: Bait Bait Jiwa: November 2016

Tuesday, November 22, 2016

MENDAULATKAN DINAR DAN DIRHAM SEBAGAI MATA UANG TUNGGAL DUNIA ISLAM







Sunday, 20 April 2008M. Shabri H. Abd. Majid
The IIUM Institute of Islamic Banking & Finance (IIiBF)
International Islamic University, Malaysia (IIUM)
E-Mail: mshabri@iiu.edu.my

Abstract
This paper highlights the superioties of Islamic gold dinar and silver dirham over the current paper money (fiat money). Many contemporary Islamic economists believe that dinar and dirham are a desirable alternative of money viewed from social, economic, politic and religious perpectives. The paper then focuses on both prospects and challenges faced by the Muslim countries in their efforts to return to dinar and dirham. At the initial stage of implementating dirnar and dirham, the current fiat money, dinar and dirham may coexist while a transition takes place gradually. The gradual implementation of dinar and dirham is aimed at avoiding shock to the economy. In addition, the Muslim efforts to return to dinar and dirham will be eased by the advancement of Information and Technology (IT) and internet. The paper finally discusses the transaction models of dinar and dirham. From these transaction models, it is found that a small bushel of the gold can support a large number of international transactions.

1. Pendahuluan
Kenapa setiap meningkatnya (appresiasi) nilai Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, maka ekonomi Indonesia dianggap sedang membaik? Sebaliknya, bila nilai Rupiah merosot (depresiasi), maka ekonomi Indonesia dianggap semakin labil. Apakah kepulihan ekonomi sesuatu negara pantas disandarkan pada naik-turunnya nilai uang mereka terhadap Dolar? Bagaimana kalau appresiasi Rupiah terjadi bersamaan dengan depresiasi Dolar, apakah masih memiliki implikasi yang sama? Tentu jawabannya tidak. Dengan kata lain, tatkala nilai Rupiah konstan, tetapi Dolar yang mengalami depresiasi—seolah-olah nilai Rupiah naik dengan sendirinya—maka menguatnya perekonomian Indonesia tidak dapat disandarkan pada naik-turunnya nilai Dolar. Jadi, mengukur tingkat kepulihan dan pertumbuhan ekonomi negara berdasarkan appresiasi atau depresiasi nilai uang domestik terhadap Dolar adalah suatu metode keliru.
Kenapa Dolar tidak bisa dijadikan tolok ukur kepulihan, kemakmuran dan juga pertumbuhan ekonomi? Ini karena Dolar bukanlah mata uang yang terjamin kestabilannya. Tidak stabilnya nilai Dolar adalah, inter alia, disebabkan fluktuasi tingkat inflasi dan adanya tindakan spekulasi dalam pasar valuta asing (Valas). Ini semua akan mempengaruhi jumlah permintaan dan penawaran Dolar. Bahkan pendewaan Dolar telah menyebabkan nilai Rupiah semakin rapuh dan perekonomian Indonesia semakin labil. Sebagai contoh, keterpaksaan Indonesia untuk membiayai pembangunan negara bersumber dari hutang pada negara-negara maju dimana proses peminjaman dan pembayaran hutang yang melibatkan Dolar, tentunya, akan semakin memperlemah nilai Rupiah pada khususnya dan juga perekonomian Indonesia pada umumnya. Semakin banyak permintaan Dolar, maka akan semakin tinggi nilai Dolar di pasar Valas. Sebaliknya, semakin banyak jumlah Rupiah yang ditawarkan, maka nilai Rupiah akan semakin melemah. Ini semua tidak akan terjadi andaikata kita telah mengadopsikan Dinar (emas) dan Dirham (perak) sebagai mata uang negara. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi bangsa Indonesia dan umat Islam untuk bersandar pada mata uang yang memiliki tingkat kestabilan yang lebih terjamin tanpa dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran uang, bebas dari inflasi, bunga (riba), gharar, gambling, dan unsur-unsur spekulatif. Umat Islam harus segera melepaskan rantai ketergantungan mereka pada negara-negara maju (Dolar). Maka tiada pilihan lain, dan pilihan itu adalah pilihan yang paling tepat, yaitu “back to Dinar and Dirham”, seperti telah digunakan sejak zaman Romawi hingga ambruknya Kekhalifahan Usmaniyah, 1924. Kestabilan  uang Dinar (emas) dan Dirham (perak), sebenarnya, juga telah diakui dunia kapitalis. Contohnya, ketika kembali menggunakan uang standar emas pada tahun 1879, tingkat inflasi di Amerika Serikat menurun drastis menyamai tingkat inflasi pada tahun 1861, pada saat uang standar emas digunakan.

2. Sekilas Sejarah Dinar
Banyak yang berpendapat bahwa mata uang Dinar merupakan warisan kekhalifahan dunia Islam. Dalam makalahnya, “Sejarah Penggunaan Matawang Dinar” yang dipresentasikan pada National Dinar Conference di Kuala Lumpur, Anwar (2002) mengatakan bahwa mata uang Dinar telah mulai dicetak dan digunakan sejak masa awal pemerintahan Islam. Namun, kata “Dinar” bukanlah berasal dari bahasa Arab, tetapi  berasal dari bahasa Yunani dan Latin atau mungkin merupakan versi lain dari bahasa Aramaic-Persia “Denarius”. Sementara itu, Dirham diambil dari uang perak “Drahms”, yang digunakan orang-orang Sassan di Persia. Drahms telah diambil dari nama uang perak “Drachma” yang digunakan oleh orang-orang Yunani.
Pada dasarnya, Dinar dan Dirham yang pertama sekali digunakan umat Islam adalah dicetak oleh orang-orang Persia. Dirham perak Sassanian Yezdigird III adalah mata uang koin (logam) yang pertama digunakan umat Islam. Kemudian, Dinar dan Dirham yang digunakan pada masa Khalifah Usman bin Affan juga tidak jauh berbeda dengan koin yang digunakan bangsa Persia, kecuali perbedaan penulisan bahasa di sisi uang Dirham tersebut. Penulisan bahasa Arab dengan nama Allah dan bagian dari ayat-ayat al-Qur’an di Dinar dan Dirham sudah menjadi budaya umat Islam kala itu tatkala mencetak uang Dinar.
Dirham yang pertama dicetak adalah oleh Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan pada tahun 695 Masehi. Beliau mengarahkan Al-Hajjaj untuk mencetak Dirham dengan nilai 10 Dirham yang mempunyai harga sama dengan 7 Dinar (mithqal). Setahun kemudian, beliau menyerukan agar Dinar dicetak dan digunakan di seluruh wilayah kekuasaannya. Di koin Dinar itu, kata-kata “Allah adalah Esa” dan “Allah adalah Abadi” ditulis menggantikan gambar-gambar binatang yang sebelumnya tertera di Dinar.  Sejak saat itu, uang Dinar telah pula dicetak berbentuk bulat, di satu sisi bertuliskan “La Ilaha Illallah” dan “Alhamdulillah” dan di sisi lain tertera nama Khalifah yang mencetak uang dan tanggal pencetakannya. Kemudian, sudah menjadi hal yang lumrah, di atas koin Dirham ditulis “Sallallahu ‘Alayhi Wa Sallam” dan kadang-kadang ditulis pula potongan ayat-ayat al-Qur’an. Dinar dan Dirham tetap menjadi mata uang sah umat Islam kala itu sehingga runtuhnya khalifah Islamiyah. Sejak keruntuhan khalifah Islamiyah, berbagai jenis dan bentuk uang kertas dan logam (fiat money) mulai diperkenalkan.
Di Bumi Nusantara, Dinar dan Dirham sudah mulai digunakan ketika Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326) berkuasa di Kerajaan Samudera Pasai. Dinar Pasai memiliki berat 0,60 gram dan berdiameter 10 mm mempunyai mutu 18 karat. Di bagian depan Dinar Pasai tertera nama Muhammad Malik Al-Zahir dan di bagian belakangnya tertera ungkapan ‘al-Sultan al-‘Adl’.  Seperti di Pasai, mata uang emas yang digunakan di Kelantan-Patani pada kurun yang sama yang terdiri dari jenis-jenis kijang dan dinar matahari juga tertera di atasnya tulisan ‘Malik al-‘Adl’. Ungkapan yang sama juga tertera pada uang Timah Terengganu yang disebut Pitis yang digunakan pada tahun 1838. Di Negeri Kedah pula, Sultan Muhammad Jiwa Zainal Syah II (1710-1760) turut mengeluarkan mata uang emas yang dinamakan Kupang yang ditempa ungkapan ‘Adil Syah’ yang berarti Raja Yang Adil. Ungkapan keadilan (al-‘Adl) yang tertera di atas uang emas jelas menunjukkan betapa pentingnya nilai-nilai keadilan ditegakkan dalam sebuah perekonomian.

3. Al-Qur’an Tentang Dinar dan Dirham
Memang al-Qur’an dan al-Hadist tidak pernah mengklaim bahwa Dinar dan Dirham adalah satu-satunya mata uang yang sah digunakan umat Islam dalam melakukan setiap transaksi dan berbagai aktivitas ekonomi lainnya. Namun demikian, kata-kata Dinar dan Dirham yang terdapat dalam ayat-ayat berikut secara implisit menunjukkan pengakuan Allah terhadap superioritas Dinar dan Dirham. Sebutan Dinar dan Dirham, misalnya terdapat dalam ayat-ayat berikut:
“Dan di antara Ahli Kitab, ada orang yang kalau engkau amanahkan dia menyimpan sejumlah besar harta sekalipun, ia akan mengembalikannya (dengan sempurna) kepadamu, dan ada pula di antara mereka yang kalau engkau amanahkan menyimpan sedinar pun, ia tidak akan mengembalikannya kepadamu kecuali kalau engkau selalu menuntutnya…” (Q.S. Ali Imran: 75);
“Dan (setelah terjadi perundingan) mereka menjualnya dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja bilangannya…” (Q.S. Yusuf: 20).
Sedangkan dalam ayat lain, perkataan emas dan perak direkamkan untuk menjelaskan fungsi dari emas dan perak tersebut. Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, lalu mati sedang mereka tetap kafir, maka tidak sekali-kali akan diterima dari seseorang di antara mereka: emas sepenuh bumi, walaupun ia menebus dirinya dengan (emas yang sebanyak) itu…” (Q.S. Ali Imran: 91); dan “…Dan (ingatlah) orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak membelanjakannya pada jalan Allah, maka khabarkanlah kepada mereka dengan (balasan) azab siksa yang tidak terperi sakitnya” (Q.S. at-Taubah: 34).
Semua ayat di atas tidak menjelaskan bahwa hanya uang Dinar emas dan Dirham perak yang sah dan halal digunakan umat Islam dalam melakukan berbagai aktivitas ekonomi. Ayat-ayat di atas hanya menjelaskan fungsi emas (Dinar) dan perak (Dirham) sebagai alat penyimpan nilai (store of value), alat penukar (medium of exchange), dan alat pengukur nilai (standard of measurement). Merujuk pada ayat-ayat di atas, mayoritas para Fuqaha (Ahli Fiqh) bersetuju bahwa selain Dinar dan Dirham, Dolar, Euro, Rupiah atau berbagai jenis uang hampa (fiat money) lainnya dapat digunakan sebagai mata uang negara asal saja tidak terkontaminasi dengan unsur-unsur spekulasi, riba, gharar, dan gambling.  Walaupun demikian, para ulama lebih menggalakkan agar umat Islam menggunakan Dinar dan Dirham dibandingkan dengan Dolar dan berbagai jenis mata uang hampa lainnya, kerana Dinar dan Dirham memiliki tingkat kestabilan yang lebih tinggi.

4. Kenapa Dinar dan Dirham lebih Stabil?
Gencarnya upaya negara-negara Islam akhir-akhir ini untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam, tidak terlepas dari kestabilan nilai Dinar dan Dirham itu sendiri. Menurut Umar bin Khattab, berat Dinar adalah 4,25 gram, sedangkan Dirham adalah 3 gram. Penentuan nilai Dinar atau Dirham adalah didasarkan atas beratnya atau nilai intrinsiknya. Sedangkan rasio dari Dinar dan Dirham adalah berkisar antara 1:10 dan 1:16. Rasio 1:15 ditetapkan oleh Abdul Malik dan berlangsung dalam periode yang cukup lama. Hal ini juga terjadi di Inggris pada tahun 1811, yang menetapkan rasio 1:16. Sedangkan di Hamburg pada periode 1790-1827, rasio yang digunakan adalah 1:14,86. Sedangkan, soal bentuk, nama, corak, dan design fisik Dinar dan Dirham adalah aksesoris semata. Tidak seperti uang hampa (fiat money), uang kertas dan logam yang kita pakai saat ini yang mengandalkan nilainya pada kepercayaan dan pengakuan otoritas negara, Dinar dan Dirham adalah uang nyata yang dijamin oleh dirinya sendiri sebagai logam mulia. Nilai Dinar dan Dirham adalah tetap, tidak berubah karena penggunaan Dinar tidak menimbulkan inflasi. Sejak mulai digunakan hingga detik ini, nilai tukar Dinar dan Dirham tidak mengalami perubahan yang berarti. Setiap Dinar (hari ini sekitar Rp 400.250/Dinar) dan Dirham (saat ini sekitar Rp 26.650/Dirham) masih bisa digunakan untuk membeli sejumlah barang-barang dalam kuantitas dan kualitas yang sama dengan barang-barang yang dapat dibeli ketika Dinar dan Dirham digunakan tempo doeloe.
Kemanapun Dinar dan Dirham dibawa, nilainya tidak akan berubah. Sekeping koin Dinar dan Dirham akan tetap 4,25 gram emas 22 karat, dan sekeping Dirham adalah 3 gram perak murni. Di negara manapun anda timbang, apakah di Afrika Selatan, Hongkong, London, New York, Paris, atau Indonesia, nilai tetap tidak berubah. Bahkan bila gambar dan corak Dinar dan Dirham dirubah-ubah, bertuliskan “kalimah syahadah” maupun bergambar “Cut Nyak Dhien” ataupun “orang utan”, nilainya akan tetap. Kestabilan Dinar dan Dirham akan mengeliminir upaya-upaya spekulasi di pasar Valas. Penggunaan uang hampa telah menyebabkan sebagian besar transaksi di pasar Valas adalah melibatkan tindakan spekulatif. Hal ini seperti disebutkan Lietaer (1997) dalam makalahnya yang dipresentasikan dalam International Forum on Globalisation (IFG) sebagai berikut: “pada tahun 1975, sekitar 80% dari transaksi di pasar Valas adalah melibatkan aktivitas bisnis di sektor riel, yaitu transaksi yang benar-benar menghasilkan barang dan jasa. Sisanya 20% dari transaksi di tahun 1975 adalah bersifat spekulatif. Hari ini, transaksi di pasar Valas yang melibatkan sektor riel turun menjadi 2,5% dan selebihnya 97,5% adalah transaksi spekulatif”. Penggunaan Dinar dan Dirham diyakini akan menutup semua gerak para spekulan untuk meraup keuntungan di pasar Valas melalui aktivitas “arbitraging”.
Seterusnya, nilai (harga) emas tidak pernah mengikuti hukum ekonomi sebagaimana digambarkan oleh kurva penawaran dan permintaan (supply and demand curves). Selama kurun 1988-1997, dunia mengalami defisit pasokan emas sebanyak rata-rata 319 ton per-tahun, tapi harganya tetap relatif stabil. Malah, pada kurun 1994-1997, saat dunia mengalami defisit emas sebesar 348%, harganya justru turun 14%. Pendek kata, Dinar mampu menyimpan harta secara tetap, nilainya tak pernah berkurang, walau disimpan di mana pun. Emas terbukti kebal dari segala krisis ekonomi. Ketika terjadi krisis Peso Meksiko, 1995, nilai emas di sana naik 107% dalam waktu tiga bulan, ketika krisis Rupiah pada 1997, nilai emas di Indonesia melonjak 375% dalam kurun tujuh bulan, dan ketika krisis Rubel di Rusia, 1998, nilai emas di Rusia naik 307% dalam waktu delapan bulan. Secara umum, meskipun harga emas dalam Dolar AS turun sekitar 30% sejak 1990, rata-rata harga emas di dunia justeru naik sebesar 20%.
Tidak seperti pencetakan Dinar dan Dirham yang di back-up 100% oleh emas dan perak, pemerintah kapan saja dapat mencetak uang hampa karena ianya tidak perlu di back-up oleh emas dan perak. Artinya, masalah utama uang hampa adalah tidak adanya nilai intrinsik (harga yang dikandungi uang tersebut). Bank Sentral yang pertama sekali mengeluarkan uang hampa itu dapat memungut keuntungan luar biasa. Keuntungan ini diperoleh dari perbedaan ongkos pencetakan dan nilai legal uang. Perbedaan ini dalam istilah keuangan disebut dengan “seigniorage”. Uang hampa ini diperkenalkan dalam sebuah ekonomi sebagai hutang atau pinjaman. Kemudian bank-bank komersial memungut keuntungan melalui penciptaan deposit berganda (multiple deposit creation) dengan meminjamkan kepada masyarakat. Sistem uang hampa dan penetapan cadangan minimum (minimum reserve requirement) bank ternyata telah memudahkan penggandaan uang dilakukan. Sebagai contoh, jika jumlah cadangan yang disyaratkan dimiliki setiap bank  adalah 10%, dengan jumlah deposit Rp. 1.000, bank akan dapat menggandakan jumlah deposit menjadi Rp.10.000. Proses penggandaan uang ini jelas akan menimbulkan inflasi.

5. Superioritas Dinar
Di samping memiliki nilai yang stabil, penggunaan Dinar akan mengurangi ketergantungan keuangan (financial dependency) para penggunanya terhadap Dolar akibat mismanajemen modal. Ini dapat kita lihat dalam dunia perdagangan internasional. Negara yang memiliki necara perdagangan defisit (mayoritas dunia Muslim) berarti jumlah dana dalam negeri lebih banyak mengalir ke luar negara ketimbang dana asing yang masuk ke dalam negara. Dengan kata lain, jumlah import jauh lebih besar daripada jumlah eksport. Terjadinya “capital flight” yang tinggi menyebabkan devisa negara akan turun, kalaupun tidak minus. Bila ini terjadi, dan untuk menutupi defisit budget negara, maka terpaksa harus didanai dengan hutang luar negeri. Keterpaksaan berhutang jelas telah memerangkapkan negara penghutang terhadap keharusan untuk memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan negara donor (pemberi hutang), yang sifatnya sangat mencekik leher negara penghutang. Keharusan menggunakan Dolar ketika membayar hutang, akan menyebabkan nilai uang negara penghutang semakin rendah. Konsekuensinya, negara penghutang berada dipihak yang dirugikan karena harus membayar hutang dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hutang sesungguhnya. Ini semata-mata karena ketidakstabilan (appresiasi) nilai Dolar. Namun, kalau berhutang dengan Dinar, maka kapan pun dan dalam keadaan bagaimanapun, nilai Dinar tidak akan berubah. Kemudian, fluktuasi uang Dolar akan sangat menentukan keuntungan/kerugian para pemegang Dolar. Kita ketahui bahwa tidak sedikit konglomerat Arab Muslim yang mendepositokan uangnya di bank-bank di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya telah mengalami kerugian luar biasa ketika terjadi tragedi pemboman gedung World Trade Center (WTC), 11 September 2001 di New York. Tragedi ‘11 September 2001’ itu telah menyebabkan Dolar terdepresiasi luar biasa sehingga menyebabkan para konglomerat Arab Muslim mengalami kerugian bermilyar-milyar Dolar. Sedangkan, menyimpan uang dalam Dinar, dalam keadaan bagaimanapun, tidak akan berfluktuasi.
Selain itu, pembiayaan anggaran negara defisit dengan mencetak uang, secara gradual tapi pasti, akan menyebabkan membengkaknya tingkat inflasi. Hal ini disebabkan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat sudah terlalu banyak dan tidak proporsional dengan jumlah barang dan jasa yang ada di pasar. Dengan kata lain, nilai uang adalah sangat tergantung pada tinggi-rendahnya jumlah “supply” dan “demand” akan uang dalam masyarakat. Sedangkan, Dinar, nilainya tidak dipengaruhi oleh hukum “supply” dan “demand”. Realita ini persis seperti diakui Alan Greenspan, dalam bukunya yang berjudul: “Gold and Economic Freedom” sebagai berikut: ”In the absence of the gold standard, there is no way to protect savings from confiscation through inflation” (tanpa kehadiran uang standar emas, tidak ada cara untuk memproteksi penyusutan tabungan akibat inflasi).
Superioritas Dinar dan Dirham dibandingkan dengan mata uang hampa (fiat money) tidak saja diakui para ekonom Islam, malah turut disaluti ekonom barat. Dinar yang di-back up 100% oleh emas (memiliki nilai intrinsik 100%) jelas lebih stabil dibandingkan dengan Euro yang hanya di-back up 20% oleh emas dan Dolar yang sama sekali tidak di-back up oleh emas (memiliki nol nilai intrinsik). Ini terbukti ketika AS menggunakan uang standar emas pada tahun 1879, tingkat inflasi di negara Super Power itu menurun drastis menyamai tingkat inflasi ketika uang standar emas digunakan pada tahun 1861. Penyebab utama krisis ekonomi yang berulang-kali menerpa dunia adalah karena pengadopsian sistem keuangan global yang menggunakan fiat money, bukannya Dinar dan Dirham.
Selain itu, penggunaan Dinar dan Dirham akan menghalang usaha-usaha pencetakan dan pemusnahan uang dengan semena-mena oleh pihak berkuasa (pemerintah). Artinya, jumlah peredaran uang dalam masyarakat akan terkontrol dan inflasipun akan terkendali. Dinar akan mewujudkan sistem moneter dunia dan pasar valuta asing yang lebih stabil. Dinar juga berfungsi sebagai penyimpan nilai (store value), alat penukar (medium of exchange), dan alat pengukur nilai (measurement of value) yang lebih mantap. Ini terjadi karena penggunaan Dinar akan mengeliminir praktek spekulasi mata uang dan praktek arbitrasi (arbitraging: meraup keuntungan melalui praktel jual-beli valuta asing). Tidak seperti uang hampa, Dinar lebih mudah diterima masyarakat dengan hati terbuka tanpa perlu “legal tender” atau penguatan hukum (law enforcement). Penggunaan Dinar turut mempromosikan perdagangan internasional sebab bertransaksi dengan Dinar akan meminimalisir biaya transaksi. Bila Dinar digunakan sebagai mata uang tunggal dunia Islam, maka untuk menukar uang dari satu jenis mata uang ke mata uang lainnya tidak lagi diperlukan biaya. Dan yang paling luar biasa, penggunaan Dinar akan lebih menjamin kedaulatan/keutuhan negara dari dominasi ekonomi, budaya, politik dan ideologi negara barat.  Sebagai contoh, dengan hanya mencetak dolar tanpa perlu di-back up dengan emas dan kemudian dipinjamkan ke Indonesia, AS kini dengan mudah mendikte dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Padahal yang dipinjamkan itu hanya secarik kertas yang bertuliskan angka-angka tertentu yang sama sekali tidak memiliki nilai intrinsik. Sebaliknya, tanpa memiliki emas yang mencukupi, maka sudah tentu AS tidak memiliki Dinar untuk dipinjamkan ke Indonesia. Pendek kata, Dinar dan Dirham adalah mata uang yang mampu mewujudkan sistem moneter global yang berkeadilan (just world monetary system).
Selanjutnya, akibat nilai Dinar tidak berubah, maka tindakan spekulatif di pasar valuta asing tidak akan terjadi. Di samping kebal terhadap inflasi, Dinar juga tidak dipengaruhi oleh tingkat bunga. Dengan kata lain, Dinar adalah uang bebas riba. Kestabilan Dinar juga akan mempromosikan perdagangan dan menstabilkan sistem moneter. Bahkan mantan Perdana Menteri Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad (2000), dalam tulisannya: “The Malaysian Currency Crisis: How and Why it Happened” berkesimpulan bahwa terjadinya krisis ekonomi 1997 adalah akibat tindakan spekulatif para pembeli valuta asing. Krisis ekonomi tersebut malah telah menyebabkan membengkaknya tingkat pengangguran, rendahnya produktivitas, naiknya tingkat kemiskinan, dan berbagai penyakit ekonomi lainnya. Maka tepatlah bila Meera (2002), dalam  bukunya: “The Islamic Gold Dinar” menyebutkan bahwa penggunaan Dolar telah menyebabkan timbulnya berbagai masalah sosio-ekonomi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka sudah masanya umat Islam untuk tidak menawar-nawar lagi dalam menggunakan kembali Dinar dan Dirham.
Melihat krusialnya peran Dinar dan Dirham dalam menstabilkan sekaligus menyejahterakan ekonomi umat, maka uang hampa dianggap sebagai musuh asasi ekonomi Islam. Tanpa menggantikan uang hampa dengan Dinar dan Dirham, institusi-institusi keuangan Islam seperti bank syari’ah, asuransi Islam (takaful), obligasi dan saham syari’ah, dan pagadaian syari’ah (ar-Rahnu) tidak akan dapat dioperasikan 100% murni berlandaskan al-Qur’an dan Hadist.  Operasional institusi keuangan Islam tanpa kehadiran Dinar dan Dirham sangat sukar membebaskan dirinya dari praktek-praktak riba, gharar, dan gambling. Itulah sebabnya, upaya pendaulatan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam harus segera diwujudkan. Apalagi kondisi ekonomi barat yang semakin sekarat dengan penggunaan uang hampa diperkirakan akan segera mengikuti jejak kehancuran ekonomi komunis. Pada saat itulah umat Islam harus sudah siap dengan Dinar dan Dirham. Jika tidak, ekonomi dunia Islam akan terus terpuruk. Peluang umat Islam untuk mengungguli ekonomi barat semakin terbuka lebar. Namun, semua ini tergantung pada kesiapan umat Islam untuk mendaulatkan kembali Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal mereka.

6. Back to Dinar and Dirham
Untuk mendaulatkan Dinar agar digunakan dalam berbagai transaksi antar Dunia Islam—apalagi dipakai semua negara di dunia dan mendapat pengakuan seperti Dolar dan Euro—bukanlah suatu usaha yang mudah. Ini dapat kita lihat dari pengalaman Uni Eropa yang baru berhasil mengeluarkan Euro setelah 50 tahun, mulai dari pembentukan European Payment Union (EPU) pada tahun 1950 hingga lahirnya Euro pada 1 Januari 1999, dan puncaknya pada 1 Januari 2002 dengan dikeluarkannya uang logam dan kertas Euro. Walaupun sukar, ini tidak berarti umat Islam tidak mampu mendaulatkan Dinar sebagai mata uang negara-negara Islam. Untuk tahap awal, disarankan ke-56 negara Islam (semua anggota Organisasi Konferensi Islam) sudah harus menggunakan Dinar, walaupun pada saat yang sama mereka masih menggunakan uang domestik masing-masing. Dengan kata lain, setiap negara OKI menggunakan sistem “parallel currency”.  Kemudian bila perlu, semua negara yang berhubungan bisnis dengan negara OKI harus menggunakan Dinar. Dan ketika Dinar ini dirasakan lebih stabil dari Euro dan Dolar, maka semua masyarakat internasional akan “jatuh cinta” dengan Dinar. Ini karena Dinar di-back up 100% oleh emas (nilai intrinsiknya 100%), sedangkan Euro hanya di-back up 20% oleh emas dan Dolar sama sekali tidak di-back up oleh emas (nol nilai intrinsik). Memang, usaha untuk memartabatkan Dinar agar diterima sebagai alat tukar, standar nilai, penyimpan nilai sangat tergantung, inter alia, pada animo negara-negara Islam dan “political will” pemerintah, seperti antusias yang telah ditunjukkan Pemimpin Malaysia. Karena kesukaran untuk menggantikan penggunaan uang sekarang (fiat money) dengan Dinar, kurangnya sumber daya untuk mengatasi problema ekonomi, ketergantungan pada negara maju dan ketakutan berlebihan negara-negara Islam pada negara Super Power, Amerika Serikat  dan negara maju lainnya bila tidak menggunakan Dolar, maka usaha negara Islam untuk segera “back to Dinar and Dirham” sedikit terhambat. Namun, bila semua negara Islam telah sepakat untuk menggunakan Dinar, maka segala transaksi yang dilakukan akan lebih efisien, transparan, stabil dan bebas dari praktek spekulatif.
Bagi umat Islam, upaya kembali ke Dinar (emas) bukanlah sesuatu yang sukar. Karena banyak kaum ibu, khususnya para nenek-nenek lebih memilih menyimpan “perhiasan emas” ketimbang menyimpan uang di bank. Bahkan, tidak akan sempurna pertunangan dan pernikahan di dunia ini, kalau belum dilengkapi dengan emas sebagai cincin tunangan dan mahar perkawinan. Begitu juga dalam setiap even dan kompetisi olahraga dunia dimana setiap pemenang akan dinugerahi Medali Emas, Perak dan Perunggu, maka kehadiran mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham) bukanlah sesuatu yang sukar untuk diterima masyarakat dunia. Namun usaha untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia haruslah dilakukan secara bertahap (gradual) tapi pasti, mulai dengan “parallel currency system” seperti disebutkan di atas sehingga menjadikan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam.

7. Mendaulatkan Dinar dan Dirham secara Gradual
Kenapa usaha mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia tidak bisa dilakukan secara totalitas dalam waktu yang singkat (overnight)? Apa saja dampak terhadap perekonomian umat andaikata pendaulatan Dinar dan Dirham dilakukan totalitas secara dalam waktu yang singkat? Seperti disebutkan di atas, usaha menuju mata uang tunggal “Dinar dan Dirham” mesti dilakukan secara bertahap tapi pasti adalah untuk menghindari terjadinya “economic shocks”, stagnasi ekonomi dan bahkan kehancuran sistem ekonomi yang telah ada.  Pengalaman keruntuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) ketika Presidennya yang ke-17, Abraham Lincoln menghapuskan sistem perbudakan (slavery system) secara totalitas dalam tempo yang singkat dapat dijadikan pengalaman berharga. Padahal Islam, walaupun membenci sistem perbudakan itu, namun Islam menggalakkan pengahapusan sistem perbudakan dilakukan secara gradual. Penghapusan sistem perbudakan secara bertahap ini pada masa awal kekhalifahan Islam dimaksudkan agar tidak terjadinya ‘malapetaka’ ekonomi.
Secara lebih detail, perbedaan proses, cara serta impak pengahapusan sistem perbudakan  AS dengan Islam dapat disebutkan di bawah ini. Walaupun Islam membenci praktek perbudakan, namun Islam tidak mengharamkan praktek perbudakan tersebut di masa-masa awal kekhalifahan Islam. Upaya Islam menghapus sistem perbudakan dilakukan berdasarkan ketentuan syari’at secara bertahap. Sebagai contoh, apabila seorang Muslim yang sedang berpuasa di bulan Ramadhan melanggar ketentuan puasa (bersetubuh di siang hari), maka ia dikenakan denda seperti memerdekan seorang budak (hamba sahaya) untuk menebus dosa yang telah diperbuat. Dengan cara ini, maka secara perlahan-lahan akhirnya sistem perbudakan akan dapat dihapuskan. Karena pembebasan seorang budak merupakan momen kebahagiaan bagi semua pihak. Budak akan gembira karena mulai detik itu dia menjadi manusia yang bebas dari kungkungan majikannya. Bahkan ia mungkin akan merayakan hari pelepasannya itu setiap tahun bagaikan orang menyambut hari ulang tahun. Begitu juga dengan para majikan (si pemilik budak), ia akan gembira karena ia telah diampuni dosanya dan bahkan telah mendapat keberkatan Ilahi. Kemudian, sistem penghapusan perbudakan secara  bertahap akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi budak yang yang telah dimerdekakan tersebut untuk mendapat pekerjaan. Akibatnya, ekonomi tetap stabil dan bahkan akan semakin kokoh dengan ikut berpartisipasinya si budak tersebut dalam membangun ekonomi negara.
Sebaliknya, kehancuran ekonomi telah terjadi di AS ketika Abraham Lincoln, Presiden AS yang ke-17 menghapuskan sistem perbudakan di negara adi kuasa itu secara spontan dalam waktu yang singkat. Kala itu, Lincoln telah membekukan undang-undang yang memberikan izin pengadopsian sistem perbudakan di AS. Pembekuan undang-undang perbudakan tersebut bukan saja menimbulkan berbagai problem ekonomi, tetapi juga telah menyebabkan munculnya berbagai problem sosial-ekonomi. Umumnya, para majikan yang memiliki budak tidak senang dan setuju dengan tindakan Lincoln karena mareka tidak disediakan uang ganti rugi terhadap uang yang telah mereka keluarkan (investasi) untuk membeli budak. Tidak hanya itu, AS mengalami defisit buruh khususnya di sektor perkebunan, yang dulunya dikerjakan oleh para budak. Perkebunan-perkebunan terbengkalai sehingga gagal panen. Hal ini tentunya akan mengakibatkan langkanya barang-barang hasil perkebunan di pasar AS kala itu. Sehingga harga hasil perkebunan melambung tinggi. Untuk memenuhi permitaan barang hasil perkebunan dalam negeri, pemerintah AS terpaksa mengimportnya dari luar negeri. Sudah tentu kondisi seperti ini akan mengakibatkan lumpuhnya perekonomian AS. Di lain pihak, para budak yang dilepaskan secara serentak akan mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan baru. Karena mereka cenderung menghindari bekerja untuk majikan mereka sebelumnya, maka mereka akan susah untuk mendapat pekerjaan baru. Akhirnya terpaksa mereka menjadi penganggur, terutama mareka yang sama sekali tidak memiliki lahan dan modal. Klimaksnya, peperangan sipil antar negara di bagian Utara dan Selatan AS telah terjadi akibat penghapusan sistem perbudakan secara spontan dan totalitas. Sampai hari ini juga kita melihat ketidakharmonisan antara warga AS berkulit hitam (African Americans) dengan warga AS yang berkulit putih. Warga negera AS yang berkulit hitam (umumnya para budak yang telah dibebaskan) masih belum dapat melupakan kepedihan meraka ketika dijadikan budak oleh warga AS yang berkulit putih. Perbedaan antara mereka hingga saat ini masih sengat kentara.
Selanjutnya, pendaulatan Dinar dan Dirhan sebagai mata uang tunggal dunia secara bertahap, tapi pasti juga dapat kita simak dari pengalaman pengharaman riba dan minuman keras dalam masyarakat Islam di masa Rasulullah. Pengharaman riba dalam Islam tidak dilakukan secara sekaligus melainkan melalui empat tahap. Allah membasmi riba dan minuman keras secara bertahap mengingat praktek riba dan meminum minuman keras sudah begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat sebelum Islam. Agar para pengamal riba dan peminum minuman keras akur dengan larangan Allah, maka pelarangan terhadap kedua hal ini dilakukan secara bertahap. Ayat berikut cukup jelas menunjukkan bagaimana Allah swt secara bertahap dan kuntinyu melarang praktek riba diamalkan.
Ayat pertama yang turun tentang riba adalah ayat 39 Surat Ar-Rum. Allah berfirman:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (Q.S. ar-Rum: 39).
Ayat ini menekankan bahwa riba tidak akan menambah kekayaan, sebaliknya ia mengurangkan kekayaan.
Kemudian ayat kedua tentang riba menjelaskan sisi negatif riba sama dengan perbuatan munkar lainnya yang telah dilarang Allah sebelumnya. Allah berfirman:
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (Q.S. an-Nisa’: 161).
Seterusnya, ayat yang ketiga mengenai riba menyeru orang yang beriman menjauhi riba agar kebahagiaan hakiki, ketenangan pikiran serta kejayaan hidup di dunia dan di akhirat dapat diraih. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”(Q.S. Ali Imran: 130).
Akhirnya ayat yang menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa riba itu adalah haram hukumnya diturunkan sesaat sebelum Rasulullah saw mangkat. Allah berfirman: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S. al-Baqarah: 275). Proses pengharaman riba mulai dari Q.S. ar-Rum, ayat 39 hingga Q.S. al-Baqarah, ayat 275 memakan waktu sekitar 25 tahun.
Pengalaman Islam dalam mengahapuskan sistem perbudakan dan amalan praktek riba secara gradual di masa-masa awal pemerintahan Islam patut dijadikan contoh teladan dalam usaha mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia. Metode ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kemerosotan dan bahkan keruntuhan ekonomi. Usaha mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam memerlukan waktu yang lama, setidak-tidaknya 25 tahun ke depan. Dengan kata lain, usaha untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam baru akan nampak hasilnya pada tahun 2030, itupun kalau dilakukan secara sungguh-sungguh dengan perencanaan yang matang.

8. Model Transaksi Dinar dan Dirham
Tidak saja secara teoritis, dalam implementasinya mata uang Dinar dan Dirham telah terbukti lebih stabil dibandingkan dengan fiat money yang digunakan dunia internasional sekarang. Dalam artikelnya “The Islamic Gold Dinar: Socio-economic Perspective”, Meera dan Aziz (2002) menjelaskan secara detail kelebihan sistem mata uang Islam (Dinar dan Dirham). Tidak seperti uang hampa, Dinar dan Dirham tidak dapat dicetak ataupun dimusnahkan dengan sekendak-hati pihak berkuasa (pemerintah), karena ia memiliki nilai intrinsik 100%. Ini tentunya akan menghindari terjadinya kelebihan uang dalam masyarakat, atau dengan kata lain akan menghalang terjadinya inflasi. Tidak seperti uang hampa, Dinar dan Dirham juga akan diterima masyarakat dengan hati terbuka tanpa perlu “legal tender” atau penguatan hukum. Kalau masyarakat yang melakukan transaksi dihadapkan pada dua pilihan, untuk dibayar dengan uang hampa atau Dinar, sudah tentu mereka akan lebih memilih Dinar karena kestabilan nilainya. Kestabilan Dinar ini tentunya akan mempromosikan perdagangan internasional. Bertransaksi dengan menggunakan Dinar akan mengurangi biaya transaksi. Bila Dinar digunakan sebagai mata uang tunggal dunia Islam, maka biaya untuk menukar uang dari satu jenis mata uang ke mata uang lainnya dalam dunia Islam tidak diperlukan lagi. Dan yang paling luar biasa adalah penggunaan Dinar akan lebih menjamin kedaulatan negara dari dominasi ekonomi, budaya, politik dan kekuatan asing.  Sebagai contoh, dengan hanya mencetak Dolar tanpa perlu di-back up oleh emas dan kemudian dipinjamkan ke Indonesia, Amerika kini dengan mudah mendikte dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Inilah sebabnya Dinar diyakini mampu mewujudkan sistem moneter global yang berkeadilan (just world monetary system).
Oleh sebab itu, isu untuk mendaulatkan kembali Dinar dan Dirham dipandang sebagai isu mutakhir dan sangat mendesak dibicarakan para pakar ekonom Islam. Bagian ini lebih difokuskan untuk menampilkan model-model terkini transaksi Dinar yang telah mulai diadopsikan ataupun baru ditawarkan oleh dunia Islam, dengan fokus utama model transaksi Dinar versi internet, model transaksi Dinar Bilateral dan Multilateral.
Secara historis, Dinar sebagai mata uang Islam telah mulai digunakan sejak masa Rasulullah saw hingga ambruknya khalifah terakhir di masa dinasti Usmaniyah. Pada dasarnya, koin Dinar dan Dirham yang digunakan umat Islam kala itu adalah dicetak oleh penduduk Persi. Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan telah mengeluarkan Dinar pada tahun 77 H, berdasarkan standar koin yang dikeluarkan Khalifah Umar Ibn Khattab: 10 Dirham ekuivalen dengan 7 Dinar. Setelah lama tenggelam dimakan usia dan sikon, koin Dinar dan Dirham kembali dicetak pada tahun 1992. Empat tahun kemudian, situs internet (web-site) yang memasarkan Dinar dan Dirham dilancarkan pada tahun 1996. Sistem pembayaran dengan Dinar sudah mulai diperkenalkan melalui sistem pembayaran elektronik via internet. Menggunakan sistem  pembayaran Dinar melalui internet lebih mudah dilakukan karena ianya tidak perlu didukung oleh “political will” pemerintah. Semua tergantung pada individu-individu atau para pelaku bisnis untuk menggunakannya atau tidak. Siapa saja kita dan di belahan dunia manapun kita berdomisili, kalau mau menggunakan sistem pembayaran Dinar elektronik via internet tinggal hanya mendaftar untuk membuka nomor rekening yang tersedia di situs-situs internet, tepatnya di Penyedia Pelayanan Keuangan Internet (Internet Financial Service Provider, IFSP). Pemerintah tidak bisa menghalang, apalagi untuk memaksa kita untuk bergabung dengan sistem pembayaran Dinar via internet. Dengan menggunakan IFSP ini, kita tidak perlu membawa emas ke sana ke mari ketika melakukan transaksi. Semua transaksi Dinar dengan sistem pembayaran elektronik via IFSP ini adalah di-back up 100% oleh emas. Jadi, nilainya lebih stabil.

8.1. Transaksi Dinar Model Internet
Pada dasarnya, konsep uang Dinar yang sedang gencar-gencarnya diperdebatkan akhir-akhir ini hanya memiliki sedikit perbedaan dengan konsep Dinar tempoe doeloe, khususnya dari segi mekanisme, operasional dan implementasi. Namun, ide dasar adalah sama dimana satu dinar bernilai 4,25 gram emas dan satu dirham bernilai 3 gram perak. Keberadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) telah memarginalkan kekuatan politik para pihak penguasa (pemerintah) terhadap keinginan penduduknya untuk memilih sistem pembayaran dalam bertransaksi. Menjamurnya Penyedia Pelayanan Keuangan Internet (Internet Financial Service Provider, IFSP) di situs-situs internet telah memberi ruang bagi Dinar untuk bersaing di pasar-pasar uang elektronik (internet e-money) internasional.
Secara garis besar, ada dua jenis “e-money” (uang elektronik), yaitu e-money berdasarkan komoditas (commodity-based e-money) dan e-money berdasarkan uang hampa (fiat money-based e-money). IFSP dengan e-money berdasarkan komoditas, khususnya emas dan perak adalah IFSP yang mendapat kepercayaan orang banyak. Contoh IFSP e-money berdasarkan komoditas adalah seperti E-Dinar, E-gold, DigiGold, 3PGold, e-Bullion dan e-money lainnya. Sedangkan contoh IFSP e-money berdasarkan uang hampa adalah Internet Dollar, WebMoney, FreeCash, Liberty Dollar, Zetx dan lain-lain. E-dinar Ltd adalah merupakan IFSP pertama di Asia yang beroperasi di Pulau Labuan, Malaysia pada Agustus, 2000.
Melalui IFSP ini, setiap pelaku bisnis dengan mudah dapat membuka nomor rekening IFSP melalui internet. IFSP ini akan mencatat semua perincian transaksi kepemilikan emas dalam brankas. Siapa yang memiliki nomor rekening dengan IFSP dapat mengeluarkan emas kapan saja diperlukan. Untuk ini, IFSP senantiasa mencetak jumlah Dinar yang cukup untuk memenuhi permintaan pelanggan. Cara ini dimungkinkan dengan adanya fasilitas internet. Sebagai contoh, masyarakat Indonesia dengan bebas dapat membuka nomor rekening IFSP dan mereka diberikan opsi untuk menyimpan harta mereka baik dalam bentuk uang emas (Dinar) maupun uang Rupiah. Dinar dan Dirham sebagai mata uang yang di-back up 100% oleh emas dan perak sudah tentu dengan mudah diterima masyarakat internasional. Dengan Dinar dan Dirham, perdagangan internasional dapat berlangsung lancar. Sistem pembayaran Dinar via internet (on-line payment system) jelas akan mengurangi tempo yang diperlukan untuk melakukan sebuah transaksi dan akan meminimalisir biaya transaksi.

8.2. Model Transaksi Dinar Bilateral
Kelebihan Dinar dan Dirham ini telah mestimulasi Mantan Perdana Menteri Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad untuk aktif mengkampanyekan ke seantero penjuru dunia agar Dinar dan Dirham didaulatkan sebagai mata uang tunggal dunia Islam. Hebatnya tekad beliau untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang Islam terbukti dengan ditandatanganinya “Momerandum of Understanding” (MoU) transaksi perdagangan bilateral antara Malaysia dengan Iran pada pertengahan tahun 2003, dimana Dinar digunakan sebagai alat pembayaran yang sah. Bagaimana cara transaksi perdagangan internasional dengan Dinar antara Malaysia dan Iran dilakukan? Apakah negara Malaysia harus mengangkut emas ke Iran untuk membayar transaksi perdagangan yang mereka lakukan? Atau sebaliknya, Iran pula yang harus mengirimkan emas ke Malaysia?  Yang jelas, proses transaksi perdagangan dengan Dinar tidaklah serumit yang dibayangkan.
Mantan PM Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad yang dikenal sebagai pemimpin dunia Islam yang paling gencar berupaya untuk mendaulatkat Dinar dan Dirham sebagai mata uang Islam ternyata telah siap dengan model transaksinya. Dalam model Dinar ala Mahathir ini, bank sentral memainkan peranan penting dalam mencatat setiap transaksi dan menyimpan emas. Model ini hanya sesuai untuk sebuah transaksi berskala internasional. Setiap transaksi internasional yang dilakukan, misalnya transaksi antara pemerintah Iran dengan Kerajaan Malaysia (Goverment to Government, G to G) atau antara bisnisman Malaysia dengan bisnisman Iran (Individual to Individual, I to I), setiap negara/bisnisman itu harus melakukan transaksi melalui bank komersial di negara masing-masing. Bank komersial ini, pada gilirannya, harus berhubungan dengan bank sentral (di Malaysia disebut Bank Negara) untuk menyelesaikan transaksi di rekening emas masing-masing bank sentral. Kemudian, ketika masing-masing negara telah melakukan transaksi perdagangan, catatan transaksi emas akan disimpan oleh bank sentral di masing-masing negara. Hanya perbedaan nilai transaksi antara negara saja yang harus diselesaikan secara berkala melalui rekening Dinar. Bagaimanapun, penyelesaian transfer Dinar (emas) antara G to G dapat diselesaikan di kemudian hari, setelah transaksi-transaksi perdagangan lainnya dilakukan. Jadi, pentransferan emas secara fisik antar negara tidak semestinya harus dilakukan pada saat sebuah transaksi selesai dilakukan. Hal ini seperti diakui Tausing (1927) dalam bukunya “International Trade” dimana pada masa sistem standar emas diterapkan dunia, penyelesaian transaksi dengan emas (pentransferan emas secara fisik) sangat sedikit terjadi.
Untuk lebih memudahkan model ini dipahami, berikut ini diberikan sebuah contoh transasksi G to G.  Katakanlah pemerintah Malaysia mengeksport Minyak Kelapa Sawit dengan nilai 12 Milyar Dinar, dan pada saat yang sama Iran mengeksport kurma ke Malaysia dengan harga 12,5 Milyar Dinar. Bank Sentral Iran dan Bank Negara Malaysia akan mencatat semua transaksi ini. Kerajaan Malaysia yang minus neraca perdagangan 0,5 Milyar Dinar (12 – 12,5 Milyar Dinar) dan harus membayar kepada Iran sebanyak 0,5 Milyar Dinar tidak seharusnya mentransferkan emas pada saat itu juga untuk melunaskan harga Kurma yang mereka import dari Iran. Dengan kata lain, selisih neraca perdagangan ini tidak mesti diselesaikan pada saat sebuah transaksi terjadi, tetapi akan diselesaikan secara berkala di masa-masa mendatang, katakanlah enam bulan sekali. Ini bertujuan untuk meminimalkan arus pergerakan emas dari satu negara ke negara lain, yang tentunya akan menghemat biaya transaksi (biaya transportasi plus). Suatu catatan penting bahwa, di bawah makanisme transaksi bilateral ini, untuk melakukan perdagangan bilateral yang bernilai 24,5 Milyar Dinar, hanya memerlukan jumlah Dinar yang ditransfer sejumlah 0,5 Milyar Dinar saja. Fakta ini jelas memberi jawaban terhadap kerisauan kita akan ketidakcukupan emas di dunia ini, andaikata Dinar dijadikan mata uang dunia Islam. Dalam contoh di atas, total volume perdagangan 24,5 Milyar Dinar antara Malaysia dan Iran hanya memerlukan transfer emas dari Malaysia ke Iran sebesar 0,5 Milyar Dinar saja.

8.3. Model Transaksi Dinar Multilateral
Proses transaksi perdagangan dalam model transaksi Dinar bilateral dan multilateral pada prinsipnya adalah sama. Yang membedakan hanya jumlah negara yang terlibat dalam transaksi perdagangan.  Dalam transaksi bilateral, hanya dua negara yang terlibat melakukan perdagangan, sedangkan dalam transaksi multilateral jumlah negara yang melakukan transaksi perdagangan melebihi dua negara. Untuk lebih memudahkan bagaimana model transaksi Dinar multilateral dilakukan, Tabel 1 berikut ini mengilustrasikan perdagangan yang terjadi antar empat negara, yaitu Malaysia, Iran, Indonesia dan Arab Saudi.

Tabel 1: Model Transaksi Dinar Multilateral (Milyar Dinar)
Berdasarkan Tabel 1 di atas, jelas terlihat bahwa jumlah total volume perdagangan multilateral antar ke-empat negara di atas adalah 8.918 Milyar Dinar, dengan total eksport masing-masing negara melebihi 2.000 Milyar Dinar (Malaysia = 2.170; Iran = 2.370; Indonesia = 2.150; dan Arab Saudi = 2.228). Transaksi perdagangan multilateral yang berjumlah 8.918 Milyar Dinar ini hanya memerlukan jumlah pembayaran bersih 1.626 Milyar Dinar, yaitu 804 Milyar Dinar harus dibayar Iran kepada Indonesia dan 18 Milyar Dinar dibayar oleh Arab Saudi juga kepada Indonesia (lihat Tabel 2). Sedangkan Malaysia, tidak harus membayar se-Dinar pun kepada partner dagangnya. Di pihak yang lain, Indonesia malah akan menerima bayaran Dinar sebanyak 822 dari Iran dan Arab Saudi. Sistem pembayaran perdagangan multilateral di atas menunjukkan bahwa perdagangan antar negara yang berpartisipasi akan sangat efisien dan efektif dimana jumlah emas (Dinar) yang relatif sedikit (1.626 Milyar Dinar) telah mampu melangsungkan terjadinya perdagangan multilateral dalam jumlah yang sangat besar, yaitu 8.918 Milyar Dinar.

Tabel 2: Total Pembayaran Bersih (Milyar Dinar)
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa, kelangkaan emas untuk dapat melangsungkan perdagangan bilateral dan multilateral tidak perlu dipersoalkan. Karena untuk melakukan transaksi perdagangan multilateral yang berjumlah 8.918 Milyar Dinar hanya memerlukan Dinar sebanyak 1.626 Milyar Dinar. Kemungkinan besar jumlah transfer Dinar antar negara malah berkurang. Karena pentransferan Dinar tidak dilakukan ketika sebuah transaksi perdagangan selesai dilakukan, tetapi akan dilakukan dalam masa beberapa bulan ke depan, katakanlah pembayaran akan dilakukan dalam enam bulan sekali. Dalam masa enam bulan ini, banyak transaksi perdagangan lain yang terjadi sehingga tidak tertutup kemungkinan bagi setiap negara yang terlibat dalam perdagangan multilateral akan memiliki jumlah pembayaran bersih nol, seperti ditunjukkan negara Malaysia pada Tabel 2. Artinya, selama masa enam bulan transaksi perdagangan multilateral dilakukan, masing-masing negara yang terlibat sama sekali tidak memerlukan pentransferan se-Dinar pun dari satu negara ke satu negara partner dagang lainnya.

9. Model Transaksi Dinar: Analisis Komparatif
Perlu dicatat disini bahwa ketiga model transaksi Dinar di atas, internet, bilateral dan multilateral belum sepenuhnya menyediakan sistem yang solid dan mekanisme holistik untuk melakukan transaksi dengan Dinar baik secara domestik maupun internasional. Perbedaan mendasar antara ketiga model di atas adalah model transaksi Dinar internet tidak memerlukan dukungan politik pemerintah dan ia hanya berbasiskan mekanisme internet, sedangkan model transaksi dinar bilateral dan multilateral sangat tergantung pada “political will” pemerintah yang terlibat dalam transaksi tersebut. Keberhasilan model transaksi dinar bilateral dan multilateral sangat tergantung pada kebijakan moneter dan ekonomi masing-masing negara yang terlibat, sedangkan model transaksi internet tidak. Keampuhan dan keefektifan model transaksi dinar bilateral dan multilateral ini memang belum terbukti, karena hingga detik ini model tersebut baru dipraktekkan dalam perdagangan bilateral Malaysia dengan Iran. Sedangkan transaksi Dinar multilateral baru sebatas wacana dan belum mulai dipraktekkan.

10. Haqqul Yaqien, InsyaAllah Berhasil?
Sejauhmana upaya untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam akan menjadi kenyataan? Tantangan besar senantiasa menanti. Setelah perang dingin antar Amerika Serikat dan Uni Soviet usai, keberadaan Amerika Serikat sebagai negara super power tunggal dunia sangat menentukan terhadap keberhasilan upaya untuk mendaulatkan dinar ini. Mengapa? Karena sistem uang hampa yang digunakan dunia sekarang yang sangat menguntungkan pihak minoritas, khususnya negara Amerika Serikat tentunya akan menolak kehadiran Dinar dan Dirham karena kekuatiran mereka terhadap kemungkinan hilangnya pengaruh super power di dunia internasional mata uang Islam digunakan. Kemungkinan Amerika Serikat untuk menggagalkan dan mensabotase upaya untuk mendaulatkan Dinar sebagai mata uang negara Islam dan bahkan mata uang tunggal dunia sangat mungkin terjadi, walaupun pengadopsian mata uang Dinar akan menguntungkan semua pihak. Kendatipun demikian, kita umat Islam harus “haqqul yaqien” bahwa upaya pendaulatan Dinar akan berhasil dalam hitungan dekade. Sesungguhnya, kebathilan itu akan hancur dan kebenaran itu akan tegak, “qul ja al haqqu wa zahaqal bathil, innal bathila kana zahuqa” (Q.S. al-Isra’: 81).
Jadi, keberhasilan upaya mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang Islam sangat tergantung pada faktor-faktor eksternal seperti disebutkan di atas dan juga faktor-faktor internal dunia Islam. “Political will”, “interest” dan kebijakan ekonomi dan moneter dunia Islam itu sendiri juga sangat memainkan peranan penting terhadap kesuksesan upaya pendaulatan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam.
Agar usaha “back to Dinar and Dirham” berhasil, maka kita harus mendaulatkannya secara bersungguh-sungguh “Lillahi Ta’ala” demi mewujudkan kemaslahatan umat. Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah ra berikut merupakan motivator terbaik agar kita semakin yakin bahwa keberhasilan usaha pendaulatan Dinar dan Dirham sebagai mata uang Islam hanya tinggal menunggu waktu. Rasulullah bersabda:
“Seorang Bani Israil (orang Israil pertama) ingin berhutang uang sebanyak seribu Dinar  pada seorang Bani Israil (orang Israil kedua)  lainnya. Orang Israil kedua meminta saksi. Orang Israil pertama menjawab: “Bukankah Allah swt sudah memadai sebagai saksi”. Orang Israil ke dua berkata lagi: “Saya memerlukan sebuah kepastian bahwa kamu akan membayar hutangmu”. Orang Israil pertama menjawab: “Bukankah Allah swt sudah mencukupi untuk sebuah kepastian”. Orang Israil kedua menjawab: “kamu betul”. Lalu Bani Israil kedua tadi langsung meminjamkan uangnya sebesar seribu Dinar kepada orang Israil pertama untuk beberapa lama. Kemudian berlayarlah orang Israil pertama ke luar negeri. Setelah menyelesaikan tugasnya, maka orang Israil pertama mencari kenderaan (kapal laut) untuk kembali ke tempat asalnya sehinga ia dapat membayar hutangnya tepat waktu. Namun, ia gagal menemukan kenderaan untuk pulang. Maka diambillah sepotong kayu, dan dilubangi kayu tersebut kemudian dimasukkanlah uang sebanyak seribu Dinar beserta sepucuk surat yang ditujukan kepada pemberi hutang (orang Israil kedua) ke dalam lubang kayu tersebut. Setelah itu, ditutuplah rapat-rapat lubang kayu tersebut dan kemudian dilemparkanlah  kayu itu  ke laut seraya berkata: “O Allah! Engkau tahu bahwa aku telah berhutang sebanyak seribu Dinar dari seorang hambaMu, Bani Israil. Dia telah meminta kepastianku untuk membayar hutang, dan aku katakan padanya bahwa Engkau sudah memadai sebagai penjamin kepastian. Sehingga dia telah meminjamkan uangnya kepadaku karena Engkau sebagai penjaminya, ya Allah. Kemudian dia meminta saksi. Dan dia telah menyetujui ketika aku menyebutMu sabagai saksiku. Aku telah berusaha sekuat tenaga agar menemuinya sehingga aku dapat membayar hutangku tepat waktu, tetapi aku gagal berbuat demikian. Aku tidak menemui kenderaan untuk pergi kepadanya dan melunaskan hutangku.  Oleh karena itu, aku hantarkan uang ini melalui Engkau, ya Allah”. Setelah berkata demikian, dilemparkanlah kayu yang berisi uang dan surat itu ke dalam laut, dan kemudian dia pun bergegas pergi. Tidak berapa lama kemudian, dia (orang Israil pertama) pun mendapatkan kenderaan untuk belayar pulang. Suatu hari, Bani Israil yang meminjamkan uangnya keluar rumah untuk memastikan apakah ada kapal laut yang berlabuh dan Bani Israil yang berhutang padanya datang bersama kapal tersebut untuk membayar hutangnya. Tiba-tiba dia melihat sepotong kayu. Diambillah kayu itu dan segera dibawanya pulang untuk dijadikan kayu api. Namun, betapa terkejutnya ketika dia temui bahwa dalam kayu tersebut terdapat uang sebanyak seribu Dinar dan sepucuk surat yang ditujukan kepadanya. Tidak lama kemudian, datanglah Bani Israil yang berhutang padanya, bermaksud untuk membayar hutangnya, dan berkata: “Demi Allah, aku telah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kapal layar sehingga dapat menjumpaimu untuk membayar hutangku padamu tepat waktu, namun aku gagal berbuat demikian hinggalah hari ini”. Bani Israil yang memberi hutangpun berucap: “Adakah kamu telah mengirimkan kepadaku sesuatu?” Bani Israil yang berhutang pun berkata lagi: “Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak mendapati kenderaan untuk memjumpaimu hinggalah hari ini”. Bani Israil yang memberi hutang pun menjawab: “Allah telah menghantarkan uang yang kamu pinjami dariku melalui sepotong kayu yang kamu kirimkan. Jadi, simpanlah uang yang seribu Dinar itu, yang kamu ingin bayarkan kepadaku lagi”.
Merujuk pada Hadist di atas jelas terbaca bahwa apabila sesuatu usaha itu dilakukan “Lillahi Ta’ala”, seperti usaha untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang Islam, niscaya Allah akan memudahkan usaha kita, InsyaAllah. Mudah-mudahan, kesadaran yang telah dimiliki sebagian besar umat Islam untuk menggunakan Dinar (emas) dalam melakukan berbagai transaksi mendapat respon positif para pemimpin kita dan pemimpin dunia Islam lainnya. Jangan biarkan kita terus dijajah oleh Dolar yang berbalut riba, gharar, dan gambling. Mari kita  “back to Dinar and Dirham”.



BIBLIOGRAFI
Abd. Majid, M. Shabri. 2002. Kembali Kepada Dinar dan Dirham, Dewan Ekonomi Malaysia, Desember.
___________. 2002. Dinar, Dirham dan Dolar, Serambi Indonesia, 2 Oktober.
___________. 2003. Pilihan Lain Bagi Kewangan Dunia, Berita Harian Singapura, 10 Januari.
___________. 2003. Kelebihan Dinar Dan Dirham, Berita Harian Singapura, 17 Januari.
___________. 2003. Tekad Mendukung Dinar, Berita Harian Singapura, 24 Januari.
___________. 2003. Mendaulatkan Dinar, Dirham Sebagai Mata Wang Islam, Berita Harian Malaysia, 8 Juli.
___________. Transaksi Model Dinar, Dewan Ekonomi Malaysia, September 2003.
Abu Bakar Bin Mohd Yusuf, Nuradli Ridzwan Shah Bin Mohd Dali, Norhayati Mat Husin, 2002. Implementation of the Gold Dinar: Is It the End of Speculative Measures. Journal of Economic Cooperation, 23 (3): 71-84.
al-Qur’an dan Terjemahan. 1974. Menteri Agama Republik Indonesia.
Anwar, Muhammad. 2002. Euro and Gold Dinar: A Comparative Study of Currency Unions, dalam Proceeding of International Conference on Stable and Just Global Monetary Sistem: Viability of the Islamic Dinar, Putra World Trade Centre, Kuala Lumpur, 19-20 Agustus.
Anwar, Zainal Abidin. 2002. Sejarah Penggunaan Matawang Dinar, dalam Proceeding of National Dinar Conference. Kuala Lumpur. Kolej Universiti Islam Malaysia.
Haneef, Mohamed Aslam dan Barakat, Emad Rafiq. 2002. Gold and Silver as Money: A Preliminary Survey of Fiqhi Opinions and their Implications, dalam Proceeding of International Conference on Stable and Just Global Monetary Sistem: Viability of the Islamic Dinar, Putra World Trade Centre, Kuala Lumpur, 19-20 Agustus.
Bernstein, Peter L. 2000. The Power of Gold, USA: John Wiley.
Chapra, M. Umer. 1983. Money and Banking in Islam. Jeddad, King Abdul Aziz University: International Centre for Research in Islamic Economics.
Choudhury, Masudul Alam. 1997. Money in Islam: A Study In Islamic Political Economy, London: Routledge.
E-Dinar Lid. “History of the Dinar” Available:http://www.e-dinar.com/en/
el-Diwany, Tarek. 1997. The Problem with Interest, United Kingdom: TA-HA Publishers.
Greenspan, Alan. 1996. Gold and Economic Freedom. Objectivist.
Lietaer, Bernard. 1997. Global Currency Speculation and Its Implications. International Forum on Globalisation (IFG) Seminar.
Meera, Ahamed Kameel Mydin. 2002. The Islamic Gold Dinar. Kuala Lumpur: Pelanduk Publication.
Meera, Ahmed Kameel dan Abdul Azis, Hasanuddin. 2002. The Islamic Gold Dinar: Socio-economic Perspektives, dalam Proceeding of International Conference on Stable and Just Global Monetary Sistem: Viability of the Islamic Dinar, Putra World Trade Centre, Kuala Lumpur, 19-20 Agustus.
Mohamad, Mahathir. 2000. The Malaysian Currency Crisis: How and Why it Happened, News Strait Time. 27 Maret.
Salleh, Kamarul Rashdan, tt. Islam dan Ekonomi, Manchester UK, University of Salford: TIME Research Institute.
Tausing. 1927. International Trade, USA: John Wiley.
Vadillo, Umar, I. 1996. The Return of the Gold Dinar: A Study of Money in Islamic Law. Madinah: Madinah Press.



Categories: Bahasa Indonesia, Dinar Dirham,Islamica
Tags: Dinar, Dirham, mata uang Islam
: