: Bait Bait Jiwa: March 2016

Friday, March 25, 2016

MENGENAL HADIST BUKHARI MUSLIM

MENGENAL HADIST SAHIH BUKHARI DAN SAHIH MUSLIM ( BUKHARI MUSLIM / MUTTAFAQUN ALAIH)

Orang pertama yang memiliki perhatian untuk mengumpulkan hadits-hadits shahih secara khusus adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al Bukhari (Imam Al Bukhari) dan diikuti oleh sahabat sekaligus muridnya, Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj An Naisaburi (Imam Muslim). Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah dua kitab hadits yang paling shahih, namun Shahih Bukhari lebih utama. Pasalnya, Imam Bukhari hanya memasukkan hadits-hadits dalam kitab Shahih-nya yang memiliki syarat sebagai berikut:

Perawi hadits sezaman dengan guru yang menyampaikan hadits kepadanya
Informasi bahwa si perawi benar-benar mendengar hadits dari gurunya harus valid
Sedangkan Imam Muslim tidak mensyaratkan syarat yang kedua, yang penting perawi dan gurunya sezaman, itu sudah dianggap cukup.

Demikianlah perbedaan tentang penilaian keshahihan hadits antara Imam Bukhari dan Imam Muslim, sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Sebagaian ulama tidak berpendapat demikian, diantaranya Abu ‘Ali An Naisaburi, guru dari Al Hakim, dan beberapa ulama maghrib.

Namun demikian, bukan berarti Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengumpulkan semua hadits shahih yang ada pada kedua kitab tersebut. Buktinya, beliau berdua kadang meriwayatkan hadits shahih di kitab yang lain. Misalnya Imam At Tirmidzi dan sebagian yang lain, dalam kitab Sunan atau kitab lain, kadang meriwayatkan hadits dari shahih Al Bukhari yang tidak terdapat dalam kitab Shahih-nya.

Jumlah hadits shahih dalam Shahih Bukhari dan Muslim

Ibnu Shalah mengatakan bahwa hadits shahih dalam Shahih Al Bukhari berjumlah 7275 hadits dengan pengulangan. Jika tanpa pengulangan berjumlah 4000 hadits. Sedangkan dalam Shahih Muslim, tanpa pengulangan, berjumlah sekitar 4000 hadits.

Dikutip dari : Terjemahkan dari Al Ba’its Al Hatsits, karya Al Imam Abul Fida Ibnu Katsir rahimahullah
Penerjemah: Yulian Purnama
=================================

Shahihain (shahih-Ain') merupakan Istilah Islam yang digunakan untuk menyebut kedua kitab Shahih milik Imam Bukhari dan Imam Muslim. Yang lebih dahulu menyusun kitab shahih adalah Imam Al-Bukhari barulah kemudian Imam Muslim.

Penyusunnya:

Penyusun kedua kitab ini adalah Imam Bukhari dan Imam Muslim, di dalam ilmu hadits mereka berdua dijuluki Syaikhain, artinya "Dua orang Syaikh", yang mana Imam Muslim merupakan murid dari Imam Bukhari.

Kedudukannya:

Kitab shahih milik keduanya merupakan kitab yang disepakati oleh ahlussunnah sebagai kitab yang paling shahih setelah Al-Qur'an. Shahih Al Bukhari ditetapkan lebih shahih dan lebih banyak faidahnya diatas Shahih Muslim karena hadits-hadits dalam shahih Al-Bukhari lebih muttashil sanadnya dan lebih terpercaya (tsiqah) perawinya (rijal). Dalam shahih al-Bukhari terdapat pengambilan hukum (istinbat) fiqih dan kumpulan-kumpulan hukum yang tidak ada dalam Shahih Muslim. Kelebihshahihan ini ditinjau dari keseluruhan, maksudnya memang ada sebagian hadits dalam Shahih Muslim yang lebih shahih dari sebagian hadits yang ada dalam Shahih al Bukhari. ada juga yang menyebutkan bahwa Shahih Muslim lebih shahih daripada Shahih al Bukhari, tetapi pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah pendapat yang pertama.

Jumlah haditsnya:

Di dalam Shahih Al-Bukhari terdapat lebih dari 7.000 hadits termasuk yang diulang di dalam 97 jilid buku. Sedangkan di dalam Shahih Muslim jumlahnya sekitar 7500 hadits termasuk pengulangan dalam 57 jilid.

Kedua kitab tersebut belumlah merangkum semua hadits shahih yang ada. Al-Bukhari berkata: ” Aku tidak memasukkan dalam kitabku, yakni Al-Jami’ (Shahih Bukhari), kecuali yang shahih-shahih saja. Ada hadits-hadits shahih yang lain tidak aku masukkan karena terlalu panjang.” Imam Muslim berkata: “Tidak semua hadits shahih kucantumkan di situ, aku hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati (keshahihannya).” Masih banyak hadits shahih yang belum tercantum dalam Shahihain, ada riwayat dari Al Bukhari yang menyebutkan: ” Hadits-hadits shahih yang kutinggalkan masih banyak.” Dia juga berkata: “Aku menghafal 100.000 hadits shahih, dan 200.000 hadits (lainnya) yang tidak shahih.”

Hubungannya dengan Kitab-kitab Hadits yang lain:

Shahihain adalah dua diantara empat kitab induk hadits lainnya, yaitu Kutubus Sittah (6 kitab/perawi hadist).
Baca : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kutubus_Sittah

Syaikhain menyusun kitab dengan seleksi yang sangat ketat, sehingga hanya hadits-hadits yang memenuhi syarat tersebutlah yang tercantum ke dalam kitabnya. Dalam tahapan penulisannya, Al-Bukhari saja mengumpulkan dan meneliti satu juta hadits serta menemui 80.000 perawi di 7 negara. Dia sangat berhati-hati dalam menyusunnya dan disebutkan setiap kali akan menuliskan satu hadits, dia terlebih dahulu salat istikharah dan memohon pertolongan kepada Allah. Untuk menyelesaikan semua proses itu hingga tuntas, dia membutuhkan waktu 16 tahun.

Hadits-hadits shahih lainnya yang tidak masuk ke dalam Shahihain dapat ditemukan tersebar dalam berbagai kitab kumpulan hadits yang lain. Seperti pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Al-Mustadrak al-Hakim, Kitab hadits yang enam, Kitab Sunan yang empat (Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi (Jami’ At-Tirmidzi), Sunan An-Nasa-i, Sunan Ibnu Majah), Sunan Ad-Daruquthni, Sunan Al-Baihaqi, dan lainnya.

Syarat (kriteria) Al-Bukhari dan Muslim:

Hadits yang keotentikannya (keshahihannya) disepakati oleh keduanya, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim, disebutkan dalam istilah hadits sebagai Muttafaqun ’alaih (diriwayatkan oleh keduanya - Bukhari & Muslim).

Sementara Imam Syaukani di dalam kitab haditsnya Nailul Authar menggunakan istilah Muttafaqun ’alaih untuk menyebut hadits yang disepakati oleh Imam Bukhari, Imam Muslim ditambah dengan Imam Ahmad.

Terdapat pula kitab shahih yang disusun berdasarkan syarat dan metode penyusunan Imam Bukhari dan Muslim. Disebutkan dengan hadits yang shahih menurut syarat Bukhari dan atau Muslim namun Bukhari dan atau Muslim tidak mengeluarkannya. Di antarakitab tersebut adalah kitab Al-Mustadrak ala ash-Shahihain karya Al-Hakim An-Naisyaburi juga "Al-Jami'ush Shahih Min Ma Laisa fi Al-Shahihain" (Kumpulan Hadits Shahih yang Tidak Dikeluarkan di Shahihain) karya Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i.

Imam Nawawi berkata, “Maksud perkataan para muhaddits, "sesuai syarat (kriteria) keduanya atau salah satunya", adalah bahwa para periwayat sanad tersebut terdapat dalam kitab Al-Bukhari dan Muslim atau salah satunya, karena keduanya tidak memiliki (tidak menetapkan) syarat dalam kitab keduanya dan tidak pula dalam selain kitab keduanya.”

^ Kitab Taysir Musthalah al-Hadits, Dr. Mahmud ath-Thahhan, Maktabah al Ma’arif, hal. 48-50.
^ http://www.sunnah.com/bukhari
^ http://www.sunnah.com/muslim
^ Ulumul Hadits hal.16

Monday, March 14, 2016

CURHAT SEORANG MAHASISWA JOGJA TENTANG SALAFY WAHABI

Pertama kali saya tahu kajian-kajian salafi (wahabi–red) itu sekitar 2006. Pas kuliah di Jogja. Sebelum itu saya fanatik dengan agama lokal dari kampung halaman di Situbondo. Jadi, pas awal pindah ke Jogja dan tinggal di rumah nenek, saya nggak mau jumatan di mesjid dekat rumah, sebab adzannya 1x, nggak kayak di kampung halaman, adzan 2x, khotibnya pegang tongkat, dan sebelum khotbah biasanya ada salah 1 jamaah yang berdiri terus bilang “Yaa ma’syarol muslimin…” dst..

Ketika tahu mesjid dekat rumah nggak seperti itu, saya nggak mau jumatan di situ, memilih jalan jauh ke mesjid kampus UGM, padahal ya sama saja adzannya juga 1x, tapi saya sudah terlanjur “alergi” dengan orang-orang di mesjid deket rumah itu, mereka pakai celana cingkrang, jenggotan. Hih. Ogah, mending ke mesjid kampus UGM yang jamaahnya lebih umum, masih ada yang pake celana jin.

Waktu itu saya tahunya mereka yang cingkrang itu Muhammadiyah… Dan menurut ajaran dari kampung, Muhammadiyah itu nggak tahlilan, sementara kita NU tahlilan. Gitu aja definisinya, tanpa ada niat nyari tahu kok bisa beda? Kan pasti ada alasannya? Lalu yang lebih mendekati kebenaran yg mana? Nggak ada pikiran semacam itu. Pokoknya kalau sudah lahir di keluarga NU ya sudah ikut saja. Apalagi sejak kecil sudah dibangun sentimentalisme kefanatikan seolah Muhammadiyah itu aneh.

Ke-alergian terhadap orang-orang di mesjid dekat rumah itu berlangsung sekitar 2 tahun. Sampe suatu masa, di Jogja lagi rame kasus mahasiswa yang tiba-tiba direkrut oleh semacam gerakan baiat gitu, sehingga tiba-tiba nggak mau ngobrol sama orangtuanya karena orangtua dianggap kafir (naudzubillah).

Pokoknya entah aliran apa namanya, NII apa ya? Wuih itu ngeri. Teman sekelas saya, cewek, ada yang kena gerakan itu. Bahwa Indonesia bukan negara islam, kita harus bikin negara islam, bla bla bla… Saya lalu berhati-hati. Kalau kebetulan ke kampus MIPA selatan, di seberang kampus ada masjid Al Hasanah, di mesjid itu perempuannya pakai cadar hitam-hitam, saya sering bilang, “Itu pasti yang aliran sesat.”

Di periode itu, model ikhwan-akhwat dalam sebuah wadah bernama liqo’ juga mulai menjamur di kampus. Ada seorang sahabat yang keren digandrungi akhwat-akhwat, dia kalo lagi nggak ada jam kuliah nongkrongnya di musholla, ngobrol sama akhwat di balik hijab. Saya iri, kan kepingin juga didekatin cewek-cewek.

Apalagi waktu itu ada akhwat yang cantik sekali, yang membuat saya tahu diri, siapalah saya ini, jenggot tipis aja nggak punya, nggak ada potongan seorang ikhwan…. Namun demi mendapat perhatian, itu jadi semacam titik tolak untuk berniat belajar agama (nggak ikhlas banget niatnya…) Saya segera rajin lihat papan pengumuman yang terpajang di musholla. Lihat ada poster acara apa yang berhubungan dengan agama. Nyari yang gratisan.
Maka, acara agama yang pertama saya datangi itu acaranya Hizbut Tahrir, dalam keadaan saya awam tentang kelompok ini, yang penting kan datang aja biar keren dan kelihatan alim dapat sertifikat. Waktu itu acaranya di Aula Fakultas Pertanian. Jadi bukan mesjid, melainkan kayak seminar, duduk di bangku-bangku kuliah, ada meja-meja melingkar dibikin kelompok, lalu ada layar proyektor, slide, gitu-gitu, endingnya pesertanya dapat CD. Saya gak paham apa yang disampaikan, tiba-tiba disuruh diskusi, ada makan siang, yang penting datang aja biar keren.

Esoknya di kampus, saya tunjukkan CD dan sertifikat ke sahabat saya yang digandrungi akhwat itu, pamer: nih saya juga tahu datang seminar islam… Dia malah kaget, “Lho, kamu datang ke acaranya HTI?” Mendengar pertanyaan itu, saya balik kaget, “Lho kenapa ya emangnya?”

Sejak itu, saya tahu kalau ada banyak kelompok-kelompok kaum muslimin, saya kira cuma Muhammadiyah dan NU. Ternyata ada HTI, ada Ikhwanul Muslimin (IM), NII, LDII, MTA.. Nah yang liqo’ ini ujungnya saya tahu afiliasi mereka ke IM.

Saya mulai mempelajari masing-masing perbedaan antar kelompok, mengenal tokoh-tokoh mereka. Jadi tahu oh ternyata HTI itu tujuannya gini, cirinya gini, IM itu gini, cirinya gini. Saya kadang datang ke obrolannya anak IM, kadang ngobrol dengan anak HTI, pokoknya yang obrolannya agama, ikut nimbrung….

Namun saya mesti berpikir rasional, bahwa pasti ada alasan kenapa kelompok ini begini, kelompok itu begitu, mesti diuji materi, sehingga bisa ketahuan mana yang setidaknya paling bisa saya percaya. Bukan lantas tidak mau repot-repot, ya sudahlah mereka bisa benar, kita bisa benar, yang tahu kebenaran hanya Allah. Wis, lalu jadilah paling toleran, simsalabim, islam nusantara… Nggak gitu, kalo gitu sih nggak perlu ada dakwah saja, nggak perlu diutus Nabi dan Rasul, nggak perlu diturunkan AlQur’an, biar aja setiap manusia percaya dengan keyakinan sendiri-sendiri…

Dalam dunia eksak, selama segala hal yang berbeda bisa dicari pemecahannya, mana yang lebih valid, maka dicari. Bahkan kalo bisa yang berbeda-beda itu diajak bersatu. Sehingga logikanya, bersatu di atas landasan yang kokoh. Bukan sengaja berbeda lalu pura2 bersatu saling toleransi padahal saling sikut. “Kau sangka mereka bersatu padahal hati mereka berpecah belah,” kata ayat dalam Al Qur’an.

Sekarang kan apa-apa ditoleransi, ada kelompok yang penentuan Idul Fitrinya berdasarkan pasang surut air laut, ditoleransi, ada orang ngaku jadi Nabi, ditoleransi, besok ada yang sholat dhuhur 8 rokaat pun pasti ditoleransi. Lha ya udah rusak dakwah ini, tiap mau bilang, “eh ini nggak boleh,” dibales, “kamu merasa bener sendiri, menyesat-nyesatkan orang. Mau memonopoli surga.” Ya sudaaah repot.

Karena itulah pengusung paham buram: saya bisa benar, kamu bisa benar, semua bisa benar, toleran, liberal, itu biasanya datang dari mereka yang kuliah di fakultas non-eksak. Filsafat terutama. Karena sudah dibiasakan berpikir seperti itu. Selama masih bisa ngeles ya ngeles terus. Bermain-main opini saja. Mana yang kelihatan paling keren opininya, paling satir, ya wis, itu yang juara! Nggak urus itu ngawur apa nggak.

Balik ke cerita. Setidaknya satu sisi positif dari hasil bergaul dengan teman-teman HTI dan IM adalah, saya mulai tidak alergi dengan penampilan celana cingkrang dan jenggot. Sebab sebagian teman ada yang begitu. meski saya belum tahu alasannya. Mungkin tren.

Nah, kemudian muncullah sebuah pertanyaan besar: Lalu, kalau orang-orang yang di mesjid dekat rumah, yang cingkrang, jenggotan, itu aliran apa ya?

Mulai deh. Sehabis maghrib biasanya kan ada kajian. Sesekali saya coba duduk di teras mesjid, dengerin yang diomongin si ustadz… Oh, ternyata ustadz itu bicaranya tentang tauhid, syirik, sunnah, bid’ah… Kok kayaknya menarik? Belum pernah nih di kampung ada ceramah kayak gini.

Kemudian lain waktu saya mulai masuk deh ikut kajian itu biarpun nggak ada sertifikat. Sehabis maghrib, malam selasa dan malam sabtu. Asli, saya jatuh cinta. Cara ustadznya menjelaskan, terus banyak hal baru yang saya ketahui dan bikin, “Oh, gitu ya? Oh ternyata gitu?”

Berbeda dengan seminar yang kebanyakan seperti bertele-tele, ustadz di mesjid ini langsung ke poinnya. Dan setelah beberapa kali saya ikuti, ternyata bisa disimpulkan tujuan dakwahnya mereka ini sederhana banget: cuma gimana biar bisa ibadah dengan bener, tahu landasannya, bukan ikut-ikutan. Gimana biar kita terasa hidup dekat dengan Nabi dan para sahabat. Udah. Gitu. Simpel banget. Terlalu simpel malahan.

Nggak ada tujuan bikin negara islam, bikin gerakan rekrut orang, bai’at, kartu anggota, tur ziarah.. Nggak ada. Cuma diajarkan, udah meng-Esa-kan (mentauhidkan) Allah dengan bener belum? ibadah kita selama ini udah sesuai dengan tuntunan Rasulullah belum? Wis, tok, til, itu aja.

Mereka tidak punya penamaan seperti IM atau HTI, sebab konon memang nggak punya nama, cuma berdakwah mengajak pada islam yang murni dan lurus.

Adapun kemudian saya dengar dari orang-orang, bahwa mereka dinamakan wahabi… Ketika saya baca artikel tentang wahabi, itu wuh sadis banget! Konspirasi dengan Inggris, temennya Mamarika, menghancurkan makam Nabi, radikal, ngajarin pegang senjata. Apalagi kalau levelnya sudah utak-atik sejarah, ada buku judulnya Sejarah Berdarah Sekte Wahabi. Kok sangar temen? Padahal realitas yang saya datangi sendiri, nggak ada itu.

Maka terjadi pergolakan besar dalam diri saya. Dimasuki banyak hal-hal yang terasa baru. Wahabi ternyata tidak merayakan maulid, alasannya: soalnya Rasul tidak merayakannya. Simpel banget! Tapi wahabi justru mengajarkan cinta Rasul dengan meneladani beliau. Akhirnya saya tahu, oh, jadi Rasul memerintahkan kain celana di atas mata kaki, pantesan mereka cingkrang.

Saya ragu, apa mau cingkrang juga ya? Duh, nggak keren lagi dong kalau ke kampus. Antara menuruti jiwa muda untuk tampil modis atau menuruti perintah Rasul? Yah kok Rasul nyuruh gini sih? Berat hati. Sebenarnya kalau saya mau menolak, ada jalannya, yaitu embusan dari orang-orang bahwa cingkrang itu ciri teroris, bahwa itu sebetulnya nggak wajib, bahwa jangan terlalu kaku lah dengan dalil, memahami hadits harus dari sudut pandang modern…

Pokoknya opini-opini yang sifatnya menolak dengan cara ngalor-ngidul dulu mencari-cari pembenaran. Sementara wahabi itu simpel banget: Ada dalil, sahih, kerjakan. Tidak ada, tidak perlu dikerjakan.

Tapi yang sederhana begini, masyaAllah… Dihujat di mana-mana. Apalagi di kalangan penulis intelektual filsafat satiris posmodern, seperti jadi musuh bersama.

Wahabi dibilang anti-maulid, tidak cinta Rasul. Padahal saya lihat mereka yang paling meneladani perilaku Rasulullah. Selama di kampung saya nggak tahu kalo Rasul memerintahkan kain celana di atas mata kaki.

Wahabi dibilang tidak mau shalawat. Padahal saya lihat mereka cuma mencukupkan shalawat yang diajarkan Rasul, yaitu shalawat yang biasa dibaca di tahiyat akhir dalam sholat, bukan shalawat hasil ide-ide kreatif.

Wahabi dibilang melarang ziarah kubur, padahal mereka cuma melarang minta-minta sama orang mati meskipun itu wali, bukan ziarahnya yang dilarang.

Juga dibilangnya wahabi mau bikin mazhab baru, padahal pas kajian mereka tetap mengutip pendapat Imam Syafi’, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad. Bahkan mereka selalu mengkaji, jika 4 pendapat imam itu berbeda, maka mana yang lebih mendekati sunnah, itu yang diikuti, tanpa merendahkan keilmuan salah satu dari imam mazhab. Jadi nggak asal, kita mazhabnya syafi’i, lalu fanatik, sampai ada yang nggak mau nikah dengan mazhab lain.

Dan semua yang wahabi lakukan, itu karena ada dalil dari Rasulullah. Bukan karena ingin memecah belah atau tampil beda atau merasa benar sendiri yang lain sesat.

Bahkan saya lihat, wahabi itu yang paling banyak mengalah dari keinginannya. Gimana gak ngalah? Perempuannya bercadar, jilbab lebar hitam. Padahal kalo dipikir-pikir, kan enakan islam yang ditawarkan kaum liberal, beragama tapi bebas nggak terikat apa-apa. Nggak mesti jilbaban, dll.

Jadi kalau ingin berislam tapi nggak mau disuruh ini itu, saya sarankan ikut liberal, selalu dikasih solusi untuk ngeles. Anda males pake jilbab, tenang, jadilah liberal, baca Quraish Shihab, ada solusinya, jilbab itu nggak wajib kok, anaknya aja nggak berjilbab. Bahkan Anda akan bisa merasa lebih jumawa dari mereka yang pakai cadar…. Lha perempuan wahabi, udah cadaran, sumuk, kehilangan kesempatan bersolek, eh malah jadi bahan olokan. Kalau bukan karena kecintaan terhadap sunnah, dijamin mereka gak akan sibuk merepotkan diri seperti itu.

Sejak itu saya gak terpengaruh lagi dengan opini orang tentang wahabi, mau dibilang gak cinta Rasul kek, dibilang suka membid’ahkan orang kek, suka mengkafirkan orang, merasa masuk surga sendiri yang lain masuk neraka. Karepmu! Sebab saya tahu, realitasnya tidak seperti itu. Dan memang kalau ikut opini orang, nggak bakal selesai.

Masih ingat kan kisah bapak, anak, dan seekor onta? Ketika anaknya naik onta, sementara bapaknya jalan sambil nuntun tali onta, orang-orang bilang, “Anak durhaka, enak-enakan di atas, Bapaknya disuruh nuntun.” Mendengar itu, anaknya turun, lalu ganti, bapaknya naik onta, anaknya nuntun. Orang bilang, “Bapak gak tahu kasihan, enak-enakan di atas onta, anaknya malah disuruh jalan.” Maka sekarang, anak dan bapak berdua sama-sama naik onta. Orang-orang bilang, “Gak tahu kasian sama binatang, onta kurus gitu kok dinaiki berdua.” Ujung-ujungnya bapak dan anak sama-sama jalan nuntun onta. Eh orang masih bilang, “Mereka berdua itu kok goblok banget, punya onta tapi gak dinaikin malah dituntun aja.”

Gitulah, di mana-mana, opini orang gak bisa dijadikan acuan. Apalagi opini dari ahlul pelintir bahasa, wuh, hebat-hebat, yang insecure lah, sesat sejak dalam pikiran lah, ini lah, itu lah. Berbeda dengan wahabi ketika mengomentari sebuah aliran tertentu, itu bukan pakai opini pelintir bahasa, tapi langsung ke akarnya.
Ketika mengomentari syiah misalnya. Pengusung toleransi semu akan menyeret opini bahwa syiah dan sunni cuma perbedaan mazhab, politis, diseret tentang hak asasi, minoritas, dst.. Kalau wahabi langsung ke kitab induk syiah. Bahwa syiah ini menyimpang karena mengkafirkan mayoritas sahabat, menyebut Abu Bakar & Umar sebagai dua berhala Quraisy, menganggap Aisyah sebagai pelacur, menghalalkan darah nashibi (ahlus sunnah), memiliki Al Qur’an 3x lebih tebal, syahadatnya berbeda, adzannya beda, menghalalkan kawin kontrak, malam kawin pagi cerai… Itu. To the point. Kalau alasan itu diterima, mereka memuji Allah. Tidak diterima, tetap memuji Allah.

Saya pun mulai rajin mengikuti kajian wahabi, bahkan yang jauh-jauh dan ustadznya sampai dari Arab. Semakin banyak perbedaan yang bisa ditangkap secara kasat mata:

Pertama. Di kampung saya, kalau kiyai/ustadz datang, itu kadang tangannya jadi rebutan, dicium-cium sama jamaahnya. Bahkan cara cium tangannya itu bisa dramatis sekali ada teknik-teknik tersendiri. Apalagi kalo yang datang itu level syaikh pondok ini, atau anak keturunan syaikh itu, wuh tambah jadi rebutan.

Berbeda dengan kajian wahabi. Biarpun penceramahnya level ulama paling senior dan sepuh pun, sewaktu ulama itu datang dan jalan ke depan, jamaahnya biasa aja duduk.

Kalau pakai opini orang, kesannya wahabi tidak menghormati ulama. Padahal saya melihat, mereka menghormati ulama ya karena ilmunya, bukan karena fisiknya atau keturunan siapa, jadi tidak lebay rebutan cium tangan, apalagi seolah mengkultuskan rebutan air liur, diyakini mustajab, hiii.

Wahabi itu nggak pernah nyebut-nyebut syaikh siapa jadi doa berjamaah, bikin haul. Nggak pernah. Sebab mereka beneran cuma menghargai ilmu, tidak berlebihan terhadap tokoh… Beda di kampung saya, fatihah ila hadarotin syaikh ini, syaikh itu, diulang-ulang tiap ada selamatan, tapi orang-orang nggak tahu syaikh itu siapa sih? Buku kitabnya apa? Nggak ada. Pokoknya kiyai nyebut syaikh itu tiap selamatan, ya sudah sampe turunannya tetap nyebut syaikh itu. jamaahnya ya amin-amin saja terus makan rawon.

Yang kedua. Yang namanya pengajian, di kampung saya biasanya identik dengan nyanyi-nyanyi, baca Al Fatihah, awal Al Baqoroh, ayat kursi, sholawat apa gitu panjang, baru setelah itu ada ceramah. Kalo di wahabi, ustadznya datang, duduk, langsung membuka materi dg khutbatul hajah, lalu mengajar, ada istirahat, tanya jawab, abis itu selesai, pulang. Nggak ribet.

Yang ketiga. Kalo di kampung saya, segala jenis ibadah wis tinggal nyontoh saja, kalo ngaji maghrib itu kadang ada pelajaran sholat dari kiyai, ya sudah langsung baca aja rame-rame dari usholli sampai salam. Tapi di wahabi itu ilmiah sekali, tidak asal ikut ustadznya, melainkan diajari memahami bahwa setiap gerakan sholat itu dilakukan karena ada contohnya, kita melakukan ibadah karena memang ada riwayatnya dari Rasul. Kalau nggak ada riwayatnya, ya nggak perlu repot-repot dikerjakan. Sehingga ketika sholat, setiap gerakan kita terasa dekat dg Rasulullah sebab tahu ada rantai yang bersambung.

Hal lain juga. Saya jadi tahu, misalnya, Allah mengampuni semua dosa kecuali dosa syirik. Dosa syirik tidak akan diampuni kalau pelakunya mati sebelum sempat bertobat. Sebab dosa syirik itu paling besar, paling bahaya, sehingga kita mesti tahu cabang-cabangnya. Bahwa perdukunan itu syirik, meyakini hari sial itu syirik, minta-minta ke orang mati itu syirik, jimat itu syirik, ada syirik besar dan syirik kecil, harus waspada dan selalu mengoreksi diri sendiri.

Sejak itu, ngeri lah karena ternyata banyak keyakinan saya selama ini tergolong syirik, seperti keyakinan kalo nabrak kucing berarti sial, pergi gak boleh hari jumat, dst…. Kalau di kampung saya, yang dimaksud syirik ya menyembah patung berhala. gitu aja. Mana ada hari ini orang islam sekonyol itu nyembah patung? Kalau dosa syirik cuma sebatas nyembah patung, alangkah mudahnya itu dihindari?

Apalagi pas tahu banyak hal yang selama ini biasa saya lakukan, ternyata bid’ah, tidak diajarkan Rasul. Saya yang sudah telanjur ngefans dengan sholawat nariyah dan hapal di luar kepala sejak ngaji jaman SD, kaget lho jadi sholawat nariyah itu bid’ah? Sempat gak terima. Tapi tumbuhnya kecintaan untuk mengenal, “Jadi, islam yang aslinya sesuai Nabi itu gimana?” Itu membuat saya rela untuk melepas atribut kefanatikan dan segala hal yang sudah diyakini sejak kecil. Seandainya saya sudah anti sejak awal, kan bisa dengan mudah mudah langsung saya cap, “Wo, wahabi itu menyalah-nyalahkan orang, masak sholawatan aja nggak boleh.”

Saya lalu menyadari, faktor penting orang sulit menerima kebenaran, adalah karena kebenaran itu menghantam keras pada apa yang sudah diyakininya selama ini sebagai kebenaran.

Sama, di masa jahiliyah dahulu, Sebelum Muhammad diangkat sebagai Nabi, beliau sudah digelari Al Amin (yg bisa dipercaya) oleh kaumnya, sebab memang sangat dipercaya, sampai-sampai jika Muhammad berkata, “Ada pasukan musuh di balik gunung ini.” Maka mereka percaya. Tapi setelah mendapat wahyu, mengajak untuk menyembah Allah saja, yang mana itu menghantam keras pada keyakinan kaum Quraisy saat itu, langsung berubah mereka menjuluki Rasulullah jadi Majnun, tukang sihir…

Maka dari itu, ketika ada yang bilang wahabi merasa benar sendiri, itu aneh. Sebab wahabi itu justru orang yang mau mencari kebenaran meski konsekuensinya berat karena harus meninggalkan kebiasaan masa lalu yang sudah dianggap sebagai kebenaran… Kalau sejak awal merasa sudah yakin paling benar, tentu mereka akan tetap dengan keyakinan agama kakek moyang selama ini, nggak mau diingatkan tentang syirik, bid’ah dan lain sebagainya.

Nah. Pada akhirnya, saya salut terhadap mereka ini, yang ikhlas mengajak masyarakat untuk kembali ke agama yang murni, mengingatkan orang bahaya syirik, bahaya bid’ah, meskipun dihujat banyak orang, dituduh sesat, macem-macem. Terserah orang lain menamai mereka wahabi, atau seburuk apapun, itu cuma nama saja, tidak mengubah hakikat…

Tapi anggap saja penamaan wahabi diterima. Coba cek di media netral seperti wikipedia.https://id.wikipedia.org/wiki/Wahhabisme, lalu baca, di mana penyimpangannya? Kenapa kok dimusuhi banget?

Saya juga ingin terus belajar. Semoga kita semua mendapat petunjuk untuk mencari hidayah. Hidayah datang dari Allah. Kita mencari kebenaran bukan untuk menyalah-nyalahkan orang. Selama seseorang ikhlas untuk terus mencari agama Allah yang lurus dan menempuh jalan-jalannya, maka akan disampaikan ke tujuannya.

— Kopas dari status kawan FB

Sunday, March 13, 2016

Kata Mutiara Salafy

Bismillaah hirrohman niirrohiim..

1. Ustadz Maududi Abdullah:
#"Jika engkau tidak mampu merangkul saudaramu ke surga, paling tidak jangan menjadi jembatan baginya menuju neraka."
.
#"Tidak Mungkin kecerdasan anda melebihi kebenaran yang diajarkan Allah, melebihi kebenaran yang diajarkan Rasulullah, tidak Mungkin."
.
#"Jika menurutmu ia tidak bisa menjadi sahabat bagimu maka tinggalkanlah dia, namun tidak perlu sampai engkau menjadikannya sebagai musuhmu."
_________________________________________________________
2. Ustadz Firanda Andirja:
#"Jangan sampai mengejar rizki menjadikan engkau lalai dari Yang Maha Pemberi Rizki."
.
#"Agama Islam agama dalil, bukan dongeng bukan cerita, bukan kata orang, bukan banyaknya orang, kita gak mengikuti nenek moyang , yang kita ikuti adalah dalil."
.
#"Akhlak yang mulia adalah membalas keburukan dengan kebaikan, Kalau hanya berbuat baik kepada yang baik maka itu sudah merupakan keharusan.
.
#" Jika orang ingin berubah, temannya juga harus berubah."
_____________________________________________________________
3. Ustadz Yazid Bin Abdul Qodir Jawas:
#"Semakin seseorang sibuk memikirkan kebahagian saudaranya, maka ia semakin dibahagiakan Allah ".
.
#"Masuk Ramadhan ini antara berharap dan cemas, berharap mendapat ampunan Allah dan cemas bila keluar ramadhan dosa belum mendapat ampunan-Nya."
______________________________________________________________
4. Ustadz Syafiq Reza Basalamah:
#"Sibukkanlah diri dengan menuntut ilmu. Jangan menyibukan diri dengan mengurusi Fitnah. Berapa banyak kitab ulama yang belum kita baca? Ribuan!"
______________________________________________________________
5. Ustadz Badru salam:
#"Penyesalan di dunia adalah suatu awal yang baik untuk kembali ke jalan Allah dan meraih ampunan-Nya. Penyesalan di akhirat kelak tak akan berguna lagi."
______________________________________________________________
6. Ustadz Abdullah Zaen:
#"Sekeras apapun teriakan orang bila anda menyikapinya dengan diam dan bahkan tersenyum maka ia segera diam."
______________________________________________________________
7. Ustadz Arifin Badri:
#"Kita takut mati? padahal mati lebih baik dari pada fitnah, Kita takut miskin? padahal miskin lebih ringan untuk hisab”

Saturday, March 5, 2016

Saat Akhir Zaman Hindarilah Pekerjaan-pekerjaan Ini

Jauh sebelum kondisi ini banyak terjadi di masyarakat, Rasulullah SAW sudah pernah memperingatkan umatnya untuk mewaspadai pekerjaan-pekerjaan yang haram.

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Benar-benar akan datang kepada manusia suatu masa, pada saat itu orang tidak lagi mempedulikan dari mana ia mendapatkan harta kekayaan, apakah dari jalan yang halal ataukah jalan yang haram. “1)

Musibah, bencana alam, keserakahan manusia, gaya hidup hedonis yang tamak dan rakus, semuanya merupakan pemicu munculnya ketidakseimbangan, baik pada alam maupun secara sosial. Dari sudut pandang sunnatullah, semua itu merupakan bentuk ujian yang Allah berikan kepada setiap manusia. Namun, dari sudut pandang human’s behaviour (perilaku manusia), maka semua musibah itu adalah akibat tingkah laku mereka.

Semua bencana itu akan berimbas pada problem kemanusiaan. Ekonomi merosot, persediaan pangan terancam, lahan pekerjaan menjadi sempit, sementara kebutuhan manusia terus berjalan dan cenderung melonjak, baik karena faktor pertambahan penduduk maupun berubah gaya hidup manusia yang cenderung materialistik.

Dalam kondisi seperti itu, sering kali manusia menjadi gelap mata manakala kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Perut yang lapar dan tuntuan hidup orang-orang yang ditanggungnya (anak dan istri), mau tidak mau akan memaksa mereka untuk menempuh jalan yang mungkin saja berujung pada sikap menghalalkan segala cara; yang terpenting perut bisa diganjal, anak dan istri tidak lagi menangis kelaparan dan kebutuhannya terpenuhi.

Inilah kondisi di mana hari ini kita hidup. Faktor kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin tidak dipungkiri menjadi pemicu lahirnya keinginan manusia untuk mencari keadilan dengan cara-cara haram.

Orang-orang kaya yang hobi pamer kekayaan dan sering menjual gaya hidupnya kepada orang-orang miskin, ‘telah menambah dorongan mereka untuk melakukan apapun asal mereka bisa menikmati seperti yang selama ini mereka tonton. Maka, betapa tepatnya kondisi saat ini dengan apa yang dinubuwatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam riwayat di atas.

Rezki Allah itu sangat luas

Pameo klasik yang mengatakan bahwa ‘mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal’ jelas merupakan sebuah alasan yang klise dan absurd, meski realitanya demikian. Sesungguhnya mata pencaharian itu sangat banyak ragamnya. Selama ia merupakan sesuatu yang halal, baik, dan tidak melanggar ketentuan syariat, maka ia adalah pekerjaan yang diberkahi.

Seorang muslim boleh melakukannya. Apabila pekerjaan tersebut berupa sebuah kemaksiatan, kemungkaran, kezaliman, kecurangan, penipuan, atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan umum syariat, maka ia adalah pekerjaan yang haram, meskipun menghasilkan harta kekayaan dalam jumlah yang banyak. Seorang muslim wajib menjauhi dan meninggalkannya.

Hindari pekerjaan-pekerjaan ini:

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memperingatkan umatnya untuk mewaspadai pekerjaan-pekerjaan yang haram ini. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan salah satu tanda rusaknya akhlak umat manusia dengan ketidakpedulian mereka terhadap cara mencari harta kekayaan. Di antara mata pencaharian yang dilarang adalah:

1. Pekerjaan yang berupa kesyirikan dan sihir, seperti perdukunan, paranormal, ‘orang pintar’, peramal nasib, dan hal-hal yang sejenis dan semakna dengannya.

2. Pekerjaan yang berupa sarana-sarana menuju kesyirikan, seperti menjadi juru kunci makam, membuat patung, melukis gambar makhluk yang bernyawa, dan hal-hal yang sejenis dan semakna dengannya.

3. Memperjual belikan hal-hal yang diharamkan oleh syariat, seperti bangkai, babi, darah, anjing, patung, lukisan makhluk yang bernyawa, minuman keras, narkotika, dan lain sebagainya.

Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang harta dari harga penjualan anjing, upah wanita pezinaan, dan upah seorang dukun. 2)

Dari Abu Juhaifah ra ia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang harta hasil penjualan darah, penjualan anjing, upah budak perempuan yang dipekerjakan untuk berzina (upah mucikari). Beliau melaknat perempuan yang membuat tato, perempuan yang meminta ditato, orang yang memakan harta riba, orang yang memberikan riba, dan orang yang membuat patung.”3)

Dari Jabir bin Abdillah ra bahwasanya ia telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda di Mekah pada tahun penaklukkan Mekah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan penjualan khamer, bangkai, babi, dan patung.” Maka ada seseorang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat Anda tentang menjual lemak bangkai, karena ia bisa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit, dan orang-orang biasa mempergunakannya untuk minyak lampu penerangan?” Maka beliau menjawab: “Tidak boleh menjualnya, ia tetap haram.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lantas bersabda: “Semoga Allah memerangi kaum Yahudi. Ketika Allah mengharamkan atas mereka lemak bangkai, mereka mencairkannya lalu menjualnya dan memakan harganya.”4)

Dari ‘Aisyah radiyalaahu ‘anhuma ia berkata: “Ketika diturunkan ayat-ayat di akhir-akhir surat Al-Baqarah tentang riba (ayat 275 dst) , Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar ke masjid dan membacakannya kepada masyarakat. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kemudian mengharamkan perdagangan khamer, minuman keras.5)

4. Memakan harta riba.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan tinggalkanlah riba yang masih ada pada diri kalian, jika kalian benar-benar beriman. Jika kalian tidak mau melakukannya, maka terimalah pengumuuman perang dari Allah dan Rasul-Nya. ” (QS Al-Baqarah [2] :278-279).

5. Menimbun bahan-bahan perdagangan di saat harganya murah dan dibutuhkan oleh masyarakat dengan tujuan meraih keuntungan yang berlipat ganda pada saat harganya melambung tinggi.
Dari Ma’ mar bin Abdullah al-Anshari ra dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

“Barang siapa menimbun, ia telah berbuat salah.” Dalam lafal yang lain: Tidak ada orang yang melakukan penimbunan selain orang yang berbuat salah. “6)

Dari Umar bin Khathab ra , ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa menimbun bahan makanan yang dibutuhkan oleh kaum muslimin, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menimpakan penyakit lepra dan kebangkrutan kepadanya. “7)

6. Perjudian.

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamer (minuman keras), perjudian, berkurban untuk berhala-berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan, maka jauhilah oleh kalian perbuatan-perbuatan tersebut agar kalian mendapatkan keberuntungan.

Sesungguhnya setan bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran meminum khamr dan melakukan perjudian dan menghalang-halangi {melalaikan} kalian dari dzikir kepada Allah dan dari shalat. Maka mengapa kalian tidak mau berhenti? (QS Al-Maidah [5]: 90-91).

7. Memakan harta anak yatim secara dzalim.

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (QS An-Nisa’ [4): 10).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian. (QS An-Nisa’ [4]: 29).

8. Mencuri, mencopet, menjambret, dan merampok

Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, maka potonglah (pergelangan) tangan-tangan mereka sebagai hukuman dari Allah atas kejahatan mereka. (QS Al-Maidah [5]: 38).

9. Mengurangi timbangan dan takaran.

Kecelakaan bagi orang-orang yang melakukan kecurangan dalam timbangan, yaitu kalau menakar milik orang lain untuk dirinya, ia meminta disempurnakan. Namun, apabila mereka menakar barang dagangan mereka untuk orang lain, ia merugikan orang lain (dengan mengurangi takaran). (QS Al-Muthaffifin: 1-3).

10. Korupsi dan penipuan terhadap rakyat.

Dari Ma’qil bin Yasar ra ia berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda: “Tidak ada seorang hamba pun yang diberi amanat oleh Allah untuk menjadi pemimpin sebuah masyarakat lalu ia tidak memimpin mereka dengan ketulusan (kejujuran), kecuali ia tidak akan mendapatkan bau surga.” Dalam lafal Muslim: “… kecuali Allah mengharamkan surga atasnya. “8)

l. Menunda-nunda pembayaran gaji buruh dan karyawan atau mengurangi hak-hak mereka.

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ‘Ada tiga golongan yang Aku menjadi musuh mereka; orang yang memberikan sumpah setia dengan menyebut nama-Ku lalu ia mengkhianati, orang yang menjual orang merdeka lalu ia memakan hasil penjualannya, dan orang yang mempekerjakan seorang buruh lalu si buruh menuntaskan pekerjaannya sementara ia tidak mau membayarkan upahnya.”9)
_________

* HR. Bukhari : Kitab al-buyu’ bab man lam yubali min haitsu kasaba al-mal no. 2059 bab qauluhu ta’ala Ali Imran : 130 no. 2083, An-Nasa’i dan Ahmad. ‘

* HR. Bukhari : Kitab al-buyu’ bab tsaman al-kalb no. 2237,.

* HR. Bukhari : Kitab al-buyu’ bab mukil al-riba no. 2086, bab tsaman al-kalb no. 2238.

* HR. Bukhari : Kitab al-buyu’ bab bai’i al-maitah wa al-ashnam no. 2236″ 90 HR. Bukhari : Kitab al-shalat bab tahrim tijarat al-khamr fi al-masjid no. 459.

* HR. Muslim: Kitab al-musaqat bab tahrim alihtikar fi al-aqwat no. 1605,.

* HR. Ibnu Majah : Kitab al-tijarah bab al-hukrah wa al-jalb no. 2155. AI-Hafizh Ibnu Hajar berkata: sanadnya hasan.

*. HR. Bukhari : Kitab al-ahkam bab man ustur’iya ra’iyah falam yanshah lahum no. 7150 Muslim: Kitab al-imarah bab fadhilat al-imam al-‘adil wa ‘uqubat al-jaair no. 1831. ‘ .

* HR. Bukhari: Kitab al-buyu’ bab itsm man ba’a hurran no. 2227.

(Sumber: Akhir Zaman: Abdur Rahman Al-Wasithi, Dari: 100 Hadits Tentang Nubuat Akhir Zaman, Az-Zahra Mediatama, Hal. 102-108)

: