini juga terjadi di Inggris pada tahun 1811, yang menetapkan rasio 1:16. Sedangkan di Hamburg pada periode 1790-1827, rasio yang digunakan adalah 1:14,86. Sedangkan, soal bentuk, nama, corak, dan design fisik Dinar dan Dirham adalah aksesoris semata. Tidak seperti uang hampa (fiat money), uang kertas dan logam yang kita pakai saat ini yang mengandalkan nilainya pada kepercayaan dan pengakuan otoritas negara, Dinar dan Dirham adalah uang nyata yang dijamin oleh dirinya sendiri sebagai logam mulia. Nilai Dinar dan Dirham adalah tetap, tidak berubah karena penggunaan Dinar tidak menimbulkan inflasi. Sejak mulai digunakan hingga detik ini, nilai tukar Dinar dan Dirham tidak mengalami perubahan yang berarti. Setiap Dinar (hari ini sekitar Rp 400.250/Dinar) dan Dirham (saat ini sekitar Rp 26.650/Dirham) masih bisa digunakan untuk membeli sejumlah barang-barang dalam kuantitas dan kualitas yang sama dengan barang-barang yang dapat dibeli ketika Dinar dan Dirham digunakan tempo doeloe.
Kemanapun Dinar dan Dirham dibawa, nilainya tidak akan berubah. Sekeping koin Dinar dan Dirham akan tetap 4,25 gram emas 22 karat, dan sekeping Dirham adalah 3 gram perak murni. Di negara manapun anda timbang, apakah di Afrika Selatan, Hongkong, London, New York, Paris, atau Indonesia, nilai tetap tidak berubah. Bahkan bila gambar dan corak Dinar dan Dirham dirubah-ubah, bertuliskan “kalimah syahadah” maupun bergambar “Cut Nyak Dhien” ataupun “orang utan”, nilainya akan tetap. Kestabilan Dinar dan Dirham akan mengeliminir upaya-upaya spekulasi di pasar Valas. Penggunaan uang hampa telah menyebabkan sebagian besar transaksi di pasar Valas adalah melibatkan tindakan spekulatif. Hal ini seperti disebutkan Lietaer (1997) dalam makalahnya yang dipresentasikan dalam International Forum on Globalisation (IFG) sebagai berikut: “pada tahun 1975, sekitar 80% dari transaksi di pasar Valas adalah melibatkan aktivitas bisnis di sektor riel, yaitu transaksi yang benar-benar menghasilkan barang dan jasa. Sisanya 20% dari transaksi di tahun 1975 adalah bersifat spekulatif. Hari ini, transaksi di pasar Valas yang melibatkan sektor riel turun menjadi 2,5% dan selebihnya 97,5% adalah transaksi spekulatif”. Penggunaan Dinar dan Dirham diyakini akan menutup semua gerak para spekulan untuk meraup keuntungan di pasar Valas melalui aktivitas “arbitraging”.
Seterusnya, nilai (harga) emas tidak pernah mengikuti hukum ekonomi sebagaimana digambarkan oleh kurva penawaran dan permintaan (supply and demand curves). Selama kurun 1988-1997, dunia mengalami defisit pasokan emas sebanyak rata-rata 319 ton per-tahun, tapi harganya tetap relatif stabil. Malah, pada kurun 1994-1997, saat dunia mengalami defisit emas sebesar 348%, harganya justru turun 14%. Pendek kata, Dinar mampu menyimpan harta secara tetap, nilainya tak pernah berkurang, walau disimpan di mana pun. Emas terbukti kebal dari segala krisis ekonomi. Ketika terjadi krisis Peso Meksiko, 1995, nilai emas di sana naik 107% dalam waktu tiga bulan, ketika krisis Rupiah pada 1997, nilai emas di Indonesia melonjak 375% dalam kurun tujuh bulan, dan ketika krisis Rubel di Rusia, 1998, nilai emas di Rusia naik 307% dalam waktu delapan bulan. Secara umum, meskipun harga emas dalam Dolar AS turun sekitar 30% sejak 1990, rata-rata harga emas di dunia justeru naik sebesar 20%.
Tidak seperti pencetakan Dinar dan Dirham yang di back-up 100% oleh emas dan perak, pemerintah kapan saja dapat mencetak uang hampa karena ianya tidak perlu di back-up oleh emas dan perak. Artinya, masalah utama uang hampa adalah tidak adanya nilai intrinsik (harga yang dikandungi uang tersebut). Bank Sentral yang pertama sekali mengeluarkan uang hampa itu dapat memungut keuntungan luar biasa. Keuntungan ini diperoleh dari perbedaan ongkos pencetakan dan nilai legal uang. Perbedaan ini dalam istilah keuangan disebut dengan “seigniorage”. Uang hampa ini diperkenalkan dalam sebuah ekonomi sebagai hutang atau pinjaman. Kemudian bank-bank komersial memungut keuntungan melalui penciptaan deposit berganda (multiple deposit creation) dengan meminjamkan kepada masyarakat. Sistem uang hampa dan penetapan cadangan minimum (minimum reserve requirement) bank ternyata telah memudahkan penggandaan uang dilakukan. Sebagai contoh, jika jumlah cadangan yang disyaratkan dimiliki setiap bank  adalah 10%, dengan jumlah deposit Rp. 1.000, bank akan dapat menggandakan jumlah deposit menjadi Rp.10.000. Proses penggandaan uang ini jelas akan menimbulkan inflasi.

5. Superioritas Dinar
Di samping memiliki nilai yang stabil, penggunaan Dinar akan mengurangi ketergantungan keuangan (financial dependency) para penggunanya terhadap Dolar akibat mismanajemen modal. Ini dapat kita lihat dalam dunia perdagangan internasional. Negara yang memiliki necara perdagangan defisit (mayoritas dunia Muslim) berarti jumlah dana dalam negeri lebih banyak mengalir ke luar negara ketimbang dana asing yang masuk ke dalam negara. Dengan kata lain, jumlah import jauh lebih besar daripada jumlah eksport. Terjadinya “capital flight” yang tinggi menyebabkan devisa negara akan turun, kalaupun tidak minus. Bila ini terjadi, dan untuk menutupi defisit budget negara, maka terpaksa harus didanai dengan hutang luar negeri. Keterpaksaan berhutang jelas telah memerangkapkan negara penghutang terhadap keharusan untuk memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan negara donor (pemberi hutang), yang sifatnya sangat mencekik leher negara penghutang. Keharusan menggunakan Dolar ketika membayar hutang, akan menyebabkan nilai uang negara penghutang semakin rendah. Konsekuensinya, negara penghutang berada dipihak yang dirugikan karena harus membayar hutang dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hutang sesungguhnya. Ini semata-mata karena ketidakstabilan (appresiasi) nilai Dolar. Namun, kalau berhutang dengan Dinar, maka kapan pun dan dalam keadaan bagaimanapun, nilai Dinar tidak akan berubah. Kemudian, fluktuasi uang Dolar akan sangat menentukan keuntungan/kerugian para pemegang Dolar. Kita ketahui bahwa tidak sedikit konglomerat Arab Muslim yang mendepositokan uangnya di bank-bank di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya telah mengalami kerugian luar biasa ketika terjadi tragedi pemboman gedung World Trade Center (WTC), 11 September 2001 di New York. Tragedi ‘11 September 2001’ itu telah menyebabkan Dolar terdepresiasi luar biasa sehingga menyebabkan para konglomerat Arab Muslim mengalami kerugian bermilyar-milyar Dolar. Sedangkan, menyimpan uang dalam Dinar, dalam keadaan bagaimanapun, tidak akan berfluktuasi.
Selain itu, pembiayaan anggaran negara defisit dengan mencetak uang, secara gradual tapi pasti, akan menyebabkan membengkaknya tingkat inflasi. Hal ini disebabkan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat sudah terlalu banyak dan tidak proporsional dengan jumlah barang dan jasa yang ada di pasar. Dengan kata lain, nilai uang adalah sangat tergantung pada tinggi-rendahnya jumlah “supply” dan “demand” akan uang dalam masyarakat. Sedangkan, Dinar, nilainya tidak dipengaruhi oleh hukum “supply” dan “demand”. Realita ini persis seperti diakui Alan Greenspan, dalam bukunya yang berjudul: “Gold and Economic Freedom” sebagai berikut: ”In the absence of the gold standard, there is no way to protect savings from confiscation through inflation” (tanpa kehadiran uang standar emas, tidak ada cara untuk memproteksi penyusutan tabungan akibat inflasi).
Superioritas Dinar dan Dirham dibandingkan dengan mata uang hampa (fiat money) tidak saja diakui para ekonom Islam, malah turut disaluti ekonom barat. Dinar yang di-back up 100% oleh emas (memiliki nilai intrinsik 100%) jelas lebih stabil dibandingkan dengan Euro yang hanya di-back up 20% oleh emas dan Dolar yang sama sekali tidak di-back up oleh emas (memiliki nol nilai intrinsik). Ini terbukti ketika AS menggunakan uang standar emas pada tahun 1879, tingkat inflasi di negara Super Power itu menurun drastis menyamai tingkat inflasi ketika uang standar emas digunakan pada tahun 1861. Penyebab utama krisis ekonomi yang berulang-kali menerpa dunia adalah karena pengadopsian sistem keuangan global yang menggunakan fiat money, bukannya Dinar dan Dirham.
Selain itu, penggunaan Dinar dan Dirham akan menghalang usaha-usaha pencetakan dan pemusnahan uang dengan semena-mena oleh pihak berkuasa (pemerintah). Artinya, jumlah peredaran uang dalam masyarakat akan terkontrol dan inflasipun akan terkendali. Dinar akan mewujudkan sistem moneter dunia dan pasar valuta asing yang lebih stabil. Dinar juga berfungsi sebagai penyimpan nilai (store value), alat penukar (medium of exchange), dan alat pengukur nilai (measurement of value) yang lebih mantap. Ini terjadi karena penggunaan Dinar akan mengeliminir praktek spekulasi mata uang dan praktek arbitrasi (arbitraging: meraup keuntungan melalui praktel jual-beli valuta asing). Tidak seperti uang hampa, Dinar lebih mudah diterima masyarakat dengan hati terbuka tanpa perlu “legal tender” atau penguatan hukum (law enforcement). Penggunaan Dinar turut mempromosikan perdagangan internasional sebab bertransaksi dengan Dinar akan meminimalisir biaya transaksi. Bila Dinar digunakan sebagai mata uang tunggal dunia Islam, maka untuk menukar uang dari satu jenis mata uang ke mata uang lainnya tidak lagi diperlukan biaya. Dan yang paling luar biasa, penggunaan Dinar akan lebih menjamin kedaulatan/keutuhan negara dari dominasi ekonomi, budaya, politik dan ideologi negara barat.  Sebagai contoh, dengan hanya mencetak dolar tanpa perlu di-back up dengan emas dan kemudian dipinjamkan ke Indonesia, AS kini dengan mudah mendikte dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Padahal yang dipinjamkan itu hanya secarik kertas yang bertuliskan angka-angka tertentu yang sama sekali tidak memiliki nilai intrinsik. Sebaliknya, tanpa memiliki emas yang mencukupi, maka sudah tentu AS tidak memiliki Dinar untuk dipinjamkan ke Indonesia. Pendek kata, Dinar dan Dirham adalah mata uang yang mampu mewujudkan sistem moneter global yang berkeadilan (just world monetary system).
Selanjutnya, akibat nilai Dinar tidak berubah, maka tindakan spekulatif di pasar valuta asing tidak akan terjadi. Di samping kebal terhadap inflasi, Dinar juga tidak dipengaruhi oleh tingkat bunga. Dengan kata lain, Dinar adalah uang bebas riba. Kestabilan Dinar juga akan mempromosikan perdagangan dan menstabilkan sistem moneter. Bahkan mantan Perdana Menteri Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad (2000), dalam tulisannya: “The Malaysian Currency Crisis: How and Why it Happened” berkesimpulan bahwa terjadinya krisis ekonomi 1997 adalah akibat tindakan spekulatif para pembeli valuta asing. Krisis ekonomi tersebut malah telah menyebabkan membengkaknya tingkat pengangguran, rendahnya produktivitas, naiknya tingkat kemiskinan, dan berbagai penyakit ekonomi lainnya. Maka tepatlah bila Meera (2002), dalam  bukunya: “The Islamic Gold Dinar” menyebutkan bahwa penggunaan Dolar telah menyebabkan timbulnya berbagai masalah sosio-ekonomi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka sudah masanya umat Islam untuk tidak menawar-nawar lagi dalam menggunakan kembali Dinar dan Dirham.
Melihat krusialnya peran Dinar dan Dirham dalam menstabilkan sekaligus menyejahterakan ekonomi umat, maka uang hampa dianggap sebagai musuh asasi ekonomi Islam. Tanpa menggantikan uang hampa dengan Dinar dan Dirham, institusi-institusi keuangan Islam seperti bank syari’ah, asuransi Islam (takaful), obligasi dan saham syari’ah, dan pagadaian syari’ah (ar-Rahnu) tidak akan dapat dioperasikan 100% murni berlandaskan al-Qur’an dan Hadist.  Operasional institusi keuangan Islam tanpa kehadiran Dinar dan Dirham sangat sukar membebaskan dirinya dari praktek-praktak riba, gharar, dan gambling. Itulah sebabnya, upaya pendaulatan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam harus segera diwujudkan. Apalagi kondisi ekonomi barat yang semakin sekarat dengan penggunaan uang hampa diperkirakan akan segera mengikuti jejak kehancuran ekonomi komunis. Pada saat itulah umat Islam harus sudah siap dengan Dinar dan Dirham. Jika tidak, ekonomi dunia Islam akan terus terpuruk. Peluang umat Islam untuk mengungguli ekonomi barat semakin terbuka lebar. Namun, semua ini tergantung pada kesiapan umat Islam untuk mendaulatkan kembali Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal mereka.

6. Back to Dinar and Dirham
Untuk mendaulatkan Dinar agar digunakan dalam berbagai transaksi antar Dunia Islam—apalagi dipakai semua negara di dunia dan mendapat pengakuan seperti Dolar dan Euro—bukanlah suatu usaha yang mudah. Ini dapat kita lihat dari pengalaman Uni Eropa yang baru berhasil mengeluarkan Euro setelah 50 tahun, mulai dari pembentukan European Payment Union (EPU) pada tahun 1950 hingga lahirnya Euro pada 1 Januari 1999, dan puncaknya pada 1 Januari 2002 dengan dikeluarkannya uang logam dan kertas Euro. Walaupun sukar, ini tidak berarti umat Islam tidak mampu mendaulatkan Dinar sebagai mata uang negara-negara Islam. Untuk tahap awal, disarankan ke-56 negara Islam (semua anggota Organisasi Konferensi Islam) sudah harus menggunakan Dinar, walaupun pada saat yang sama mereka masih menggunakan uang domestik masing-masing. Dengan kata lain, setiap negara OKI menggunakan sistem “parallel currency”.  Kemudian bila perlu, semua negara yang berhubungan bisnis dengan negara OKI harus menggunakan Dinar. Dan ketika Dinar ini dirasakan lebih stabil dari Euro dan Dolar, maka semua masyarakat internasional akan “jatuh cinta” dengan Dinar. Ini karena Dinar di-back up 100% oleh emas (nilai intrinsiknya 100%), sedangkan Euro hanya di-back up 20% oleh emas dan Dolar sama sekali tidak di-back up oleh emas (nol nilai intrinsik). Memang, usaha untuk memartabatkan Dinar agar diterima sebagai alat tukar, standar nilai, penyimpan nilai sangat tergantung, inter alia, pada animo negara-negara Islam dan “political will” pemerintah, seperti antusias yang telah ditunjukkan Pemimpin Malaysia. Karena kesukaran untuk menggantikan penggunaan uang sekarang (fiat money) dengan Dinar, kurangnya sumber daya untuk mengatasi problema ekonomi, ketergantungan pada negara maju dan ketakutan berlebihan negara-negara Islam pada negara Super Power, Amerika Serikat  dan negara maju lainnya bila tidak menggunakan Dolar, maka usaha negara Islam untuk segera “back to Dinar and Dirham” sedikit terhambat. Namun, bila semua negara Islam telah sepakat untuk menggunakan Dinar, maka segala transaksi yang dilakukan akan lebih efisien, transparan, stabil dan bebas dari praktek spekulatif.
Bagi umat Islam, upaya kembali ke Dinar (emas) bukanlah sesuatu yang sukar. Karena banyak kaum ibu, khususnya para nenek-nenek lebih memilih menyimpan “perhiasan emas” ketimbang menyimpan uang di bank. Bahkan, tidak akan sempurna pertunangan dan pernikahan di dunia ini, kalau belum dilengkapi dengan emas sebagai cincin tunangan dan mahar perkawinan. Begitu juga dalam setiap even dan kompetisi olahraga dunia dimana setiap pemenang akan dinugerahi Medali Emas, Perak dan Perunggu, maka kehadiran mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham) bukanlah sesuatu yang sukar untuk diterima masyarakat dunia. Namun usaha untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia haruslah dilakukan secara bertahap (gradual) tapi pasti, mulai dengan “parallel currency system” seperti disebutkan di atas sehingga menjadikan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam.

7. Mendaulatkan Dinar dan Dirham secara Gradual
Kenapa usaha mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia tidak bisa dilakukan secara totalitas dalam waktu yang singkat (overnight)? Apa saja dampak terhadap perekonomian umat andaikata pendaulatan Dinar dan Dirham dilakukan totalitas secara dalam waktu yang singkat? Seperti disebutkan di atas, usaha menuju mata uang tunggal “Dinar dan Dirham” mesti dilakukan secara bertahap tapi pasti adalah untuk menghindari terjadinya “economic shocks”, stagnasi ekonomi dan bahkan kehancuran sistem ekonomi yang telah ada.  Pengalaman keruntuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) ketika Presidennya yang ke-17, Abraham Lincoln menghapuskan sistem perbudakan (slavery system) secara totalitas dalam tempo yang singkat dapat dijadikan pengalaman berharga. Padahal Islam, walaupun membenci sistem perbudakan itu, namun Islam menggalakkan pengahapusan sistem perbudakan dilakukan secara gradual. Penghapusan sistem perbudakan secara bertahap ini pada masa awal kekhalifahan Islam dimaksudkan agar tidak terjadinya ‘malapetaka’ ekonomi.
Secara lebih detail, perbedaan proses, cara serta impak pengahapusan sistem perbudakan  AS dengan Islam dapat disebutkan di bawah ini. Walaupun Islam membenci praktek perbudakan, namun Islam tidak mengharamkan praktek perbudakan tersebut di masa-masa awal kekhalifahan Islam. Upaya Islam menghapus sistem perbudakan dilakukan berdasarkan ketentuan syari’at secara bertahap. Sebagai contoh, apabila seorang Muslim yang sedang berpuasa di bulan Ramadhan melanggar ketentuan puasa (bersetubuh di siang hari), maka ia dikenakan denda seperti memerdekan seorang budak (hamba sahaya) untuk menebus dosa yang telah diperbuat. Dengan cara ini, maka secara perlahan-lahan akhirnya sistem perbudakan akan dapat dihapuskan. Karena pembebasan seorang budak merupakan momen kebahagiaan bagi semua pihak. Budak akan gembira karena mulai detik itu dia menjadi manusia yang bebas dari kungkungan majikannya. Bahkan ia mungkin akan merayakan hari pelepasannya itu setiap tahun bagaikan orang menyambut hari ulang tahun. Begitu juga dengan para majikan (si pemilik budak), ia akan gembira karena ia telah diampuni dosanya dan bahkan telah mendapat keberkatan Ilahi. Kemudian, sistem penghapusan perbudakan secara  bertahap akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi budak yang yang telah dimerdekakan tersebut untuk mendapat pekerjaan. Akibatnya, ekonomi tetap stabil dan bahkan akan semakin kokoh dengan ikut berpartisipasinya si budak tersebut dalam membangun ekonomi negara.
Sebaliknya, kehancuran ekonomi telah terjadi di AS ketika Abraham Lincoln, Presiden AS yang ke-17 menghapuskan sistem perbudakan di negara adi kuasa itu secara spontan dalam waktu yang singkat. Kala itu, Lincoln telah membekukan undang-undang yang memberikan izin pengadopsian sistem perbudakan di AS. Pembekuan undang-undang perbudakan tersebut bukan saja menimbulkan berbagai problem ekonomi, tetapi juga telah menyebabkan munculnya berbagai problem sosial-ekonomi. Umumnya, para majikan yang memiliki budak tidak senang dan setuju dengan tindakan Lincoln karena mareka tidak disediakan uang ganti rugi terhadap uang yang telah mereka keluarkan (investasi) untuk membeli budak. Tidak hanya itu, AS mengalami defisit buruh khususnya di sektor perkebunan, yang dulunya dikerjakan oleh para budak. Perkebunan-perkebunan terbengkalai sehingga gagal panen. Hal ini tentunya akan mengakibatkan langkanya barang-barang hasil perkebunan di pasar AS kala itu. Sehingga harga hasil perkebunan melambung tinggi. Untuk memenuhi permitaan barang hasil perkebunan dalam negeri, pemerintah AS terpaksa mengimportnya dari luar negeri. Sudah tentu kondisi seperti ini akan mengakibatkan lumpuhnya perekonomian AS. Di lain pihak, para budak yang dilepaskan secara serentak akan mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan baru. Karena mereka cenderung menghindari bekerja untuk majikan mereka sebelumnya, maka mereka akan susah untuk mendapat pekerjaan baru. Akhirnya terpaksa mereka menjadi penganggur, terutama mareka yang sama sekali tidak memiliki lahan dan modal. Klimaksnya, peperangan sipil antar negara di bagian Utara dan Selatan AS telah terjadi akibat penghapusan sistem perbudakan secara spontan dan totalitas. Sampai hari ini juga kita melihat ketidakharmonisan antara warga AS berkulit hitam (African Americans) dengan warga AS yang berkulit putih. Warga negera AS yang berkulit hitam (umumnya para budak yang telah dibebaskan) masih belum dapat melupakan kepedihan meraka ketika dijadikan budak oleh warga AS yang berkulit putih. Perbedaan antara mereka hingga saat ini masih sengat kentara.
Selanjutnya, pendaulatan Dinar dan Dirhan sebagai mata uang tunggal dunia secara bertahap, tapi pasti juga dapat kita simak dari pengalaman pengharaman riba dan minuman keras dalam masyarakat Islam di masa Rasulullah. Pengharaman riba dalam Islam tidak dilakukan secara sekaligus melainkan melalui empat tahap. Allah membasmi riba dan minuman keras secara bertahap mengingat praktek riba dan meminum minuman keras sudah begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat sebelum Islam. Agar para pengamal riba dan peminum minuman keras akur dengan larangan Allah, maka pelarangan terhadap kedua hal ini dilakukan secara bertahap. Ayat berikut cukup jelas menunjukkan bagaimana Allah swt secara bertahap dan kuntinyu melarang praktek riba diamalkan.
Ayat pertama yang turun tentang riba adalah ayat 39 Surat Ar-Rum. Allah berfirman:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (Q.S. ar-Rum: 39).
Ayat ini menekankan bahwa riba tidak akan menambah kekayaan, sebaliknya ia mengurangkan kekayaan.
Kemudian ayat kedua tentang riba menjelaskan sisi negatif riba sama dengan perbuatan munkar lainnya yang telah dilarang Allah sebelumnya. Allah berfirman:
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (Q.S. an-Nisa’: 161).
Seterusnya, ayat yang ketiga mengenai riba menyeru orang yang beriman menjauhi riba agar kebahagiaan hakiki, ketenangan pikiran serta kejayaan hidup di dunia dan di akhirat dapat diraih. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”(Q.S. Ali Imran: 130).
Akhirnya ayat yang menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa riba itu adalah haram hukumnya diturunkan sesaat sebelum Rasulullah saw mangkat. Allah berfirman: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S. al-Baqarah: 275). Proses pengharaman riba mulai dari Q.S. ar-Rum, ayat 39 hingga Q.S. al-Baqarah, ayat 275 memakan waktu sekitar 25 tahun.
Pengalaman Islam dalam mengahapuskan sistem perbudakan dan amalan praktek riba secara gradual di masa-masa awal pemerintahan Islam patut dijadikan contoh teladan dalam usaha mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia. Metode ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kemerosotan dan bahkan keruntuhan ekonomi. Usaha mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam memerlukan waktu yang lama, setidak-tidaknya 25 tahun ke depan. Dengan kata lain, usaha untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam baru akan nampak hasilnya pada tahun 2030, itupun kalau dilakukan secara sungguh-sungguh dengan perencanaan yang matang.

8. Model Transaksi Dinar dan Dirham
Tidak saja secara teoritis, dalam implementasinya mata uang Dinar dan Dirham telah terbukti lebih stabil dibandingkan dengan fiat money yang digunakan dunia internasional sekarang. Dalam artikelnya “The Islamic Gold Dinar: Socio-economic Perspective”, Meera dan Aziz (2002) menjelaskan secara detail kelebihan sistem mata uang Islam (Dinar dan Dirham). Tidak seperti uang hampa, Dinar dan Dirham tidak dapat dicetak ataupun dimusnahkan dengan sekendak-hati pihak berkuasa (pemerintah), karena ia memiliki nilai intrinsik 100%. Ini tentunya akan menghindari terjadinya kelebihan uang dalam masyarakat, atau dengan kata lain akan menghalang terjadinya inflasi. Tidak seperti uang hampa, Dinar dan Dirham juga akan diterima masyarakat dengan hati terbuka tanpa perlu “legal tender” atau penguatan hukum. Kalau masyarakat yang melakukan transaksi dihadapkan pada dua pilihan, untuk dibayar dengan uang hampa atau Dinar, sudah tentu mereka akan lebih memilih Dinar karena kestabilan nilainya. Kestabilan Dinar ini tentunya akan mempromosikan perdagangan internasional. Bertransaksi dengan menggunakan Dinar akan mengurangi biaya transaksi. Bila Dinar digunakan sebagai mata uang tunggal dunia Islam, maka biaya untuk menukar uang dari satu jenis mata uang ke mata uang lainnya dalam dunia Islam tidak diperlukan lagi. Dan yang paling luar biasa adalah penggunaan Dinar akan lebih menjamin kedaulatan negara dari dominasi ekonomi, budaya, politik dan kekuatan asing.  Sebagai contoh, dengan hanya mencetak Dolar tanpa perlu di-back up oleh emas dan kemudian dipinjamkan ke Indonesia, Amerika kini dengan mudah mendikte dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Inilah sebabnya Dinar diyakini mampu mewujudkan sistem moneter global yang berkeadilan (just world monetary system).
Oleh sebab itu, isu untuk mendaulatkan kembali Dinar dan Dirham dipandang sebagai isu mutakhir dan sangat mendesak dibicarakan para pakar ekonom Islam. Bagian ini lebih difokuskan untuk menampilkan model-model terkini transaksi Dinar yang telah mulai diadopsikan ataupun baru ditawarkan oleh dunia Islam, dengan fokus utama model transaksi Dinar versi internet, model transaksi Dinar Bilateral dan Multilateral.
Secara historis, Dinar sebagai mata uang Islam telah mulai digunakan sejak masa Rasulullah saw hingga ambruknya khalifah terakhir di masa dinasti Usmaniyah. Pada dasarnya, koin Dinar dan Dirham yang digunakan umat Islam kala itu adalah dicetak oleh penduduk Persi. Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan telah mengeluarkan Dinar pada tahun 77 H, berdasarkan standar koin yang dikeluarkan Khalifah Umar Ibn Khattab: 10 Dirham ekuivalen dengan 7 Dinar. Setelah lama tenggelam dimakan usia dan sikon, koin Dinar dan Dirham kembali dicetak pada tahun 1992. Empat tahun kemudian, situs internet (web-site) yang memasarkan Dinar dan Dirham dilancarkan pada tahun 1996. Sistem pembayaran dengan Dinar sudah mulai diperkenalkan melalui sistem pembayaran elektronik via internet. Menggunakan sistem  pembayaran Dinar melalui internet lebih mudah dilakukan karena ianya tidak perlu didukung oleh “political will” pemerintah. Semua tergantung pada individu-individu atau para pelaku bisnis untuk menggunakannya atau tidak. Siapa saja kita dan di belahan dunia manapun kita berdomisili, kalau mau menggunakan sistem pembayaran Dinar elektronik via internet tinggal hanya mendaftar untuk membuka nomor rekening yang tersedia di situs-situs internet, tepatnya di Penyedia Pelayanan Keuangan Internet (Internet Financial Service Provider, IFSP). Pemerintah tidak bisa menghalang, apalagi untuk memaksa kita untuk bergabung dengan sistem pembayaran Dinar via internet. Dengan menggunakan IFSP ini, kita tidak perlu membawa emas ke sana ke mari ketika melakukan transaksi. Semua transaksi Dinar dengan sistem pembayaran elektronik via IFSP ini adalah di-back up 100% oleh emas. Jadi, nilainya lebih stabil.

8.1. Transaksi Dinar Model Internet
Pada dasarnya, konsep uang Dinar yang sedang gencar-gencarnya diperdebatkan akhir-akhir ini hanya memiliki sedikit perbedaan dengan konsep Dinar tempoe doeloe, khususnya dari segi mekanisme, operasional dan implementasi. Namun, ide dasar adalah sama dimana satu dinar bernilai 4,25 gram emas dan satu dirham bernilai 3 gram perak. Keberadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah memarginalkan kekuatan politik para pihak penguasa (pemerintah) terhadap keinginan penduduknya untuk memilih sistem pembayaran dalam bertransaksi. Menjamurnya Penyedia Pelayanan Keuangan Internet (Internet Financial Service Provider, IFSP) di situs-situs internet telah memberi ruang bagi Dinar untuk bersaing di pasar-pasar uang elektronik (internet e-money) internasional.
Secara garis besar, ada dua jenis “e-money” (uang elektronik), yaitu e-money berdasarkan komoditas (commodity-based e-money) dan e-money berdasarkan uang hampa (fiat money-based e-money). IFSP dengan e-money berdasarkan komoditas, khususnya emas dan perak adalah IFSP yang mendapat kepercayaan orang banyak. Contoh IFSP e-money berdasarkan komoditas adalah seperti E-Dinar, E-gold, DigiGold, 3PGold, e-Bullion dan e-money lainnya. Sedangkan contoh IFSP e-money berdasarkan uang hampa adalah Internet Dollar, WebMoney, FreeCash, Liberty Dollar, Zetx dan lain-lain. E-dinar Ltd adalah merupakan IFSP pertama di Asia yang beroperasi di Pulau Labuan, Malaysia pada Agustus, 2000.
Melalui IFSP ini, setiap pelaku bisnis dengan mudah dapat membuka nomor rekening IFSP melalui internet. IFSP ini akan mencatat semua perincian transaksi kepemilikan emas dalam brankas. Siapa yang memiliki nomor rekening dengan IFSP dapat mengeluarkan emas kapan saja diperlukan. Untuk ini, IFSP senantiasa mencetak jumlah Dinar yang cukup untuk memenuhi permintaan pelanggan. Cara ini dimungkinkan dengan adanya fasilitas internet. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia dengan bebas dapat membuka nomor rekening IFSP dan mereka diberikan opsi untuk menyimpan harta mereka baik dalam bentuk uang emas (Dinar) maupun uang Rupiah. Dinar dan Dirham sebagai mata uang yang di-back up 100% oleh emas dan perak sudah tentu dengan mudah diterima masyarakat internasional. Dengan Dinar dan Dirham, perdagangan internasional dapat berlangsung lancar. Sistem pembayaran Dinar via internet (on-line payment system) jelas akan mengurangi tempo yang diperlukan untuk melakukan sebuah transaksi dan akan meminimalisir biaya transaksi.

8.2. Model Transaksi Dinar Bilateral
Kelebihan Dinar dan Dirham ini telah mestimulasi Mantan Perdana Menteri Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad untuk aktif mengkampanyekan ke seantero penjuru dunia agar Dinar dan Dirham didaulatkan sebagai mata uang tunggal dunia Islam. Hebatnya tekad beliau untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang Islam terbukti dengan ditandatanganinya “Momerandum of Understanding” (MoU) transaksi perdagangan bilateral antara Malaysia dengan Iran pada pertengahan tahun 2003, dimana Dinar digunakan sebagai alat pembayaran yang sah. Bagaimana cara transaksi perdagangan internasional dengan Dinar antara Malaysia dan Iran dilakukan? Apakah negara Malaysia harus mengangkut emas ke Iran untuk membayar transaksi perdagangan yang mereka lakukan? Atau sebaliknya, Iran pula yang harus mengirimkan emas ke Malaysia?  Yang jelas, proses transaksi perdagangan dengan Dinar tidaklah serumit yang dibayangkan.
Mantan PM Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad yang dikenal sebagai pemimpin dunia Islam yang paling gencar berupaya untuk mendaulatkat Dinar dan Dirham sebagai mata uang Islam ternyata telah siap dengan model transaksinya. Dalam model Dinar ala Mahathir ini, bank sentral memainkan peranan penting dalam mencatat setiap transaksi dan menyimpan emas. Model ini hanya sesuai untuk sebuah transaksi berskala internasional. Setiap transaksi internasional yang dilakukan, misalnya transaksi antara pemerintah Iran dengan Kerajaan Malaysia (Goverment to Government, G to G) atau antara bisnisman Malaysia dengan bisnisman Iran (Individual to Individual, I to I), setiap negara/bisnisman itu harus melakukan transaksi melalui bank komersial di negara masing-masing. Bank komersial ini, pada gilirannya, harus berhubungan dengan bank sentral (di Malaysia disebut Bank Negara) untuk menyelesaikan transaksi di rekening emas masing-masing bank sentral. Kemudian, ketika masing-masing negara telah melakukan transaksi perdagangan, catatan transaksi emas akan disimpan oleh bank sentral di masing-masing negara. Hanya perbedaan nilai transaksi antara negara saja yang harus diselesaikan secara berkala melalui rekening Dinar. Bagaimanapun, penyelesaian transfer Dinar (emas) antara G to G dapat diselesaikan di kemudian hari, setelah transaksi-transaksi perdagangan lainnya dilakukan. Jadi, pentransferan emas secara fisik antar negara tidak semestinya harus dilakukan pada saat sebuah transaksi selesai dilakukan. Hal ini seperti diakui Tausing (1927) dalam bukunya “International Trade” dimana pada masa sistem standar emas diterapkan dunia, penyelesaian transaksi dengan emas (pentransferan emas secara fisik) sangat sedikit terjadi.
Untuk lebih memudahkan model ini dipahami, berikut ini diberikan sebuah contoh transasksi G to G.  Katakanlah pemerintah Malaysia mengeksport Minyak Kelapa Sawit dengan nilai 12 Milyar Dinar, dan pada saat yang sama Iran mengeksport kurma ke Malaysia dengan harga 12,5 Milyar Dinar. Bank Sentral Iran dan Bank Negara Malaysia akan mencatat semua transaksi ini. Kerajaan Malaysia yang minus neraca perdagangan 0,5 Milyar Dinar (12 – 12,5 Milyar Dinar) dan harus membayar kepada Iran sebanyak 0,5 Milyar Dinar tidak seharusnya mentransferkan emas pada saat itu juga untuk melunaskan harga Kurma yang mereka import dari Iran. Dengan kata lain, selisih neraca perdagangan ini tidak mesti diselesaikan pada saat sebuah transaksi terjadi, tetapi akan diselesaikan secara berkala di masa-masa mendatang, katakanlah enam bulan sekali. Ini bertujuan untuk meminimalkan arus pergerakan emas dari satu negara ke negara lain, yang tentunya akan menghemat biaya transaksi (biaya transportasi plus). Suatu catatan penting bahwa, di bawah makanisme transaksi bilateral ini, untuk melakukan perdagangan bilateral yang bernilai 24,5 Milyar Dinar, hanya memerlukan jumlah Dinar yang ditransfer sejumlah 0,5 Milyar Dinar saja. Fakta ini jelas memberi jawaban terhadap kerisauan kita akan ketidakcukupan emas di dunia ini, andaikata Dinar dijadikan mata uang dunia Islam. Dalam contoh di atas, total volume perdagangan 24,5 Milyar Dinar antara Malaysia dan Iran hanya memerlukan transfer emas dari Malaysia ke Iran sebesar 0,5 Milyar Dinar saja.

8.3. Model Transaksi Dinar Multilateral
Proses transaksi perdagangan dalam model transaksi Dinar bilateral dan multilateral pada prinsipnya adalah sama. Yang membedakan hanya jumlah negara yang terlibat dalam transaksi perdagangan.  Dalam transaksi bilateral, hanya dua negara yang terlibat melakukan perdagangan, sedangkan dalam transaksi multilateral jumlah negara yang melakukan transaksi perdagangan melebihi dua negara. Untuk lebih memudahkan bagaimana model transaksi Dinar multilateral dilakukan, Tabel 1 berikut ini mengilustrasikan perdagangan yang terjadi antar empat negara, yaitu Malaysia, Iran, Indonesia dan Arab Saudi.

Tabel 1: Model Transaksi Dinar Multilateral (Milyar Dinar)
Berdasarkan Tabel 1 di atas, jelas terlihat bahwa jumlah total volume perdagangan multilateral antar ke-empat negara di atas adalah 8.918 Milyar Dinar, dengan total eksport masing-masing negara melebihi 2.000 Milyar Dinar (Malaysia = 2.170; Iran = 2.370; Indonesia = 2.150; dan Arab Saudi = 2.228). Transaksi perdagangan multilateral yang berjumlah 8.918 Milyar Dinar ini hanya memerlukan jumlah pembayaran bersih 1.626 Milyar Dinar, yaitu 804 Milyar Dinar harus dibayar Iran kepada Indonesia dan 18 Milyar Dinar dibayar oleh Arab Saudi juga kepada Indonesia (lihat Tabel 2). Sedangkan Malaysia, tidak harus membayar se-Dinar pun kepada partner dagangnya. Di pihak yang lain, Indonesia malah akan menerima bayaran Dinar sebanyak 822 dari Iran dan Arab Saudi. Sistem pembayaran perdagangan multilateral di atas menunjukkan bahwa perdagangan antar negara yang berpartisipasi akan sangat efisien dan efektif dimana jumlah emas (Dinar) yang relatif sedikit (1.626 Milyar Dinar) telah mampu melangsungkan terjadinya perdagangan multilateral dalam jumlah yang sangat besar, yaitu 8.918 Milyar Dinar.

Tabel 2: Total Pembayaran Bersih (Milyar Dinar)
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa, kelangkaan emas untuk dapat melangsungkan perdagangan bilateral dan multilateral tidak perlu dipersoalkan. Karena untuk melakukan transaksi perdagangan multilateral yang berjumlah 8.918 Milyar Dinar hanya memerlukan Dinar sebanyak 1.626 Milyar Dinar. Kemungkinan besar jumlah transfer Dinar antar negara malah berkurang. Karena pentransferan Dinar tidak dilakukan ketika sebuah transaksi perdagangan selesai dilakukan, tetapi akan dilakukan dalam masa beberapa bulan ke depan, katakanlah pembayaran akan dilakukan dalam enam bulan sekali. Dalam masa enam bulan ini, banyak transaksi perdagangan lain yang terjadi sehingga tidak tertutup kemungkinan bagi setiap negara yang terlibat dalam perdagangan multilateral akan memiliki jumlah pembayaran bersih nol, seperti ditunjukkan negara Malaysia pada Tabel 2. Artinya, selama masa enam bulan transaksi perdagangan multilateral dilakukan, masing-masing negara yang terlibat sama sekali tidak memerlukan pentransferan se-Dinar pun dari satu negara ke satu negara partner dagang lainnya.

9. Model Transaksi Dinar: Analisis Komparatif
Perlu dicatat disini bahwa ketiga model transaksi Dinar di atas, internet, bilateral dan multilateral belum sepenuhnya menyediakan sistem yang solid dan mekanisme holistik untuk melakukan transaksi dengan Dinar baik secara domestik maupun internasional. Perbedaan mendasar antara ketiga model di atas adalah model transaksi Dinar internet tidak memerlukan dukungan politik pemerintah dan ia hanya berbasiskan mekanisme internet, sedangkan model transaksi dinar bilateral dan multilateral sangat tergantung pada “political will” pemerintah yang terlibat dalam transaksi tersebut. Keberhasilan model transaksi dinar bilateral dan multilateral sangat tergantung pada kebijakan moneter dan ekonomi masing-masing negara yang terlibat, sedangkan model transaksi internet tidak. Keampuhan dan keefektifan model transaksi dinar bilateral dan multilateral ini memang belum terbukti, karena hingga detik ini model tersebut baru dipraktekkan dalam perdagangan bilateral Malaysia dengan Iran. Sedangkan transaksi Dinar multilateral baru sebatas wacana dan belum mulai dipraktekkan.

10. Haqqul Yaqien, InsyaAllah Berhasil?
Sejauhmana upaya untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam akan menjadi kenyataan? Tantangan besar senantiasa menanti. Setelah perang dingin antar Amerika Serikat dan Uni Soviet usai, keberadaan Amerika Serikat sebagai negara super power tunggal dunia sangat menentukan terhadap keberhasilan upaya untuk mendaulatkan dinar ini. Mengapa? Karena sistem uang hampa yang digunakan dunia sekarang yang sangat menguntungkan pihak minoritas, khususnya negara Amerika Serikat tentunya akan menolak kehadiran Dinar dan Dirham karena kekuatiran mereka terhadap kemungkinan hilangnya pengaruh super power di dunia internasional mata uang Islam digunakan. Kemungkinan Amerika Serikat untuk menggagalkan dan mensabotase upaya untuk mendaulatkan Dinar sebagai mata uang negara Islam dan bahkan mata uang tunggal dunia sangat mungkin terjadi, walaupun pengadopsian mata uang Dinar akan menguntungkan semua pihak. Kendatipun demikian, kita umat Islam harus “haqqul yaqien” bahwa upaya pendaulatan Dinar akan berhasil dalam hitungan dekade. Sesungguhnya, kebathilan itu akan hancur dan kebenaran itu akan tegak, “qul ja al haqqu wa zahaqal bathil, innal bathila kana zahuqa” (Q.S. al-Isra’: 81).
Jadi, keberhasilan upaya mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang Islam sangat tergantung pada faktor-faktor eksternal seperti disebutkan di atas dan juga faktor-faktor internal dunia Islam. “Political will”, “interest” dan kebijakan ekonomi dan moneter dunia Islam itu sendiri juga sangat memainkan peranan penting terhadap kesuksesan upaya pendaulatan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam.
Agar usaha “back to Dinar and Dirham” berhasil, maka kita harus mendaulatkannya secara bersungguh-sungguh “Lillahi Ta’ala” demi mewujudkan kemaslahatan umat. Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah ra berikut merupakan motivator terbaik agar kita semakin yakin bahwa keberhasilan usaha pendaulatan Dinar dan Dirham sebagai mata uang Islam hanya tinggal menunggu waktu. Rasulullah bersabda:
“Seorang Bani Israil (orang Israil pertama) ingin berhutang uang sebanyak seribu Dinar  pada seorang Bani Israil (orang Israil kedua)  lainnya. Orang Israil kedua meminta saksi. Orang Israil pertama menjawab: “Bukankah Allah swt sudah memadai sebagai saksi”. Orang Israil ke dua berkata lagi: “Saya memerlukan sebuah kepastian bahwa kamu akan membayar hutangmu”. Orang Israil pertama menjawab: “Bukankah Allah swt sudah mencukupi untuk sebuah kepastian”. Orang Israil kedua menjawab: “kamu betul”. Lalu Bani Israil kedua tadi langsung meminjamkan uangnya sebesar seribu Dinar kepada orang Israil pertama untuk beberapa lama. Kemudian berlayarlah orang Israil pertama ke luar negeri. Setelah menyelesaikan tugasnya, maka orang Israil pertama mencari kenderaan (kapal laut) untuk kembali ke tempat asalnya sehinga ia dapat membayar hutangnya tepat waktu. Namun, ia gagal menemukan kenderaan untuk pulang. Maka diambillah sepotong kayu, dan dilubangi kayu tersebut kemudian dimasukkanlah uang sebanyak seribu Dinar beserta sepucuk surat yang ditujukan kepada pemberi hutang (orang Israil kedua) ke dalam lubang kayu tersebut. Setelah itu, ditutuplah rapat-rapat lubang kayu tersebut dan kemudian dilemparkanlah  kayu itu  ke laut seraya berkata: “O Allah! Engkau tahu bahwa aku telah berhutang sebanyak seribu Dinar dari seorang hambaMu, Bani Israil. Dia telah meminta kepastianku untuk membayar hutang, dan aku katakan padanya bahwa Engkau sudah memadai sebagai penjamin kepastian. Sehingga dia telah meminjamkan uangnya kepadaku karena Engkau sebagai penjaminya, ya Allah. Kemudian dia meminta saksi. Dan dia telah menyetujui ketika aku menyebutMu sabagai saksiku. Aku telah berusaha sekuat tenaga agar menemuinya sehingga aku dapat membayar hutangku tepat waktu, tetapi aku gagal berbuat demikian. Aku tidak menemui kenderaan untuk pergi kepadanya dan melunaskan hutangku.  Oleh karena itu, aku hantarkan uang ini melalui Engkau, ya Allah”. Setelah berkata demikian, dilemparkanlah kayu yang berisi uang dan surat itu ke dalam laut, dan kemudian dia pun bergegas pergi. Tidak berapa lama kemudian, dia (orang Israil pertama) pun mendapatkan kenderaan untuk belayar pulang. Suatu hari, Bani Israil yang meminjamkan uangnya keluar rumah untuk memastikan apakah ada kapal laut yang berlabuh dan Bani Israil yang berhutang padanya datang bersama kapal tersebut untuk membayar hutangnya. Tiba-tiba dia melihat sepotong kayu. Diambillah kayu itu dan segera dibawanya pulang untuk dijadikan kayu api. Namun, betapa terkejutnya ketika dia temui bahwa dalam kayu tersebut terdapat uang sebanyak seribu Dinar dan sepucuk surat yang ditujukan kepadanya. Tidak lama kemudian, datanglah Bani Israil yang berhutang padanya, bermaksud untuk membayar hutangnya, dan berkata: “Demi Allah, aku telah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kapal layar sehingga dapat menjumpaimu untuk membayar hutangku padamu tepat waktu, namun aku gagal berbuat demikian hinggalah hari ini”. Bani Israil yang memberi hutangpun berucap: “Adakah kamu telah mengirimkan kepadaku sesuatu?” Bani Israil yang berhutang pun berkata lagi: “Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak mendapati kenderaan untuk memjumpaimu hinggalah hari ini”. Bani Israil yang memberi hutang pun menjawab: “Allah telah menghantarkan uang yang kamu pinjami dariku melalui sepotong kayu yang kamu kirimkan. Jadi, simpanlah uang yang seribu Dinar itu, yang kamu ingin bayarkan kepadaku lagi”.
Merujuk pada Hadist di atas jelas terbaca bahwa apabila sesuatu usaha itu dilakukan “Lillahi Ta’ala”, seperti usaha untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang Islam, niscaya Allah akan memudahkan usaha kita, InsyaAllah. Mudah-mudahan, kesadaran yang telah dimiliki sebagian besar umat Islam untuk menggunakan Dinar (emas) dalam melakukan berbagai transaksi mendapat respon positif para pemimpin kita dan pemimpin dunia Islam lainnya. Jangan biarkan kita terus dijajah oleh Dolar yang berbalut riba, gharar, dan gambling. Mari kita  “back to Dinar and Dirham”.



BIBLIOGRAFI
Abd. Majid, M. Shabri. 2002. Kembali Kepada Dinar dan Dirham, Dewan Ekonomi Malaysia, Desember.
___________. 2002. Dinar, Dirham dan Dolar, Serambi Indonesia, 2 Oktober.
___________. 2003. Pilihan Lain Bagi Kewangan Dunia, Berita Harian Singapura, 10 Januari.
___________. 2003. Kelebihan Dinar Dan Dirham, Berita Harian Singapura, 17 Januari.
___________. 2003. Tekad Mendukung Dinar, Berita Harian Singapura, 24 Januari.
___________. 2003. Mendaulatkan Dinar, Dirham Sebagai Mata Wang Islam, Berita Harian Malaysia, 8 Juli.
___________. Transaksi Model Dinar, Dewan Ekonomi Malaysia, September 2003.
Abu Bakar Bin Mohd Yusuf, Nuradli Ridzwan Shah Bin Mohd Dali, Norhayati Mat Husin, 2002. Implementation of the Gold Dinar: Is It the End of Speculative Measures. Journal of Economic Cooperation, 23 (3): 71-84.
al-Qur’an dan Terjemahan. 1974. Menteri Agama Republik Indonesia.
Anwar, Muhammad. 2002. Euro and Gold Dinar: A Comparative Study of Currency Unions, dalam Proceeding of International Conference on Stable and Just Global Monetary Sistem: Viability of the Islamic Dinar, Putra World Trade Centre, Kuala Lumpur, 19-20 Agustus.
Anwar, Zainal Abidin. 2002. Sejarah Penggunaan Matawang Dinar, dalam Proceeding of National Dinar Conference. Kuala Lumpur. Kolej Universiti Islam Malaysia.
Haneef, Mohamed Aslam dan Barakat, Emad Rafiq. 2002. Gold and Silver as Money: A Preliminary Survey of Fiqhi Opinions and their Implications, dalam Proceeding of International Conference on Stable and Just Global Monetary Sistem: Viability of the Islamic Dinar, Putra World Trade Centre, Kuala Lumpur, 19-20 Agustus.
Bernstein, Peter L. 2000. The Power of Gold, USA: John Wiley.
Chapra, M. Umer. 1983. Money and Banking in Islam. Jeddad, King Abdul Aziz University: International Centre for Research in Islamic Economics.
Choudhury, Masudul Alam. 1997. Money in Islam: A Study In Islamic Political Economy, London: Routledge.
E-Dinar Lid. “History of the Dinar” Available:http://www.e-dinar.com/en/
el-Diwany, Tarek. 1997. The Problem with Interest, United Kingdom: TA-HA Publishers.
Greenspan, Alan. 1996. Gold and Economic Freedom. Objectivist.
Lietaer, Bernard. 1997. Global Currency Speculation and Its Implications. International Forum on Globalisation (IFG) Seminar.
Meera, Ahamed Kameel Mydin. 2002. The Islamic Gold Dinar. Kuala Lumpur: Pelanduk Publication.
Meera, Ahmed Kameel dan Abdul Azis, Hasanuddin. 2002. The Islamic Gold Dinar: Socio-economic Perspektives, dalam Proceeding of International Conference on Stable and Just Global Monetary Sistem: Viability of the Islamic Dinar, Putra World Trade Centre, Kuala Lumpur, 19-20 Agustus.
Mohamad, Mahathir. 2000. The Malaysian Currency Crisis: How and Why it Happened, News Strait Time. 27 Maret.
Salleh, Kamarul Rashdan, tt. Islam dan Ekonomi, Manchester UK, University of Salford: TIME Research Institute.
Tausing. 1927. International Trade, USA: John Wiley.
Vadillo, Umar, I. 1996. The Return of the Gold Dinar: A Study of Money in Islamic Law. Madinah: Madinah Press.



Categories: Bahasa Indonesia, Dinar Dirham,Islamica
Tags: Dinar, Dirham, mata uang Islam

Monday, July 4, 2016

TAUFIQ ISMAIL - RINDU PADA STELAN JAS PUTIH DAN PANTALON PUTIH BUNG HATTA

Rindu Pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta

Oleh : Taufiq Ismail

(Dibacakan oleh Taufiq Ismail pada: Acara Deklarasi Gerakan Nasional
Pemberantasan Korupsi, Sumatera Barat, di Asrama Haji, Tabing, Padang,
tgl. 15 Ramadhan 1424 H/10 Nopember 2003 M)

I.
Di awal abad 21, pada suatu Subuh pagi aku berjalan kaki di Bukittinggi,
Hampir tak ada kabut tercantum di leher Singgalang dan Merapi, yang belum
dilangkahi matahari,

Lalu lintas kota kecil ini dapat dikatakan masih begitu sunyi,

Menurun aku di Janjang Ampek Puluah, melangkah ke Aue Tajungkang,
berhenti aku di depan rumah kelahiran Bung Hatta,

Di rumah beratap seng nomor 37 itulah, di awal abad 20, lahir seorang
bayi laki-laki yang kelak akan menuliskan alphabet cita-cita bangsa di
langit pemikirannya dan merancang peta Negara di atas prahara sejarah
manusianya,

Dia tak suka berhutang. Sahabat karibnya, Bung Karno, kepada
gergasi-gergasi dunia itu bahkan berteriak, "Masuklah kalian ke neraka
dengan uang yang kalian samarkan dengan nama bantuan, yang pada
hakekatnya hutang itu".

Suara lantang 39 tahun yang silam itu terapung di Ngarai Sianok, hanyut
di Kali Brantas, menyelam di Laut Banda, melintas di Selat Makassar,
hilang di arus Sungai Mahakam, kemudian tersangkut di tenggorokan 200
juta manusia,

Dua ratus juta manusia itu, terbelenggu rantai hutang di tangan dan kaki,
di abad kini. Petinggi negeri di lobi kantor Pusat Pegadaian Dunia duduk
antri, membawa kaleng kosong bekas cat minta sekedarnya diisi. Setiap
mereka pulang, hutang menggelombang, setiap bayi lahir langsung dua puluh
juta rupiah berkalung hutang, baru akan lunas dua generasi mendatang.

II.
Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, aku merenung di depan rumah beratap
seng di Aue Tajungkang nomor 37 ini, yang di awal abad 20 lalu tempat
lahir seorang bayi laki-laki

Aku mengenang negarawan jenius ini dengan rasa penuh hormat karena
rangkaian panjang mutiara sifat: tepat waktu, tunai janji, ringkas
bicara, lurus jujur, hemat serta bersahaja,

Angku Hatta, adakah garam sifat-sifat ini masuk ke dalam sup kehidupanku?
Kucatat dalam puisiku, Angku lebih suka garam dan tak gemar gincu.
Tujuh windu sudah berlalu, aku menyusun sebuah senarai perasaan rindu,

Rindu pada sejumlah sifat dan nilai, yang kini kita rasakan hancur
bercerai-berai,

Kesatuan sebagai bangsa, rasa bersama sebagai manusia Indonesia, ikatan
sejarah dengan pengalaman derita dan suka, inilah kerinduan yang luput
dari sekitar kita,

Kita rindu pada penampakan dan isi jiwa bersahaja, lurs yang tabung,
waktu yang tepat berdentang, janji yang tunai, kalimat yang ringkas
padat, tata hidup yang hemat,

Tiba-tiba kita rindu pada Bung Hatta, pada stelan jas putih dan pantaloon
putihnya, symbol perlawanan pada disain hedonisme dunia, tidak sudi
berhutang, kesederhanaan yang berkilau gemilang,

Kesederhanaan. Ternyata aku tak bisa hidup bersahaja. Terperangkap dalam
krangkeng baja materialisme, boros dan jauh dari hemat, agenda serba
bendaku ditentukan oleh merek 1000 produk impor, iklan televise dan gaya
hidup imitasi,

Bicara ringkas. Susah benar aku melisankan fikiran secara padat. Agaknya
genetika Minang dalam rangkaian kromosomku mendiktekan sifat bicaraku
yang berpanjang-panjang. Angk Hatta, bagaimana Angku dapat bicara ringkas
dan padat? Teratur dan apik? Aku mengintip Angku pada suatu makan siang
di Jalan Diponegoro, yang begitu tertib dan resik,

Tepat waktu. Bung Hatta adalah tepat waktu untuk sebuah bangsa yang
selalu terlambat. Dari seribu rapat, sembilan ratus biasanya telat.
Kegiatanku yang tepat waktu satu-satunya ialah ketika berbuka puasa.

Kelurusan dan kejujuran. Pertahanan apa yang mesti dibangun di dalam
sebuah pribadi supaya orang bisa selalu jujur? Jujur dalam masalah
rezeki, jujur kepada isteri, jujur kepada suami, jujur kepada diri
sendiri, jujur kepada orang banyak, yang bernama rakyat? Rakyat yang di
tipu terus-menerus itu.

Ketika kita rindu bersangatan kepada sepasang jas putih dan pantaloon
putih itu, kita mohonkan kepada Tuhan, semoga nilai-nilai dan sifat-sifat
luhur yang telah hancur berantakan, kepada kita utuh dikembalikan.

III.

Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, di depan rumah beratap seng di Aue
Tajungkang nomor 37 ini aku menengok ke kanan dan ke kiri, kemudian aku
masuk ke dalamnya, dan di ruang tamu menatap potret dinding aku berdiri,

Tampaklah Bung Hatta di antara rakyat banyak dalam gambar itu. Tiba-tiba
Bung Hatta keluar dari gambar sepia itu.

Kemudian Bung Hatta berkata: "Ceritakan Indonesia kini menurut kamu"

Aku tergagap bicara. ^Angku, mangadu ambo kini. Angku, saya mengadu
kini. Krisis berlapis-lapis bagaikan tak habis-habis. Krisis ekonomi,
politik, penegakan hokum, pendidikan, pengangguran, kemiskinan, keamanan,
kekerasan, pertumpahan darah, pemecah-belahan, dan di atas semua itu,
krisis akhlak bangsa,

"Otoritarianisme panjang menyuburkan perilaku materialistic, tamak,
serakah, tipu-menipu, konspiratif, mengutamakan keluarga dekat,
memenangkan golongan sendiri, dan tingkah laku feodalistik,

Krisis nilai luhur merubah potret wajah bangsa menjadi anarkis,
bringas, ganas, tak bersedia kalah, tak segan memfitnah, memaksakan
kehendak, pendendam, perusak, pembakar dan pembunuh. Kekerasan, api,
batu, peluru, puing mayat, asap dan bom sampai ke seluruh muka bumi,

Tetapi tentang bom itu, nanti dulu. Sepuluh dua puluh tahun lagi,
lihat, akan terungkap apa sebenarnya sandiwara besar skenario dunia yang
dipaksakan hari ini. Mentang-mentang.

Aku menarik nafas. Bung Hatta diam. Tak ada senyum di wajahnya
Angku Hatta. Harga apa saja di Indonesia naik semua, kecuali satu.
Harga nyawa. Nyawa murah dan luar biasa jatuh nilainya. Di setiap demo
orang mati. Tahanan polisi gampang mati. Pencuri motor dibakar mati.
Anak-anak sekolah belasan tahun dalam tawuran, tanpa rasa salah dengan
ringan membunuh temannya lain sekolah. Mahasiswa senior yang garang
menggasak, menggampar, menyiksa juniornya sampai mati. Tahun depan
pmbunuhn di kampus lain di ulang lagi. Dendam dipelihara dan
diturunkan"

Sesak nafasku. Bung Hatta diam. Matanya merenung jauh.

Alkohol, nikotin, judi, madat, putau, ganja dan sabu-sabu telah meruyak
dan mencengkeram negeri kita, mudah dibeli di tepi jalan, di sekolah, di
mana-mana. Indonesia telah menjadi sorga pornografi paling murah di
dunia. Dengan uang sepuluh ribu anak SLTP dengan mudah bisa membeli VCD
coitus lelaki-perempuan kulit putih 60 menit, 6 posisi dan 6 warna.
Anak-anak SD membaca komik cabul dari Jepang. Di televisi peselingkuhan
dianjurkan dan diajarkan."

Gelombang hidup permisif, gaya serba boleh ini melanda penulis-penulis pula.

Penulis-penulis perempuan, muda usia, berlomba mencabul-cabulkan karya,
asyik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dan kompetisi Gerakan
Syahwat Merdeka. Betapa tekun mereka melakukan rekonstruksi dan
dekonstruksi daftar instruksi posisi syahwat selangkangan abad 21 yang
posmo perineum ini.

Dari uap alkohol, asap nikotin dan narkoba, dari bau persetubuhan liar
20 juta keeping VCD biru, dari halaman-halaman komik dan buku cabul
menyebar hawa lendir yang mirip aroma bangkai anak tikus terlantar tiga
hari di selokan pasar desa ke seluruh negeri.

Aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu
aku memikirkannya"

Jan aku tenan isin sakpore, sakpore, isin buanget dadi wong Indonesia,
Lek asane dadi nak Indonesia,

Masiripka mancaji to Indonesia,

Jelema Indonesia? Eraeun urang, eraeun,

Malu ambo, sabana malu jadi urang Indonesia,!(*)

Malu aku jadi orang Indonesia.
(*) Bahasa Jawa, Bali, Bugis, Sunda dan Minangkabau.

Aku berhenti bicara. Bung Hatta masih tetap diam. Matanya merenung sangat
jauh. Tiba-tiba bayangan wajahnya menghilang.

IV
Indonesia tersaruk-saruk.
Terpincang-pincang dan sempoyongan,
Dicambuki krisis demi krisis seperti tak habis-habis.
Indonesia kini sedang menangis.
Dari status Negeri Cobaan,
Dia turun derajat menjadi Negeri Azab,
Dan kini sedang bergerak merosot kearah Negeri Kutukan.
Indonesia tak habis-habis menangis.

Kusut, masai,
Nestapa, duka,
Pengap dan gelap.
Dari dalam sumur berlumpur ini,
Dari dasar tubir yang menyesakkan nafas ini
Kami menengadah ke atas,
Masih melihat sepotong langit
Dan mengharapkan cahaya.
Kami tetap berikhtiar,
Terus bekerja keras
Seraya menggumamkan doa.

Tuhan,
Jangan biarkan negeri kami
Yang kini sudah menjadi Negeri Azab,
Bergerak merosot kea rah Negeri Kutukan.

Tuhan,
Mohon,
Jangan ditolak
Do'a kami.

2003

***
Taufiq Ismail

TAUFIQ ISMAIL - PRESIDEN BOLEH PERGI PRESIDEN BOLEH DATANG 

PRESIDEN BOLEH PERGI 
PRESIDEN BOLEH DATANG 

Oleh : Taufiq Ismail

Sebuah orde tenggelam 
sebuah orde timbul 
tapi selalu saja ada suatu lapisan masyarakat di atas gelombang itu 
selamat 
Mereka tidak mengalami guncangan yang berat 
Yang selalu terapung di atas gelombang 
Seseorang dianggap tak bersalah sampai dia dibuktikan hukum bersalah 
Di negeri kami ungkapan ini begitu indah 
Kini simaklah sebuah kisah 
Seorang pegawai tinggi gajinya satu setengah juta rupiah 
Di garasinya ada Volvo hitam, BMW abu-abu, 
Honda metalik, dan Mercedes merah 
Anaknya sekolah di Leiden, Montpellier dan Savana 
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan macam-macam indah 
Setiap semester ganjil istri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura 

Setiap semester genap istri gelapnya liburan di Eropa dan Afrika 
Anak-anaknya .... 
Anak-anaknya pegang dua pabrik, tiga apotik dan empat biro jasa 
Selain sepupu dan kemenakannya buka lima toko onderdil, 
lima biro iklan, dan empat pusat belanja. 
Ketika rupiah anjlok terperosok, kepeleset macet dan hancur jadi bubur, 
dia, hah! 
dia ketawa terbahak-bahak karena depositonya dolar Amerika semua 
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit Barat, 
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat 
Krisis makin menjadi-jadi 
Di mana-mana orang antri 
Maka 100 kotak kantong plastik hitam dia bagi-bagi 
Isinya masing-masing: 
Lima genggam beras, empat cangkir minyak goreng, 
dan tiga bungkus mie cepat jadi. 
Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi 
dan masuk koran halaman lima pagi sekali 
Gelombang mau datang, 
Datang lagi gelombang setiap bah air pasang 
Dia senantiasa terapung di atas banjir bandang 
Banyak orang tenggelam toh mampu timbul lagi 
lalu ia berkata sambil berdiri: 
Yaaa... masing-masing kita kan punya sejeki sendiri-sendiri 
Seperti bandul jam bergoyang-goyang kekayaan misterius mau diperiksa 
Kekayaan... tidak jadi diperiksa 
Kakayaan... mau diperiksa 
Kekayaan... tidak jadi diperiksa 
Kekayaan... mau diperiksa 
Kekayaan... tidak jadi diperiksa 
Kekayaan... harus diperiksa 
Kekayaan... tidak jadi diperiksa 

***
Taufiq Ismail

(Dibacakan di beberapa pentas baca puisi di Jakarta)

TAUFIQ ISMAIL - YANG SELALU TERAPUNG DI ATAS GELOMBANG


YANG SELALU TERAPUNG 
DI ATAS GELOMBANG

Oleh : Taufiq Ismail

Seseorang dianggap tak bersalah, 
sampai dia dibuktikan hukum bersalah. 
Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. 
Kini simaklah sebuah kisah,

Seorang pegawai tinggi, 
gajinya sebulan satu setengah juta rupiah, 
Di garasinya ada Honda metalik,Volvo hitam, 
BMW abu-abu, Porsche biru dan Mercedes merah. 
Anaknya sekolah di Leiden, Montpelier dan Savannah. 
Rumahnya bertebaran di Menteng, Kebayoran dan 
Macam Macam Indah, 
Setiap semester ganjil, 
isteri terangnya belanja di Hongkong dan Singapura. 
Setiap semester genap, 
isteri gelap liburan di Eropa dan Afrika,

Anak-anaknya pegang dua pabrik, 
tiga apotik dan empat biro jasa. 
Saudara sepupu dan kemenakannya 
punya lima toko onderdil, 
enam biro iklan dan tujuh pusat belanja, 
Ketika rupiah anjlok terperosok, 
kepleset macet dan hancur jadi bubur, 
dia ketawa terbahak- bahak 
karena depositonya dalam dolar Amerika semua. 
Sesudah matahari dua kali tenggelam di langit barat, 
jumlah rupiahnya melesat sepuluh kali lipat,

Krisis makin menjadi-jadi, di mana-mana orang antri, 
maka seratus kantong plastik hitam dia bagi-bagi. 
Isinya masing-masing lima genggam beras, 
empat cangkir minyak goreng dan tiga bungkus mi cepat-jadi. 
Peristiwa murah hati ini diliput dua menit di kotak televisi, 
dan masuk berita koran Jakarta halaman lima pagi-pagi sekali,

Gelombang mau datang, datanglah gelombang, 
setiap air bah pasang dia senantiasa 
terapung di atas banjir bandang. 
Banyak orang tenggelam tak mampu timbul lagi, 
lalu dia berkata begini, 
"Yah, masing-masing kita rejekinya kan sendiri-sendiri,"

Seperti bandul jam tua yang bergoyang kau lihatlah: 
kekayaan misterius mau diperiksa, 
kekayaan tidak jadi diperiksa, 
kekayaan mau diperiksa, 
kekayaan tidak diperiksa, 
kekayaan harus diperiksa, 
kekayaan tidak jadi diperiksa. 
Bandul jam tua Westminster, 
tahun empat puluh satu diproduksi, 
capek bergoyang begini, sampai dia berhenti sendiri,

Kemudian ide baru datang lagi, 
isi formulir harta benda sendiri, 
harus terus terang tapi, 
dikirimkan pagi-pagi tertutup rapi, 
karena ini soal sangat pribadi, 
Selepas itu suasana hening sepi lagi, 
cuma ada bunyi burung perkutut sekali-sekali, 
Seseorang dianggap tak bersalah, 
sampai dia dibuktikan hukum bersalah.

Di negeri kami, ungkapan ini terdengar begitu indah. 
Bagaimana membuktikan bersalah, 
kalau kulit tak dapat dijamah. 
Menyentuh tak bisa dari jauh, 
memegang tak dapat dari dekat,

Karena ilmu kiat, 
orde datang dan orde berangkat, 
dia akan tetap saja selamat, 
Kini lihat, 
di patio rumahnya dengan arsitektur Mediterania, 
seraya menghirup teh nasgitel 
dia duduk menerima telepon 
dari isterinya yang sedang tur di Venezia, 
sesudah menilai tiga proposal, 
dua diskusi panel dan sebuah rencana rapat kerja,

Sementara itu disimaknya lagu favoritMy Way, 
senandung lama Frank Sinatra 
yang kemarin baru meninggal dunia, 
ditingkah lagu burung perkutut sepuluh juta 
dari sangkar tergantung di atas sana 
dan tak habis-habisnya 
di layar kaca jinggel bola Piala Dunia,

Go, go, go, ale ale ale...

1998

***
Taufiq Ismail

TAUFIQ ISMAIL - TUHAN SEMBILAN SENTI

TUHAN SEMBILAN SENTI

Oleh : Taufiq Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-
perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya
apakah ada buku tuntunan cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk
orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana
kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat
bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter
tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun
menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut
dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul
saling menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya
mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya
ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
Bisa ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil,
pertandingan bulutangkis,
turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik,
sambil ‘ek-‘ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat
dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh,
dengan cueknya,
pakai dasi,
orang-orang goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup
bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,
diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat merujuk
kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
ke mana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda
yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz.
Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan,
Di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum.

Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi).
Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok.
Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol,
sudah ada babi,
tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan,
jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir.
Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap,
dan ada yang mulai terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok
lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas,
lebih gawat ketimbang bencana banjir,
gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan,
berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana
dalam nikmat lewat upacara menyalakan api
dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana,
beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Friday, March 25, 2016

MENGENAL HADIST BUKHARI MUSLIM

MENGENAL HADIST SAHIH BUKHARI DAN SAHIH MUSLIM ( BUKHARI MUSLIM / MUTTAFAQUN ALAIH)

Orang pertama yang memiliki perhatian untuk mengumpulkan hadits-hadits shahih secara khusus adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari (Imam Al Bukhari) dan diikuti oleh sahabat sekaligus muridnya, Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi (Imam Muslim). Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah dua kitab hadits yang paling shahih, namun Shahih Bukhari lebih utama. Pasalnya, Imam Bukhari hanya memasukkan hadits-hadits dalam kitab Shahih-nya yang memiliki syarat sebagai berikut:

Perawi hadits sezaman dengan guru yang menyampaikan hadits kepadanya
Informasi bahwa si perawi benar-benar mendengar hadits dari gurunya harus valid
Sedangkan Imam Muslim tidak mensyaratkan syarat yang kedua, yang penting perawi dan gurunya sezaman, itu sudah dianggap cukup.

Demikianlah perbedaan tentang penilaian keshahihan hadits antara Imam Bukhari dan Imam Muslim, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Sebagaian ulama tidak berpendapat demikian, diantaranya Abu ‘Ali An Naisaburi, guru dari Al Hakim, dan beberapa ulama maghrib.

Namun demikian, bukan berarti Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengumpulkan semua hadits shahih yang ada pada kedua kitab tersebut. Buktinya, beliau berdua kadang meriwayatkan hadits shahih di kitab yang lain. Misalnya Imam At Tirmidzi dan sebagian yang lain, dalam kitab Sunan atau kitab lain, kadang meriwayatkan hadits dari shahih Al Bukhari yang tidak terdapat dalam kitab Shahih-nya.

Jumlah hadits shahih dalam Shahih Bukhari dan Muslim

Ibnu Shalah mengatakan bahwa hadits shahih dalam Shahih Al Bukhari berjumlah 7275 hadits dengan pengulangan. Jika tanpa pengulangan berjumlah 4000 hadits. Sedangkan dalam Shahih Muslim, tanpa pengulangan, berjumlah sekitar 4000 hadits.

Dikutip dari : Terjemahkan dari Al Ba’its Al Hatsits, karya Al Imam Abul Fida Ibnu Katsir rahimahullah
Penerjemah: Yulian Purnama
=================================

Shahihain (shahih-Ain') merupakan Istilah Islam yang digunakan untuk menyebut kedua kitab Shahih milik Imam Bukhari dan Imam Muslim. Yang lebih dahulu menyusun kitab shahih adalah Imam Al-Bukhari barulah kemudian Imam Muslim.

Penyusunnya:

Penyusun kedua kitab ini adalah Imam Bukhari dan Imam Muslim, di dalam ilmu hadits mereka berdua dijuluki Syaikhain, artinya "Dua orang Syaikh", yang mana Imam Muslim merupakan murid dari Imam Bukhari.

Kedudukannya:

Kitab shahih milik keduanya merupakan kitab yang disepakati oleh ahlussunnah sebagai kitab yang paling shahih setelah Al-Qur'an. Shahih Al Bukhari ditetapkan lebih shahih dan lebih banyak faidahnya diatas Shahih Muslim karena hadits-hadits dalam shahih Al-Bukhari lebih muttashil sanadnya dan lebih terpercaya (tsiqah) perawinya (rijal). Dalam shahih al-Bukhari terdapat pengambilan hukum (istinbat) fiqih dan kumpulan-kumpulan hukum yang tidak ada dalam Shahih Muslim. Kelebihshahihan ini ditinjau dari keseluruhan, maksudnya memang ada sebagian hadits dalam Shahih Muslim yang lebih shahih dari sebagian hadits yang ada dalam Shahih al Bukhari. ada juga yang menyebutkan bahwa Shahih Muslim lebih shahih daripada Shahih al Bukhari, tetapi pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat yang pertama.

Jumlah haditsnya:

Di dalam Shahih Al-Bukhari terdapat lebih dari 7.000 hadits termasuk yang diulang di dalam 97 jilid buku. Sedangkan di dalam Shahih Muslim jumlahnya sekitar 7500 hadits termasuk pengulangan dalam 57 jilid.

Kedua kitab tersebut belumlah merangkum semua hadits shahih yang ada. Al-Bukhari berkata: ” Aku tidak memasukkan dalam kitabku, yakni Al-Jami’ (Shahih Bukhari), kecuali yang shahih-shahih saja. Ada hadits-hadits shahih yang lain tidak aku masukkan karena terlalu panjang.” Imam Muslim berkata: “Tidak semua hadits shahih kucantumkan di situ, aku hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati (keshahihannya).” Masih banyak hadits shahih yang belum tercantum dalam Shahihain, ada riwayat dari Al Bukhari yang menyebutkan: ” Hadits-hadits shahih yang kutinggalkan masih banyak.” Dia juga berkata: “Aku menghafal 100.000 hadits shahih, dan 200.000 hadits (lainnya) yang tidak shahih.”

Hubungannya dengan Kitab-kitab Hadits yang lain:

Shahihain adalah dua diantara empat kitab induk hadits lainnya, yaitu Kutubus Sittah (6 kitab/perawi hadist).
Baca : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kutubus_Sittah

Syaikhain menyusun kitab dengan seleksi yang sangat ketat, sehingga hanya hadits-hadits yang memenuhi syarat tersebutlah yang tercantum ke dalam kitabnya. Dalam tahapan penulisannya, Al-Bukhari saja mengumpulkan dan meneliti satu juta hadits serta menemui 80.000 perawi di 7 negara. Dia sangat berhati-hati dalam menyusunnya dan disebutkan setiap kali akan menuliskan satu hadits, dia terlebih dahulu salat istikharah dan memohon pertolongan kepada Allah. Untuk menyelesaikan semua proses itu hingga tuntas, dia membutuhkan waktu 16 tahun.

Hadits-hadits shahih lainnya yang tidak masuk ke dalam Shahihain dapat ditemukan tersebar dalam berbagai kitab kumpulan hadits yang lain. Seperti pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Al-Mustadrak al-Hakim, Kitab hadits yang enam, Kitab Sunan yang empat (Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi (Jami’ At-Tirmidzi), Sunan An-Nasa-i, Sunan Ibnu Majah), Sunan Ad-Daruquthni, Sunan Al-Baihaqi, dan lainnya.

Syarat (kriteria) Al-Bukhari dan Muslim:

Hadits yang keotentikannya (keshahihannya) disepakati oleh keduanya, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim, disebutkan dalam istilah hadits sebagai Muttafaqun ’alaih (diriwayatkan oleh keduanya - Bukhari & Muslim).

Sementara Imam Syaukani di dalam kitab haditsnya Nailul Authar menggunakan istilah Muttafaqun ’alaih untuk menyebut hadits yang disepakati oleh Imam Bukhari, Imam Muslim ditambah dengan Imam Ahmad.

Terdapat pula kitab shahih yang disusun berdasarkan syarat dan metode penyusunan Imam Bukhari dan Muslim. Disebutkan dengan hadits yang shahih menurut syarat Bukhari dan atau Muslim namun Bukhari dan atau Muslim tidak mengeluarkannya. Di antarakitab tersebut adalah kitab Al-Mustadrak ala ash-Shahihain karya Al-Hakim An-Naisyaburi juga "Al-Jami'ush Shahih Min Ma Laisa fi Al-Shahihain" (Kumpulan Hadits Shahih yang Tidak Dikeluarkan di Shahihain) karya Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i.

Imam Nawawi berkata, “Maksud perkataan para muhaddits, "sesuai syarat (kriteria) keduanya atau salah satunya", adalah bahwa para periwayat sanad tersebut terdapat dalam kitab Al-Bukhari dan Muslim atau salah satunya, karena keduanya tidak memiliki (tidak menetapkan) syarat dalam kitab keduanya dan tidak pula dalam selain kitab keduanya.”

^ Kitab Taysir Musthalah al-Hadits, Dr. Mahmud ath-Thahhan, Maktabah al Ma’arif, hal. 48-50.
^ http://www.sunnah.com/bukhari
^ http://www.sunnah.com/muslim
^ Ulumul Hadits hal.16

Monday, March 14, 2016

CURHAT SEORANG MAHASISWA JOGJA TENTANG SALAFY WAHABI

Pertama kali saya tahu kajian-kajian salafi (wahabi–red) itu sekitar 2006. Pas kuliah di Jogja. Sebelum itu saya fanatik dengan agama lokal dari kampung halaman di Situbondo. Jadi, pas awal pindah ke Jogja dan tinggal di rumah nenek, saya nggak mau jumatan di mesjid dekat rumah, sebab adzannya 1x, nggak kayak di kampung halaman, adzan 2x, khotibnya pegang tongkat, dan sebelum khotbah biasanya ada salah 1 jamaah yang berdiri terus bilang “Yaa ma’syarol muslimin…” dst..

Ketika tahu mesjid dekat rumah nggak seperti itu, saya nggak mau jumatan di situ, memilih jalan jauh ke mesjid kampus UGM, padahal ya sama saja adzannya juga 1x, tapi saya sudah terlanjur “alergi” dengan orang-orang di mesjid deket rumah itu, mereka pakai celana cingkrang, jenggotan. Hih. Ogah, mending ke mesjid kampus UGM yang jamaahnya lebih umum, masih ada yang pake celana jin.

Waktu itu saya tahunya mereka yang cingkrang itu Muhammadiyah… Dan menurut ajaran dari kampung, Muhammadiyah itu nggak tahlilan, sementara kita NU tahlilan. Gitu aja definisinya, tanpa ada niat nyari tahu kok bisa beda? Kan pasti ada alasannya? Lalu yang lebih mendekati kebenaran yg mana? Nggak ada pikiran semacam itu. Pokoknya kalau sudah lahir di keluarga NU ya sudah ikut saja. Apalagi sejak kecil sudah dibangun sentimentalisme kefanatikan seolah Muhammadiyah itu aneh.

Ke-alergian terhadap orang-orang di mesjid dekat rumah itu berlangsung sekitar 2 tahun. Sampe suatu masa, di Jogja lagi rame kasus mahasiswa yang tiba-tiba direkrut oleh semacam gerakan baiat gitu, sehingga tiba-tiba nggak mau ngobrol sama orangtuanya karena orangtua dianggap kafir (naudzubillah).

Pokoknya entah aliran apa namanya, NII apa ya? Wuih itu ngeri. Teman sekelas saya, cewek, ada yang kena gerakan itu. Bahwa Indonesia bukan negara islam, kita harus bikin negara islam, bla bla bla… Saya lalu berhati-hati. Kalau kebetulan ke kampus MIPA selatan, di seberang kampus ada masjid Al Hasanah, di mesjid itu perempuannya pakai cadar hitam-hitam, saya sering bilang, “Itu pasti yang aliran sesat.”

Di periode itu, model ikhwan-akhwat dalam sebuah wadah bernama liqo’ juga mulai menjamur di kampus. Ada seorang sahabat yang keren digandrungi akhwat-akhwat, dia kalo lagi nggak ada jam kuliah nongkrongnya di musholla, ngobrol sama akhwat di balik hijab. Saya iri, kan kepingin juga didekatin cewek-cewek.

Apalagi waktu itu ada akhwat yang cantik sekali, yang membuat saya tahu diri, siapalah saya ini, jenggot tipis aja nggak punya, nggak ada potongan seorang ikhwan…. Namun demi mendapat perhatian, itu jadi semacam titik tolak untuk berniat belajar agama (nggak ikhlas banget niatnya…) Saya segera rajin lihat papan pengumuman yang terpajang di musholla. Lihat ada poster acara apa yang berhubungan dengan agama. Nyari yang gratisan.
Maka, acara agama yang pertama saya datangi itu acaranya Hizbut Tahrir, dalam keadaan saya awam tentang kelompok ini, yang penting kan datang aja biar keren dan kelihatan alim dapat sertifikat. Waktu itu acaranya di Aula Fakultas Pertanian. Jadi bukan mesjid, melainkan kayak seminar, duduk di bangku-bangku kuliah, ada meja-meja melingkar dibikin kelompok, lalu ada layar proyektor, slide, gitu-gitu, endingnya pesertanya dapat CD. Saya gak paham apa yang disampaikan, tiba-tiba disuruh diskusi, ada makan siang, yang penting datang aja biar keren.

Esoknya di kampus, saya tunjukkan CD dan sertifikat ke sahabat saya yang digandrungi akhwat itu, pamer: nih saya juga tahu datang seminar islam… Dia malah kaget, “Lho, kamu datang ke acaranya HTI?” Mendengar pertanyaan itu, saya balik kaget, “Lho kenapa ya emangnya?”

Sejak itu, saya tahu kalau ada banyak kelompok-kelompok kaum muslimin, saya kira cuma Muhammadiyah dan NU. Ternyata ada HTI, ada Ikhwanul Muslimin (IM), NII, LDII, MTA.. Nah yang liqo’ ini ujungnya saya tahu afiliasi mereka ke IM.

Saya mulai mempelajari masing-masing perbedaan antar kelompok, mengenal tokoh-tokoh mereka. Jadi tahu oh ternyata HTI itu tujuannya gini, cirinya gini, IM itu gini, cirinya gini. Saya kadang datang ke obrolannya anak IM, kadang ngobrol dengan anak HTI, pokoknya yang obrolannya agama, ikut nimbrung….

Namun saya mesti berpikir rasional, bahwa pasti ada alasan kenapa kelompok ini begini, kelompok itu begitu, mesti diuji materi, sehingga bisa ketahuan mana yang setidaknya paling bisa saya percaya. Bukan lantas tidak mau repot-repot, ya sudahlah mereka bisa benar, kita bisa benar, yang tahu kebenaran hanya Allah. Wis, lalu jadilah paling toleran, simsalabim, islam nusantara… Nggak gitu, kalo gitu sih nggak perlu ada dakwah saja, nggak perlu diutus Nabi dan Rasul, nggak perlu diturunkan AlQur’an, biar aja setiap manusia percaya dengan keyakinan sendiri-sendiri…

Dalam dunia eksak, selama segala hal yang berbeda bisa dicari pemecahannya, mana yang lebih valid, maka dicari. Bahkan kalo bisa yang berbeda-beda itu diajak bersatu. Sehingga logikanya, bersatu di atas landasan yang kokoh. Bukan sengaja berbeda lalu pura2 bersatu saling toleransi padahal saling sikut. “Kau sangka mereka bersatu padahal hati mereka berpecah belah,” kata ayat dalam Al Qur’an.

Sekarang kan apa-apa ditoleransi, ada kelompok yang penentuan Idul Fitrinya berdasarkan pasang surut air laut, ditoleransi, ada orang ngaku jadi Nabi, ditoleransi, besok ada yang sholat dhuhur 8 rokaat pun pasti ditoleransi. Lha ya udah rusak dakwah ini, tiap mau bilang, “eh ini nggak boleh,” dibales, “kamu merasa bener sendiri, menyesat-nyesatkan orang. Mau memonopoli surga.” Ya sudaaah repot.

Karena itulah pengusung paham buram: saya bisa benar, kamu bisa benar, semua bisa benar, toleran, liberal, itu biasanya datang dari mereka yang kuliah di fakultas non-eksak. Filsafat terutama. Karena sudah dibiasakan berpikir seperti itu. Selama masih bisa ngeles ya ngeles terus. Bermain-main opini saja. Mana yang kelihatan paling keren opininya, paling satir, ya wis, itu yang juara! Nggak urus itu ngawur apa nggak.

Balik ke cerita. Setidaknya satu sisi positif dari hasil bergaul dengan teman-teman HTI dan IM adalah, saya mulai tidak alergi dengan penampilan celana cingkrang dan jenggot. Sebab sebagian teman ada yang begitu. meski saya belum tahu alasannya. Mungkin tren.

Nah, kemudian muncullah sebuah pertanyaan besar: Lalu, kalau orang-orang yang di mesjid dekat rumah, yang cingkrang, jenggotan, itu aliran apa ya?

Mulai deh. Sehabis maghrib biasanya kan ada kajian. Sesekali saya coba duduk di teras mesjid, dengerin yang diomongin si ustadz… Oh, ternyata ustadz itu bicaranya tentang tauhid, syirik, sunnah, bid’ah… Kok kayaknya menarik? Belum pernah nih di kampung ada ceramah kayak gini.

Kemudian lain waktu saya mulai masuk deh ikut kajian itu biarpun nggak ada sertifikat. Sehabis maghrib, malam selasa dan malam sabtu. Asli, saya jatuh cinta. Cara ustadznya menjelaskan, terus banyak hal baru yang saya ketahui dan bikin, “Oh, gitu ya? Oh ternyata gitu?”

Berbeda dengan seminar yang kebanyakan seperti bertele-tele, ustadz di mesjid ini langsung ke poinnya. Dan setelah beberapa kali saya ikuti, ternyata bisa disimpulkan tujuan dakwahnya mereka ini sederhana banget: cuma gimana biar bisa ibadah dengan bener, tahu landasannya, bukan ikut-ikutan. Gimana biar kita terasa hidup dekat dengan Nabi dan para sahabat. Udah. Gitu. Simpel banget. Terlalu simpel malahan.

Nggak ada tujuan bikin negara islam, bikin gerakan rekrut orang, bai’at, kartu anggota, tur ziarah.. Nggak ada. Cuma diajarkan, udah meng-Esa-kan (mentauhidkan) Allah dengan bener belum? ibadah kita selama ini udah sesuai dengan tuntunan Rasulullah belum? Wis, tok, til, itu aja.

Mereka tidak punya penamaan seperti IM atau HTI, sebab konon memang nggak punya nama, cuma berdakwah mengajak pada islam yang murni dan lurus.

Adapun kemudian saya dengar dari orang-orang, bahwa mereka dinamakan wahabi… Ketika saya baca artikel tentang wahabi, itu wuh sadis banget! Konspirasi dengan Inggris, temennya Mamarika, menghancurkan makam Nabi, radikal, ngajarin pegang senjata. Apalagi kalau levelnya sudah utak-atik sejarah, ada buku judulnya Sejarah Berdarah Sekte Wahabi. Kok sangar temen? Padahal realitas yang saya datangi sendiri, nggak ada itu.

Maka terjadi pergolakan besar dalam diri saya. Dimasuki banyak hal-hal yang terasa baru. Wahabi ternyata tidak merayakan maulid, alasannya: soalnya Rasul tidak merayakannya. Simpel banget! Tapi wahabi justru mengajarkan cinta Rasul dengan meneladani beliau. Akhirnya saya tahu, oh, jadi Rasul memerintahkan kain celana di atas mata kaki, pantesan mereka cingkrang.

Saya ragu, apa mau cingkrang juga ya? Duh, nggak keren lagi dong kalau ke kampus. Antara menuruti jiwa muda untuk tampil modis atau menuruti perintah Rasul? Yah kok Rasul nyuruh gini sih? Berat hati. Sebenarnya kalau saya mau menolak, ada jalannya, yaitu embusan dari orang-orang bahwa cingkrang itu ciri teroris, bahwa itu sebetulnya nggak wajib, bahwa jangan terlalu kaku lah dengan dalil, memahami hadits harus dari sudut pandang modern…

Pokoknya opini-opini yang sifatnya menolak dengan cara ngalor-ngidul dulu mencari-cari pembenaran. Sementara wahabi itu simpel banget: Ada dalil, sahih, kerjakan. Tidak ada, tidak perlu dikerjakan.

Tapi yang sederhana begini, masyaAllah… Dihujat di mana-mana. Apalagi di kalangan penulis intelektual filsafat satiris posmodern, seperti jadi musuh bersama.

Wahabi dibilang anti-maulid, tidak cinta Rasul. Padahal saya lihat mereka yang paling meneladani perilaku Rasulullah. Selama di kampung saya nggak tahu kalo Rasul memerintahkan kain celana di atas mata kaki.

Wahabi dibilang tidak mau shalawat. Padahal saya lihat mereka cuma mencukupkan shalawat yang diajarkan Rasul, yaitu shalawat yang biasa dibaca di tahiyat akhir dalam sholat, bukan shalawat hasil ide-ide kreatif.

Wahabi dibilang melarang ziarah kubur, padahal mereka cuma melarang minta-minta sama orang mati meskipun itu wali, bukan ziarahnya yang dilarang.

Juga dibilangnya wahabi mau bikin mazhab baru, padahal pas kajian mereka tetap mengutip pendapat Imam Syafi’, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad. Bahkan mereka selalu mengkaji, jika 4 pendapat imam itu berbeda, maka mana yang lebih mendekati sunnah, itu yang diikuti, tanpa merendahkan keilmuan salah satu dari imam mazhab. Jadi nggak asal, kita mazhabnya syafi’i, lalu fanatik, sampai ada yang nggak mau nikah dengan mazhab lain.

Dan semua yang wahabi lakukan, itu karena ada dalil dari Rasulullah. Bukan karena ingin memecah belah atau tampil beda atau merasa benar sendiri yang lain sesat.

Bahkan saya lihat, wahabi itu yang paling banyak mengalah dari keinginannya. Gimana gak ngalah? Perempuannya bercadar, jilbab lebar hitam. Padahal kalo dipikir-pikir, kan enakan islam yang ditawarkan kaum liberal, beragama tapi bebas nggak terikat apa-apa. Nggak mesti jilbaban, dll.

Jadi kalau ingin berislam tapi nggak mau disuruh ini itu, saya sarankan ikut liberal, selalu dikasih solusi untuk ngeles. Anda males pake jilbab, tenang, jadilah liberal, baca Quraish Shihab, ada solusinya, jilbab itu nggak wajib kok, anaknya aja nggak berjilbab. Bahkan Anda akan bisa merasa lebih jumawa dari mereka yang pakai cadar…. Lha perempuan wahabi, udah cadaran, sumuk, kehilangan kesempatan bersolek, eh malah jadi bahan olokan. Kalau bukan karena kecintaan terhadap sunnah, dijamin mereka gak akan sibuk merepotkan diri seperti itu.

Sejak itu saya gak terpengaruh lagi dengan opini orang tentang wahabi, mau dibilang gak cinta Rasul kek, dibilang suka membid’ahkan orang kek, suka mengkafirkan orang, merasa masuk surga sendiri yang lain masuk neraka. Karepmu! Sebab saya tahu, realitasnya tidak seperti itu. Dan memang kalau ikut opini orang, nggak bakal selesai.

Masih ingat kan kisah bapak, anak, dan seekor onta? Ketika anaknya naik onta, sementara bapaknya jalan sambil nuntun tali onta, orang-orang bilang, “Anak durhaka, enak-enakan di atas, Bapaknya disuruh nuntun.” Mendengar itu, anaknya turun, lalu ganti, bapaknya naik onta, anaknya nuntun. Orang bilang, “Bapak gak tahu kasihan, enak-enakan di atas onta, anaknya malah disuruh jalan.” Maka sekarang, anak dan bapak berdua sama-sama naik onta. Orang-orang bilang, “Gak tahu kasian sama binatang, onta kurus gitu kok dinaiki berdua.” Ujung-ujungnya bapak dan anak sama-sama jalan nuntun onta. Eh orang masih bilang, “Mereka berdua itu kok goblok banget, punya onta tapi gak dinaikin malah dituntun aja.”

Gitulah, di mana-mana, opini orang gak bisa dijadikan acuan. Apalagi opini dari ahlul pelintir bahasa, wuh, hebat-hebat, yang insecure lah, sesat sejak dalam pikiran lah, ini lah, itu lah. Berbeda dengan wahabi ketika mengomentari sebuah aliran tertentu, itu bukan pakai opini pelintir bahasa, tapi langsung ke akarnya.
Ketika mengomentari syiah misalnya. Pengusung toleransi semu akan menyeret opini bahwa syiah dan sunni cuma perbedaan mazhab, politis, diseret tentang hak asasi, minoritas, dst.. Kalau wahabi langsung ke kitab induk syiah. Bahwa syiah ini menyimpang karena mengkafirkan mayoritas sahabat, menyebut Abu Bakar & Umar sebagai dua berhala Quraisy, menganggap Aisyah sebagai pelacur, menghalalkan darah nashibi (ahlus sunnah), memiliki Al Qur’an 3x lebih tebal, syahadatnya berbeda, adzannya beda, menghalalkan kawin kontrak, malam kawin pagi cerai… Itu. To the point. Kalau alasan itu diterima, mereka memuji Allah. Tidak diterima, tetap memuji Allah.

Saya pun mulai rajin mengikuti kajian wahabi, bahkan yang jauh-jauh dan ustadznya sampai dari Arab. Semakin banyak perbedaan yang bisa ditangkap secara kasat mata:

Pertama. Di kampung saya, kalau kiyai/ustadz datang, itu kadang tangannya jadi rebutan, dicium-cium sama jamaahnya. Bahkan cara cium tangannya itu bisa dramatis sekali ada teknik-teknik tersendiri. Apalagi kalo yang datang itu level syaikh pondok ini, atau anak keturunan syaikh itu, wuh tambah jadi rebutan.

Berbeda dengan kajian wahabi. Biarpun penceramahnya level ulama paling senior dan sepuh pun, sewaktu ulama itu datang dan jalan ke depan, jamaahnya biasa aja duduk.

Kalau pakai opini orang, kesannya wahabi tidak menghormati ulama. Padahal saya melihat, mereka menghormati ulama ya karena ilmunya, bukan karena fisiknya atau keturunan siapa, jadi tidak lebay rebutan cium tangan, apalagi seolah mengkultuskan rebutan air liur, diyakini mustajab, hiii.

Wahabi itu nggak pernah nyebut-nyebut syaikh siapa jadi doa berjamaah, bikin haul. Nggak pernah. Sebab mereka beneran cuma menghargai ilmu, tidak berlebihan terhadap tokoh… Beda di kampung saya, fatihah ila hadarotin syaikh ini, syaikh itu, diulang-ulang tiap ada selamatan, tapi orang-orang nggak tahu syaikh itu siapa sih? Buku kitabnya apa? Nggak ada. Pokoknya kiyai nyebut syaikh itu tiap selamatan, ya sudah sampe turunannya tetap nyebut syaikh itu. jamaahnya ya amin-amin saja terus makan rawon.

Yang kedua. Yang namanya pengajian, di kampung saya biasanya identik dengan nyanyi-nyanyi, baca Al Fatihah, awal Al Baqoroh, ayat kursi, sholawat apa gitu panjang, baru setelah itu ada ceramah. Kalo di wahabi, ustadznya datang, duduk, langsung membuka materi dg khutbatul hajah, lalu mengajar, ada istirahat, tanya jawab, abis itu selesai, pulang. Nggak ribet.

Yang ketiga. Kalo di kampung saya, segala jenis ibadah wis tinggal nyontoh saja, kalo ngaji maghrib itu kadang ada pelajaran sholat dari kiyai, ya sudah langsung baca aja rame-rame dari usholli sampai salam. Tapi di wahabi itu ilmiah sekali, tidak asal ikut ustadznya, melainkan diajari memahami bahwa setiap gerakan sholat itu dilakukan karena ada contohnya, kita melakukan ibadah karena memang ada riwayatnya dari Rasul. Kalau nggak ada riwayatnya, ya nggak perlu repot-repot dikerjakan. Sehingga ketika sholat, setiap gerakan kita terasa dekat dg Rasulullah sebab tahu ada rantai yang bersambung.

Hal lain juga. Saya jadi tahu, misalnya, Allah mengampuni semua dosa kecuali dosa syirik. Dosa syirik tidak akan diampuni kalau pelakunya mati sebelum sempat bertobat. Sebab dosa syirik itu paling besar, paling bahaya, sehingga kita mesti tahu cabang-cabangnya. Bahwa perdukunan itu syirik, meyakini hari sial itu syirik, minta-minta ke orang mati itu syirik, jimat itu syirik, ada syirik besar dan syirik kecil, harus waspada dan selalu mengoreksi diri sendiri.

Sejak itu, ngeri lah karena ternyata banyak keyakinan saya selama ini tergolong syirik, seperti keyakinan kalo nabrak kucing berarti sial, pergi gak boleh hari jumat, dst…. Kalau di kampung saya, yang dimaksud syirik ya menyembah patung berhala. gitu aja. Mana ada hari ini orang islam sekonyol itu nyembah patung? Kalau dosa syirik cuma sebatas nyembah patung, alangkah mudahnya itu dihindari?

Apalagi pas tahu banyak hal yang selama ini biasa saya lakukan, ternyata bid’ah, tidak diajarkan Rasul. Saya yang sudah telanjur ngefans dengan sholawat nariyah dan hapal di luar kepala sejak ngaji jaman SD, kaget lho jadi sholawat nariyah itu bid’ah? Sempat gak terima. Tapi tumbuhnya kecintaan untuk mengenal, “Jadi, islam yang aslinya sesuai Nabi itu gimana?” Itu membuat saya rela untuk melepas atribut kefanatikan dan segala hal yang sudah diyakini sejak kecil. Seandainya saya sudah anti sejak awal, kan bisa dengan mudah mudah langsung saya cap, “Wo, wahabi itu menyalah-nyalahkan orang, masak sholawatan aja nggak boleh.”

Saya lalu menyadari, faktor penting orang sulit menerima kebenaran, adalah karena kebenaran itu menghantam keras pada apa yang sudah diyakininya selama ini sebagai kebenaran.

Sama, di masa jahiliyah dahulu, Sebelum Muhammad diangkat sebagai Nabi, beliau sudah digelari Al Amin (yg bisa dipercaya) oleh kaumnya, sebab memang sangat dipercaya, sampai-sampai jika Muhammad berkata, “Ada pasukan musuh di balik gunung ini.” Maka mereka percaya. Tapi setelah mendapat wahyu, mengajak untuk menyembah Allah saja, yang mana itu menghantam keras pada keyakinan kaum Quraisy saat itu, langsung berubah mereka menjuluki Rasulullah jadi Majnun, tukang sihir…

Maka dari itu, ketika ada yang bilang wahabi merasa benar sendiri, itu aneh. Sebab wahabi itu justru orang yang mau mencari kebenaran meski konsekuensinya berat karena harus meninggalkan kebiasaan masa lalu yang sudah dianggap sebagai kebenaran… Kalau sejak awal merasa sudah yakin paling benar, tentu mereka akan tetap dengan keyakinan agama kakek moyang selama ini, nggak mau diingatkan tentang syirik, bid’ah dan lain sebagainya.

Nah. Pada akhirnya, saya salut terhadap mereka ini, yang ikhlas mengajak masyarakat untuk kembali ke agama yang murni, mengingatkan orang bahaya syirik, bahaya bid’ah, meskipun dihujat banyak orang, dituduh sesat, macem-macem. Terserah orang lain menamai mereka wahabi, atau seburuk apapun, itu cuma nama saja, tidak mengubah hakikat…

Tapi anggap saja penamaan wahabi diterima. Coba cek di media netral seperti wikipedia.https://id.wikipedia.org/wiki/Wahhabisme, lalu baca, di mana penyimpangannya? Kenapa kok dimusuhi banget?

Saya juga ingin terus belajar. Semoga kita semua mendapat petunjuk untuk mencari hidayah. Hidayah datang dari Allah. Kita mencari kebenaran bukan untuk menyalah-nyalahkan orang. Selama seseorang ikhlas untuk terus mencari agama Allah yang lurus dan menempuh jalan-jalannya, maka akan disampaikan ke tujuannya.

— Kopas dari status kawan FB

: