: Bait Bait Jiwa: 2015

Tuesday, November 24, 2015

Dialog Raja Faisal Bin Abdul Aziz dan Presiden Perancis Charles de Gaulle tentang Palestina

Islamedia – Pada masa kepemimpinan Raja Faisal Bin Abdul Aziz, Arab Saudi merupakan negara yang sangat keras menentang penjajahan Zionis Israel atas bangsa Palestina. Dalam berbagai kesempatan di forum-forum Internasional, Raja Faisal secara Istiqomah memperjuangkan hak-hak warga Palestina.

Berikut ini salah satu dialog antara Raja Faisal Bin Abdul Aziz dengan Presiden Perancis Charles de Gaulle tentang Palestina. Dalam dialog ini Raja Faisal dengan sangat tegas menyatakan pembelaan terhadap Palestina dan gaya bahasanya yang sangat lugas membuat Presiden Charles kehilangan kata-kata (speechless).

Presiden Charles : “Kami dengar Tuan Raja ingin sekali menendang Israel ke laut, sementara keberadaan Israel ini sudah menjadi sebuah realita yang harus diterima, dan tidak seorangpun di dunia ini boleh menolak keberadaannya“.

Raja Faisal Menjawab : “Saya benar-benar heran dengan pernyatanmu itu tuan Presiden. Hitler pernah menduduki Paris, dan pendudukan itu sudah menjadi realita yang harus diterima. waktu itu seluruh Prancis sudah menyerah kalah dan bertekuk lutut. Tapi waktu itu anda tidak menyerah dan terus berjuang melawan apa yang tadi anda sebut sebagai sebuah realita yang harusnya anda terima begitu saja, sampai akhirnya anda sukses. Baik anda maupun bangsa anda tidak pernah mau menerima sebuah realita yang sudah terjadi. Makanya saya sangat heran ketika anda meminta saya untuk menyerah begitu saja menerima realita israel ini. Anda sudah pernah merasakan bagaimana bangsa lemah dijajah oleh bangsa kuat, wahai Tuan Presiden“.

Kagum dan kaget mendapatkan jawaban super telak tersebut, Presiden Charles de Gaulle menurunkan intonasi bicaranya: “tetapi wahai tuan raja, orang-orang yahudi mengatakan bahwa Palestina adalah tanah leluhur asli mereka, dan nenek moyang senior mereka dilahirkan disana“.

Raja Faisal menjawab, “Tuan Presiden, saya masih belum bisa memahami anda, bukankah anda orang yang taat beragama dan mengimani kitab suci anda. Tentunya anda senantiasa membaca kitab suci anda. Anda tentunya pernah membaca bahwa yahudi datang dari Mesir lalu mereka menyerang Palestina, membakar kota-kota, membunuh anak-anak dan wanita, lalu menaklukkan Palestina. Bagaimana mungkin anda bisa mengatakan bahwa Palestina adalah tanah leluhur mereka? Palestina adalah tanah asli suku Arab Kan’an, dan yahudi adalah penjajah. Itu yang tertulis dalam alkitab anda. Dan anda ingin mengembalikan penjajahan yan pernah diwujudkan Yahudi pada 4000 tahu yang lalu, tapi kenapa anda tidak ingin mengembalikan penjajahan Roma terhadap Prancis yang baru saja terjadi pada 3000 tahun yang lalu? Apakah kita harus menata ulang peta dunia demi kepentingan yahudi, tetapi kita tidak mau menata ulang peta dunia untuk kepentingan Roma? Anda juga tentunya belum lupa, kalau kami Muslim Arab pernah menduduki Selatan Prancis selama 200 tahun, sementara yahudi kuno menduduki Palestina cuma 70 tahun doang lalu kembali terusir kelaur Palestina“.

“tapi yahudi mengklaim bahwa nenek moyang mereka terlahir disana!“, balas Presiden Charles.

“Anda ini benar-benar aneh. sekarang di paris ada 150 kedutaan asing. Mayoritas Dubes-Dubes dan para Diplomat sempat melahirkan anak-anaknya di Paris. Kalau suatu saat anak-anak kelahiran Paris itu datang ke Prancis dan menuntut anda untuk meninggalkan negeri ini untuk diduduki oleh mereka yang pernah terlahir di Paris, maka akan seperti apa nasib Paris? Paris akan menjadi milik siapa?“.

Presiden Charles terdiam! Lalu dengan suara yang berat, Presiden Charles berkata, “ok, sekarang baru saya mengerti permasalahan Palestina yang sesungguhnya“. Selanjutnya Prancis menyetop senjata yang dipasok ke Israel yang saat itu dipasok oleh Prancis.

dikutip dari shasha.ps dan dialihbahasakan oleh Ustadz Syafruddin.
[islamedia/mh]

www.shasha.ps/news/172074.html
www.islamedia.id/jawaban-raja-arab-saudi-tentang-palestina-ini-membuat-presiden-perancis-speechless/

Monday, November 23, 2015

Toples Yang Sudah Penuh

* Seorang guru besar di depan audiens nya memulai materi kuliah dengan menaruh topless yg bening & besar di atas meja.

* Lalu sang guru mengisinya dengan bola tenis hingga tidak muat lagi. Beliau bertanya: "Sudah penuh?"

* Audiens menjawab: "Sdh penuh".

* Lalu sang guru mengeluarkan kelereng dari kotaknya & memasukkan nya ke dlm topless tadi. Kelereng mengisi sela2 bola tenis hingga tdk muat lagi. Beliau bertanya: "Sdh penuh?"

* Audiens mjwb: "Sdh penuh".

* Setelah itu sang guru mengeluarkan pasir pantai & memasukkan nya ke dlm topless yg sama. Pasir pun mengisi sela2 bola & kelereng hingga tdk bisa muat lagi. Semua sepakat kalau topless sdh penuh & tdk ada yg bisa dimasukkan lg ke dalamnya.

* Tetapi terakhir sang guru menuangkan secangkir air kopi ke dalam toples yg sdh penuh dgn bola, kelereng & pasir itu.

Sang Guru kemudian menjelaskan bahwa:
"Hidup kita kapasitasnya terbatas spt topless. Masing2 dari kita berbeda ukuran toplesnya:
- Bola tenis adalah hal2 besar dlm hidup kita, yakni tanggung-jawab thdp Tuhan, orang tua, istri/suami, anak2, serta makan, tempat tinggal & kesehatan.
- Kelereng adalah hal2 yg penting, spt pekerjaan, kendaraan, sekolah anak, gelar sarjana, dll.
- Pasir adalah yg lain2 dlm hidup kita, seperti olah raga, nyanyi, rekreasi, Facebook, BBM, WA, nonton film, model baju, model kendaraan dll.
- Jika kita isi hidup kita dgn mendahulukan pasir hingga penuh, maka kelereng & bola tennis tdk akan bisa masuk. Berarti, hidup kita hanya berisikan hal2 kecil. Hidup kita habis dgn rekreasi dan hobby, sementara Tuhan dan keluarga terabaikan.
- Jika kita isi dgn mendahulukan bola tenis, lalu kelereng dst seperti tadi, maka hidup kita akan lengkap, berisikan mulai dr hal2 yg besar dan penting hingga hal2 yg menjadi pelengkap.

Karenanya, kita harus mampu mengelola hidup secara cerdas & bijak. Tahu menempatkan mana yg prioritas dan mana yg menjadi pelengkap. 
Jika tidak, maka hidup bukan saja tdk lengkap, bahkan bisa tidak berarti sama sekali".

* Lalu sang guru bertanya: "Adakah di antara kalian yg mau bertanya?"

Semua audiens terdiam, karena sangat mengerti apa inti pesan dlm pelajaran tadi.

* Namun, tiba2 seseorang nyeletuk bertanya: "Apa arti secangkir air kopi yg dituangkan tadi .....?"

* Sang guru besar menjawab sbg penutup: "Sepenuh dan sesibuk apa pun hidup kita, jgn lupa masih bisa disempurnakan dgn bersilaturahim sambil "minum kopi" ..... dgn tetangga, teman, sahabat yg hebat. Jgn lupa sahabat lama.

Saling bertegur sapa, saling senyum bila berpapasan ..... betapa indahnya hidup ini !

Barakkallu fiik..
Jazakumullahu khairan.. :)

Sunday, November 22, 2015

APA ITU SYIAH

MENGENANG JASA BESAR ABDULLAH BIN SABA YAHUDI DARI YAMAN DALAM MEMBENTUK AGAMA SYI'AH DAN MENGACAU ISLAM

MENGENANG JASA BESAR ABDULLAH BIN SABA YAHUDI DARI YAMAN DALAM MEMBENTUK AGAMA SYI'AH DAN MENGACAU ISLAM

 

Bismillah.

 

JASA ABDULLAH BIN SABA DALAM MENYEBABKAN UTSMAN BIN AFFAN DIBUNUH

 

Ahli Sejarah Saif bin Umar at Tamimi mengatakan (lihat “Tarikh ath-Thabari”, 4 atau 340 dan sesudahnya) bahwa sebab terjadinya pemberontakan beberapa kelompok terhadap Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - adalah seorang Yahudi bernama ‘Abdullah bin Saba' yang berpura-pura beragama Islam dan pergi ke daerah Mesir untuk menyebarkan idenya sendiri di beberapa kalangan masyarakat.

 

la mengatakan kepada seseorang, "Bukankah ‘Isa bin Maryam akan kembali ke dunia?" Jawab orang itu, "Ya!" la berkata lagi, "Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - lebih baik daripada ‘Isa. Apakah kamu mengingkari bahwa beliau akan kembali ke dunia sementara beliau lebih mulia dari pada ‘Isa bin Maryam?", kemudian ia berkata, "Beliau telah memberikan wasiatnya kepada Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -. Muhammad Nabi terakhir dan Ali penerima wasiat yang terakhir. Berarti Ali lebih berhak untuk menjabat sebagai kholifah dari pada Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - dan Utsman telah merampas hak yang bukan miliknya."

 

Maka mulailah orang-orang mengingkari kepemimpinan Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - dan mencelanya serta mengajak orang-orang untuk mendukung ide tersebut, seolah-olah sedang beramar ma'ruf dan melarang kemungkaran. Banyak di antara penduduk Mesir yang terpengaruh fitnah dan mereka menulis kepada jamaah-jamaah orang awam yang ada di Kufah dan Bashrah sehingga mereka saling menukar informasi melalui surat dan mengikat perjanjian kesepakatan untuk mengingkari pemerintahan Utsman bin Affan rodhilyallahu ‘anhu.

 

Lalu diutuslah seorang untuk mendebat Utsman - rodhiollohu ‘anhu - dan menyebutkan hal-hal yang mereka kritik dari beliau, terutama adanya sistem familisme-nepotisme (ini adalah pernyataan yang dilontarkan oleh provokator untuk mempengaruhi orang banyak) sehingga banyak orang yang termakan provokasi tersebut.

 

Termasuk juga di antaranya, adalah adanya tudingan bahwa Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - melakukan nepotisme dengan orang-orang dari Bani (keluarga) Umayyah karena mengangkat Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - sebagai gubernur Syria, sementara Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - sendiri masih terhitung sebagai keluarga besar Bani Umayyah, walaupun banyak dari Bani Umayyah memang cakap dalam pemerintahan. Bahkan terjadi pula pemalsuan dokumen dan fitnah yang semakin membingungkan umat oleh pihak-pihak pemusuh Kholifah.

 

Pada masa pemerintahan Utsman jumlah gubernur mencapai sekitar empat puluh orang (lihat buku “Para Gubernur Yang Menjabat di Daerah Mesir pada masa Khulafahur Rasyidin” Pasal ketiga oleh Dr. Abdul Aziz al-Umary), namun sebenarnya yang ada hubungan famili dengannya hanya berjumlah lima orang (atau sekitar 12,5 % adapun yang 87,5 % lain tidak mempunyai hubungan famili dengan beliau).

Beliau juga memecat sebagian familinya sebagaimana memecat yang lainnya  dalam pengangkatan gubernur serta memecat beberapa tokoh besar dari kalangan sahabat dari jabatan tersebut.

 

Namun isu ini terlanjur berkembang luas.

 

Begitulah cara Setan mengadu domba.

 

Dari berbagai keterangan yang tertera di dalam buku-buku Tarikh (Sejarah) jelaslah bahwa Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - melakukan beberapa cara di dalam menangani fitnah, di antaranya:

 

1.        Beliau mengumpulkan dewan syura dari kalangan sahabat dan meminta pendapat mereka tentang kebijakan apa yang seharusnya diambil dalam menangani pemberontakan yang muncul di beberapa daerah dan hasilnya disosialisasikan oleh Utsman.

 

2.        Beliau mengutus beberapa orang untuk menyelidiki kejadian yang sebenarnya dan meneliti akar permasalahan. Kemudian delegasi tersebut kembali dengan tidak mendapatkan sebab yang hakiki dan ternyata pergo-lakan tersebut hanya isu belaka.

 

3.        Beliau meminta para gubernur agar berkumpul di Madinah kemudian mendiskusikan sebab permasalahan dan beliau mengarahkan mereka agar selalu berbuat baik terhadap rakyat dan menghindari semua sebab munculnya pergolakan dan permasalahan.

 

4.        Memerintahkan para gubernur agar tidak memberikan tindakan yang keras kepada para perusuh atau memenjarakan dan membunuh mereka. Mudah-mudahan dengan sikap yang lembut tersebut dapat meredakan pergolakan.

 

5.        Menegakkan hujjah terhadap para pelaku pemberontakan dengan memberikan bantahan terhadap dakwaan-dakwaan dan membeberkan segala kekeliruan mereka di dalam Masjid Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - di depan semua sahabat dan penduduk Madinah. Kemudian beliau mengingatkan mereka agar senantiasa mengingat Allah subhanahu wa ta’aala . dan menasehatkan supaya tetap konsisten dengan jamaah serta mengikuti kebenaran. Setelah itu banyak yang rujuk dari pemikirannya dan bertaubat dan mengikrarkan hal tersebut hingga mereka mengerubungi rumah kholifah dan mengelilingi Utsman di saat beliau kembali dari melaksanakan haji bersama sejumlah para sahabat dan tabi'in.

 

6.        Mengabulkan beberapa tuntutan penukaran gubernur dengan gubernur yang mereka inginkan. Jika perkara tersebut muncul secara alarm, tentunya kebijakan seperti ini sudah cukup sebagai penanganan serta menegakkan kebenaran dan keadilan. Tetapi di balik pengaduan dan pergolakan tersebut ada unsur politis dan dendam kesumat yang terus berusaha untuk menyulut api pergolakan di tengah umat Islam dan memecah persatuan kaum Muslimiin. Lalu terjadilah apa yang telah diberitakan Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam. bahwa Utsman akan dibunuh secara zhalim yang diiringi dengan berbagai fitnah dan perpecahan kaum Muslimiin dan ketetapan Allah subhanahu wa ta’aala. itu adalah suatu ketetapan yang pasti berlaku.

 

Di tengah segala desas-desus ini, Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - akhirnya mengakhiri masa keKholifahannya setelah dibunuh sekelompok pasukan tentara Arab Muslim dari kaum Khawarij yang merasa tak puas atas keputusan-keputusan dan kepemimpinannya itu dan kaum Khawarij ini dapat dikatakan adalah kaum yang secara ekstrem ingin menegakkan Islam versi mereka dengan tanpa kompromi.

 

Mereka datang dari Fustat (wilayah garnisun tentara Islam dfi Mesir), mengepung rumahnya berharI-hari, dan membunuhnya dengan ’main hakim sendiri-klaim sepihak’ pada tahun 656 Masehi, serta dengan sendirinya membenarkan diri maereka atas tindakan itu.

 

Dan syahidlah Utsman bin Affan RA, sebagaimana sudah diberitahukan dalam Hadits:

 

Diriwayatkan dari Qatadah bahwa Anas bin Malik berkata, "Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - memanjat gunung Uhud bersama Abu Bakar ra., Umar ra. dan Utsman lantas gunung tersebut bergetar. Beliau bersabda, “Tenanglah wahai Uhud! -aku perkirakan beliau menghentakkan kakinya- tidak ada siapa-siapa di atasmu melainkan hanya seorang Nabi, Ash-Shiddiq dan dua orang syahid."

 

Shahih Muslim No. 4416: Hadits riwayat Abu Musa Al-Asy`ari - rodhiollohu ‘anhu -, ia berkata:

 

Tatkala Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - berada dalam salah satu kebun Madinah sedang bersandar dengan menancapkan sebatang kayu antara air dan tanah tiba-tiba datang seseorang yang ingin menemui Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - Beliau bersabda kepada pelayan: “Bukakanlah pintu dan sampaikan kepadanya kabar gembira dengan memasuki surga.” Orang tersebut ternyata adalah Abu Bakar. Aku pun membukakannya dan menyampaikan kabar gembira tentang surga.

 

Tak lama kemudian datang lagi seseorang minta dibukakan. Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - bersabda: “Bukakanlah pintu dan sampaikan kabar gembira kepadanya mengenai surga.” Aku beranjak dan ternyata orang tersebut adalah Umar. Aku pun membukakannya dan menyampaikan kabar gembira tentang surga.

 

Kemudian datang lagi seseorang yang juga ingin dibukakan. Kemudian Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - duduk dan bersabda: “Bukakanlah pintu dan sampaikanlah kabar gembira tentang surga dengan musibah yang akan menimpa.” Aku pun pergi menemui orang itu, ternyata dia adalah Usman bin Affan. Aku bukakan pintu untuknya dan menyampaikan kepadanya berita gembira tentang surga. Usman lalu berkata: “Yaa Allah, (berilah) kesabaran atau Allah-lah Yang Maha Penolong.”

 

 

JASA ABDULLAH BIN SABA DALAM MENYEBABKAN ALI BIN ABI THALIB DIBUNUH

 

Saat Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - dibunuh, istri-istri nabi, para Umahatul Mu’minin (para ibunda orang-orang beriman) berangkat menunaikan haji pada tahun ke tiga puluh lima (35) hijriyah ke Makkah dari Madinah. Ketika sampai ke telinga orang banyak berita terbunuhnya Utsman rodhiollohu ‘anhu, yaitu ketika mereka hendak pulang dari haji, mereka kembali lagi ke Makkah dan menetap di sana. Mereka menunggu apa yang akan dilakukan oleh umat.

 

Ini setelah dibai'atnya Ali - rodhiollohu ‘anhu - dan orang-orang yang paling berpengaruh di sekitar beliau -yaitu karena desakan kondisi dan dominasi mereka bukan atas keinginan beliau pribadi – yang juga adalah para pemimpin-pemimpin Khawarij yang telah membunuh Utsman bin Affan rodhiollohu a’nhu. Padahal Ali - rodhiollohu ‘anhu - sebenarnya tentu saja, sangat membenci mereka.

 

Akan tetapi in syaa Allah demi pertimbangan strategis, maka beliau menunggu ketenangan umat, menunggu kehancuran mereka dan sangat ingin kalaulah berhasil menguasai mereka, beliau akan mengambil hak Allah dari mereka. Namun karena kondisinya seperti itu, justru mereka yang menguasai beliau dan bahkan mereka menghalangi para sahabat yang lainnya dari beliau, maka larilah sekelompok Bani Umayyah dan yang lainnya ke Makkah dari Madinah.

 

Setelah sedikit jeda waktu, ’Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq - rodhiyallahu ‘anha – kemudian mengajak orang-orang agar menuntut balas atas tertumpahnya darah Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu -, dan jumlah mereka menjadi sekitar tiga ribu orang.’Aisyah rodhiyallahu ’anha yang adalah janda Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dan juga anak Kholifah Abu Bakar Ash Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, bersama-sama kerabatnya yang juga adalah para sahabat Rosululloh Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam, Thalhah - rodhiollohu ‘anhu - dan Zubair - rodhiollohu ‘anhu -, berangkat untuk mendamaikan potensi peperangan antara Kholifah Ali dan Mu’awiyah.

 

Ummul Mu’minin (ibunda kaum beriman atau istri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam) ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha berada dalam haudaj (sekedup) unta yang bernama 'Askar yang dibeli oleh Ya'la bin Umayyah. Kedua belah pihak sudah sepakat untuk menyelesaikan persoalan dengan baik. Namun malam harinya, mereka diserang oleh gerombolan penyusup pengadu-domba Khawarij pimpinan Yahudi ’Abdullah bin Saba’.

 

Maka terjadilah peperangan yang kacau. Mereka diserang oleh gerombolan yang menamakan dirinya Syi’ah (pengikut) Ali, padahal adalah pengadu-domba pimpinan Yahudi ’Abdullah bin Saba’. Perang ini, kemudian lazim disebut sebagai Perang Unta (Harbul Jamal) karena ’Aisyah rodhiyallahu ’anha yang turut melakukan perjalanan dengan pasukannya itu menyaksikan pertempuran ini dari punggung untanya.

 

Saat Kholifah Ali rodhiollohu ’anhu mengetahui ini dan akhirnya datang ke sana, kedua sahabat besar Rosululloh sholollohu ’alaihi wasallam yang dijamin masuk surga itu telah terbunuh.

 

Dicatat bahwa Ali sangat sedih karenanya. Salah satu ummahatul mu’minin (para ibunda kaum beriman atau para istri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam), ‘Aisyah binti Abu Bakar ash Shiddiq rodhiyallahu ’anha itu pun tetap dimuliakan dan diantarkan ke Madinah, yang ternyata ini membuat kaum Khawarij marah atas kebijaksanaan Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ’anhu karena seharusnya tawanan pun harus ditawan.

 

Kaum Khawarij ini kemudian dibantah serta diinsyafkan tiga perempat darinya oleh juru perunding Sahabat ‘Abdullah bin Abbas - rodhiyallahu ’anhu - kemudian, dengan menggunakan dalil-dalil  ayat-ayat Al Quran dan Hadits terutama mengenai keutamaan salah satu dari Ummahatul Mu’miniin, para ibunda kaum beriman, ‘Aisyah - rodhiyallahu ’anha - tersebut.  

 

Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang diduga oleh ahli sejarah secara manusiawi tak sedang dapat berpaling dari para pendukungnya dan harus menghadapi perpecahan umat, kemudian keluar dari Madinah ke Kufah dan menjadikannya sebagai ibukota pemerintahannya. Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu -, terutama didukung oleh antara lain golongan Anshar Madinah, orang-orang yang menolak kebangkitan Umayyah yang dipandang mempunyai reputasi buruk oleh mereka, dan oleh para Muslim tradisional yang masih menjalani kehidupan tradisional nomaden terutama mereka yang berada di Iraq tempat kota garnisun Kufah.

 

Dan periode perang saudara antar Muslimiin pun telah dimulai. Peristiwa perang saudara yang kemudian mengikuti rangkaian perselisihan ini selama lima tahun sesudah terbunuhnya Kholifah Ketiga Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - kemudian dikenal sebagai periode Fitnah (cobaan) Pertama dalam Sejarah Islam.

 

Hadits riwayat Usamah - rodhiollohu ’anhu -: Bahwa Nabi - shollollohu ‘alaihi wasallam - menaiki salah satu bangunan tinggi di Madinah, kemudian beliau bersabda: Apakah kalian melihat apa yang aku lihat? Sesungguhnya aku melihat tempat-tempat terjadinya fitnah di antara rumah-rumahmu bagaikan tempat turunnya air hujan. (Shahih Muslim No.5135)

 

Arti dari ”fitnah” dalam Bahasa Arab, adalah ”Ujian” namun juga dapat saja ujian itu berbentuk ”kebohongan” sebagaimana yang dipahami dalam Bahasa Indonesia.

 

Umatku ini dirahmati Allah dan tidak akan disiksa di akhirat, tetapi siksaan terhadap mereka di dunia berupa fitnah-fitnah, gempa bumi, peperangan dan musibah-musibah. (HR. Abu Dawud)

 

Hadits  riwayat Abu Hurairah - rodhiollohu ’anhu -, ia berkata: Bahwa Rosululloh - shollollohu ‘alaihi wasallam - bersabda: Akan terjadi fitnah di mana orang yang duduk (menghindar dari fitnah itu) lebih baik daripada yang berdiri dan orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari (yang terlibat dalam fitnah). Orang yang mendekatinya akan dibinasakan. Barang siapa yang mendapatkan tempat berlindung darinya, hendaklah ia berlindung. (Shahih Muslim No.5136)

 

Pemerintahan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - juga tidak cukup diterima di Syam (Syria) yang berada dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu - yang berkuasa di Damaskus, dan gelombang ketidakpuasan, perlawanan terhadap Kholifah Ali pun meningkat cepat di sana. Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - sendiri semakin memperoleh dukungan simpatisan, dan pendukungnya disebut Syi’ah Mu’awiyyah (artinya sekutu atau orang-orang yang bersimpati pada), walaupun di lain pihak masih banyak pula kaum Muslim yang bersikap netral terhadap kesemua pihak yang sedang bertentangan ini.

 

Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - didukung oleh kabilah-kabilah kaya Makkah dan Arab Syam (Syria) yang menghargai atmosfer pemerintahannya yang kuat dan bijaksana, dan dengan dukungan kuat ini, seusai perundingan arbitrase di Shiffin di dataran tinggi Eufrat pada tahun 657 Masehi yang menghasilkan keputusan yang banyak menentang kekholifahan Ali, Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - pun menggantikan kekuasaan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu -.

 

Sebagian pendukung radikal-fanatik Kholifah Ali rodhiollohu ‘anhu  – yang masih menyisakan kaum Khawarij di dalamnya - sungguh terguncang dengan mundurnya Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - dari hak kekholifahannya, dan mereka menolak hasil Arbitrase itu. Dalam pandangan mereka, Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu - telah gagal hidup dalam standar Al Quran, karenanya pantas dibunuh, dan Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - pun telah memberikan kelonggaran kepada para pendukung ketidakadilan dengan gagalnya ia membenarkan kesalahan yang dilakukan Kholifah Utsman - rodhiollohu ‘anhu -. Menurut pendapat mereka, ini tentunya bukanlah sikap seorang Muslim yang sejati.

 

Kaum ini kemudian keluar dari kelompok besar ummatyang dipimpin Ali - rodhiollohu ‘anhu - yang mereka anggap mengkhianati semangat Al Quran dan mereka mendirikan perkampungan sendiri dengan pemimpin sendiri pula, dan dalam khazanah Islam kemudian mereka ’resmi’ dikenal sebagai kaum Khawarij. Kaum Khawarij ini bersikeras bahwa pemimpin masyarakat Islam seharusnya bukanlah yang terkuat tetapi adalah seorang Muslim yang paling taat beragama.

 

Pembunuh Kholifah Utsman rodhiyallahu ’anhu – yang mereka anggap kafir - adalah dari golongan ini. Dan karenanya pula menurut mereka, seorang Kholifah seharusnya bukanlah seorang ’pencari kekuasaan’ seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyan - rodhiollohu ‘anhu -.

 

Sehubungan dengan gerakan separatis ini, Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - kemudian bertindak menindas kaum yang dianggap sebagai ekstremis ini, dan mau tak mau tindakan ini kemudian menyebabkan hilangnya pula dukungan luas kepadanya, bahkan juga di Kufah, kota yang tadinya sangat banyak terdapat pendukung tradisionalnya.

 

Sementara itu, masih banyak pula kaum Muslim yang bersikap netral terhadap kesemua pihak yang sedang bertentangan ini. Kiranya Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - bermaksud menangani ini dengan hati-hati, termasuk dengan memerangi kaum Khawarij dan kaum ekstrem lainnya, bahkan pendukungnya sendiri, Syi’ah Ali, secara bertahap, dan tercapailah masa tenggang ketegangan ini dengan arbitrase gencatan senjata antara pihak yang bertikai.

 

Perundingan arbitrase kedua yang mencoba mencari kandidat lain untuk kekholifahan (atau dengan kata lain, untuk Daulah), mengalami kegagalan titik temu, dan dominasi Mu’awiyah mampu mengalahkan pengaruh Kholifah Ali. Mu’awiyah pun lalu diangkat pendukungnya sebagai Kholifah di Daarussalaam (Yerusalem).

 

Akhirnya pada tahun 661 Masehi, Kholifah Keempat dari Khulafahur Rosyidin (Kholifah Yang Diberi Petunjuk, atau empat Kalifah pertama, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, seorang sahabat, sepupu dan menantu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam;dibunuh oleh al-Fasiq Ibnu Muljam, dari kaum Khawarij, di Kufah. Ini juga adalah hasil rentetan hasutan Abdullah bin Saba, Yahudi Yaman itu.

Beberapa Hadits tentang keutamaan Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -:

 

Hadits riwayat Saad bin Abu Waqqash - rodhiollohu ‘anhu -, ia berkata: Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - berkata kepada Ali bin Abu Thalib: “Sesungguhnya kedudukanmu terhadapku adalah seperti kedudukan Harun terhadap Musa, hanya saja tidak ada seorang nabi pun sesudahku.” (Shahih Muslim No.4418)

 

Ini juga adalah hasil rentetan hasutan Abdullah bin Saba, Yahudi Yaman itu.

 

JASA ABDULLAH BIN SABA DALAM MENYEBABKAN HUSAIN BIN ALI DIBUNUH

 

Sebagian umat yang tetap setia kepada Ali yang menyebut dirinya sebagai kaum Syi’ah Ali (pendukung Ali), kemudian mengangkat anak pertamanya, Hasan bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, sebagai Kholifah penerus.

 

Namun, Hasan bin Ali bin Abi Tholib kemudian membuat berkebijakan untuk perjanjian damai dengan Mu’awiyah dengan sejumlah syarat penting yang diajukannya yang mengutamakan kemaslahatan kedamaian umat setelah puluhan-ratusan ribu dari dua golongan Muslim (antara pendukung Hasan dan pendukung Mu’awiyah) telah berhadap-hadapan untuk siap berberperang tumpas tuntas (antara lain disebutkan panjang-lebar di Kitab ”Al Bidayah wan Nihayah” Jilid VII hal 245 tulisan Ibnu Katsir).

 

Ini adalah sebuah langkah yang sungguh luar-biasa demi kemaslahatan umat.

 

Dan beliau pun memilih mundur dari perseteruan tentang pemfitnahan dan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan rodhiyallahu ’anhu itu, yang berujung menjadi perebutan kekuasaan ini, untuk kemudian tinggal di Madinah tanpa terlibat gerakan politik apapun, sampai wafatnya pada tahun 669 Masehi.

 

Kiranya sangat penting untuk dicatat bahwa pendamaian umat oleh cucunya ini, yakni Hasan bin Ali bin Abi Tholib, bahkan telah diramalkan oleh Rosululloh - shollollohu ‘alaihi wasallam - sendiri.

 

Dalam kitab “ash-Shahih” telah diriwayatkan dari Abu Bakrah, demikian pula diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin Abdillah bahwa Rosululloh sholalallahu ’alaihi wasallam bersabda:

 

"Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid, kelak Allah subhanahu wa ta’aala akan mendamaikan dua kelompok besar kaum Muslimiin melalui dirinya."         

 

Maka, Al-Hasan - rodhiollohu ‘anhu -, cucu pertama Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - pun dicatat oleh sejarah, turun jabatan, dan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu'awiyah - rodhiollohu ‘anhu -.

 

Terjadilah, apa yang dikatakan oleh Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dalam Haditsnya ini, termasuk bahwa akan ada 2 pasukan sangat besar dari kaum beriman yang berhadapan akan saling menumpas, juga bahwa akan didamaikan oleh al Hasan – rodhoyollohu ‘anhu - dan sungguh Utusan Tuhan, Rosulullah  - shollollohu ‘alaihi wasallam - adalah Utusan Allah, adalah manusia yang benar, dan dikenal jujur pula bahkan sebelum beliau menjadi Nabi.

 

Allahu akbar!

 

Maka secara praktis, kekuasaan Kekholifahan saat itu dipegang oleh Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu -. Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - kemudian memindahkan pusat Kekholifahannya ke Damaskus, Syria. Terus demikian sampai terdesak oleh kekuatan baru beberapa Abad kemudian oleh Dinasti Bani Abbasiyah dari garis paman Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, Abu Abbas dan berpindah ke Spanyol hingga masa akhir pemerintahan mereka yang diakhiri oleh serbuan Kristen Katolik Spanyol dan Eropa dalam proses Masa Inkuisisi Eropa. 

 

Dan dengan menelaah sejarah, dinamika peristiwa kejayaan dan juga kemunduran dunia Islam yang silih berganti kiranya dapat mulai lebih jelas ditengarai (di antara berbagai sebab lain yang mungkin), katakanlah sejak pada waktu adanya bibit perpecahan di antara pertama, mereka yang kemudian menamakan dirinya golongan Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah (lazim disebut Sunni) dengan golongan Islam yang kedua, yakni golongan Syi’ah Ali (lazim disebut Syi’ah), sesudah masa pemerintahan Khulafahur Rosyidin.

 

Dan apa yang kemudian disebut sebagai masa perang saudara periode Fitnah Kedua, dimulai saat di Kufah sewaktu umat yang setia kepada Kholifah Keempat dari Khulafahur Rosyidin, Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - (Syi’ah Ali) yang sebagian besar tingal di Kufah, mendukung anak kedua Kholifah Ali yakni, Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - untuk menjadi kholifah pengganti Ali (dan dengan sendirinya juga untuk menggantikan Mu’awiyah - rodhiollohu ‘anhu - serta Hasan bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -).

 

Mereka, berhadapan langsung di Karbala dengan pasukan pendukung Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan (Yazid I), anak Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang dipersiapkan Mu’awiyah menjadi Kholifah penggantinya yang memintanya untuk kembali ke Madinah serta mendukung Yazid.

Saat itu, kaum yang mengklaim sebagai Syi’ah (pendukung) Husain - rodhiollohu ‘anhu - penduduk Kufah yang telah diintimidasi oleh gubernur setempat dari Bani Umayyah menarik dukungannya dari Husain, dan tak muncul di Karbala mendukung Husain. Padahal Husain - rodhiollohu ‘anhu - bergerak ke Kufah, karena diberitahu akan adanya dukungan terhadapnya.

 

Tinggallah Husain - rodhiollohu ‘anhu - dan sedikit pendukung serta keluarganya berhadapan dengan pasukan besar suruhan Yazid, dan Husain menolak untuk mundur menyerah serta meyakinkan masyarakatnya akan teladan keluarga Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - pada perjalanan mencari nilai-nilai Islam sejati, dan terus mengingatkan umat akan tugas utama mereka.

 

Husain bin Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu – kemudian meninggal dibantai bersama para pengikutnya, justru karena tak menemukan bantuan yang dijanjikan kaum Syi’ah sendiri yang berjanji berbaiat kepadanya di Iraq yang konon mencapai ratusan ribu orang namun tak menjumpainya di Karbala, yang akhirnya menjadi tempat pembantaian Husain dan pengikutnya.

 

Termasuk juga yang syahid adalah anak-anak Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - lainnya yang di antaranya bernama Abu Bakar, Umar, dan Utsman mengikuti nama-nama para sahabatnya dan sahabat Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - itu. Dan inilah yang kiranya lupa dicermati kaum Syi’ah Rofidhoh, bahwa justru Kholifah Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu – menamai anak-anaknya dengan nama-nama para Sahabat, yang oleh kaum Syi’ah, disebut sebagai musuh-musuh Ahlul Bait, musuh-musuh Kholifah Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ‘anhu.

 

Apakah mungkin seseorang menamai anak-anaknya, dengan nama musuh-musuhnya?

 

Selain dicatat oleh sumber pustaka Ahlus Sunnah wal Jama’ah (misalnya oleh Ibnu Katsir di Al Bidayah wan Nihayah), ini juga dicatat bahkan oleh sumber Syi’ah, antara lain ini dapat ditemukan di:

 

’Alaa Khutha Husain hal 94, Faaji’atu ath Thaff hal 6, Muntaha al Amaal (1 atau 430), Asy Syii’ah wa Asyuura; hal 67 oleh Ridha Husein Shubh Al Huseini, Siiratul Amimmati al Itsna’asyar 2 atau 57-58, Maqtal Husain oleh Al Muqarram hal 147, Ma’saatu Ihda wa Sittiin hal 24, Muntaha al Amaal 1 atau 437, Tadhallum Az Zahra hal 149, Bahru al’Ulum hal 191-192, Muntaha al Amaal 1 atau 466, An Nafsu al Mahmuum hal 177, Muntahaa al Amaal (1 atau 462), Majlisi di Bihaarul Anwar (44 atau 374), Muhsin al Amin dalam Lawaij al AsyHaan hal 67, Abdul Husein al Musawi dalam Al Majaalisal Faakhirah hal 85, Abdul Hadi ash Shalih dalam Khoirul Ashaab hal 37 dan hal 10, ’Ala Khutha Husain hal 130-131.

 

Disebutkan pula bahwa Husain bin Ali bin Abi Tholib, - rodhiollohu ‘anhu -, cucu Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, meninggal paling akhir sambil menggendong bayi laki-lakinya.

 

Dan lihatlah:

 

Saya sedang memangku (Imam) Husain (bin Ali bin Abi Tholib) ketika Nabi – shololollohu ‘alaihi wasallam - datang dan memandangnya sambil menitikkan air mata. Saya bertanya kepada beliau mengapa menangis. Rasululloh – shololollohu ‘alaihi wasallam - mengungkapkan bahwa Jibril telah memberitahunya bahwa para pengikutnya akan membunuh cucunya, Husain – rodhiollohu ‘anhu -. (Hadits Baihaqi meriwayatkan dari Ummu al-Fadhl).

 

Maka sebagian kalangan kemudian berasumsi menyebutnya sebagai pembunuhan terencana oleh Kholifah Yazid bin Mu’awiyah. Namun sebagian lainnya, yang lebih besar dan lebih didasarkan kepada sumber pustakan yang lebih terjaga meyakininya sebagai kesalahpahaman dan ketakjelasan tafsir perintah Kholifah Yazid bin Mu’awiyah terhadap panglimanya dan juga dikisahkan Yazid sangat menyesal dan kemudian bertobat atas ini,  karenanya.

 

JASA ABDULLAH BIN SABA DALAM MENYEBABKAN TIMBULNYA AGAMA SYI'AH

 

Dan dengan rangkaian hasutan Abdullah bin Saba dan komplotannya itu, timbullah agama baru, Syi'ah. Awalnya hanyalah gerakan poltik, dan lama-kelamaan menjadi agama tersendiri.

 

Jumhur ahli bersepakat bahwa Syi’ah ini juga terjadi akibat campur-tangan hasutan ‘Abdullah bin Saba’ (’Abdullah ibnu Saba’), Yahudi Madinah yang berpura-pura masuk Islam dan menghasut-mengacau dari dalam umat, di Abad Pertama Islam pada masa pemerintahan Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -.

 

Adalah ‘Abdullah Ibnu Saba’, yang pertama kali dikenal mengakui Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - sebagai Kholifah, berkedudukan lebih tinggi daripada kesemua Khulafahur Rosyidin yang lain dan bahkan – lebih jauh - sebagai jelmaan Tuhan.

 

Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi berasal dari Shan’a, Yaman yang datang ke Madinah kemudian berpura-pura setia kepada Islam pada masa Khilafah dari Kholifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - padahal dialah yang sesungguhnya mempelopori kudeta berdarah dan melakukan pembunuhan kepada khalifah Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -, dialah juga pencetus aliran Syi’ah yang kemudian mengkultuskan Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -.

 

Kelahiran Syi`ah diawali ketika seorang Yahudi dari Yaman bernama Abdullah Bin Saba muncul dan berpura-pura memeluk Islam, mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi), berlebihan dalam menyanjung Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ‘anhu , dan menda’wahkan adanya wasiat khusus dari Nabi - shollollohu ‘alaihi wasallam - bagi Ali rodhiollohu ‘anhu untuk menjadi Kholifah sepeninggal beliau shollollohu ‘alaihi wasallam, serta pada akhirnya ia mengangkat Ali rodhiollohu ‘anhu  ke tingkat ketuhanan.

 

Ia mentransfer apa-apa yang ditemukannya dalam ide-ide Yahudi ke dalam ajaran Syi`ah, seperti Raj`ah (munculnya kembali Imam), menetapkan sifat bada` bagi Allahyaitu Allahbaru mengetahui sesuatu bila sudah terjadi, para Imam mengetahui hal-hal yang ghaib dan ide-ide lainnya. Ia pernah berkata ketika ia masih menganut agama Yahudi, bahwa Yusha Bin Nun telah mendapat wasiat dari Nabi Musa ‘alaihis salaam, sebagaimana dalam Islam bahwa Ali juga telah mendapat wasiat dari Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam.

 

‘Abdullah Bin Saba telah berpindah-pindah dari Madinah ke Mesir, Kufah, Fusthath dan Basrah, kemudian berkata kepada Ali: “Engkau, Engkau”, maksudnya “Engkau (Ali) adalah Allah”, sesuatu yang mendorong Ali memutuskan diri untuk membakarnya sebagai hukuman, tetapi Abdulloh bin Abbas rodhiollohu ‘anhu menasihatinya agar keputusan itu tidak di laksanakan. Kemudian ia di buang ke Madain.

 

Saif bin Umar at Tamimi mengatakan (lihat Tarikh ath-Thabari, 4 atau 340 dan sesudahnya) bahwa sebab terjadinya pemberontakan beberapa kelompok terhadap Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu - adalah seorang Yahudi bernama ‘Abdullah bin Saba' yang berpura-pura beragama Islam dan pergi ke daerah Mesir untuk menyebarkan idenya sendiri di beberapa kalangan masyarakat.

 

la mengatakan kepada seseorang, "Bukankah ‘Isa bin Maryam akan kembali ke dunia?" Jawab orang itu, "Ya!" la berkata lagi, "Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - lebih baik daripada ‘Isa. Apakah kamu mengingkari bahwa beliau akan kembali ke dunia sementara beliau lebih mulia dari pada ‘Isa bin Maryam?", kemudian ia berkata, "Beliau telah memberikan wasiatnya kepada Ali bin Abi Tholib. Muhammad Nabi terakhir dan Ali penerima wasiat yang terakhir. Berarti Ali lebih berhak untuk menjabat sebagai kholifah dari pada Utsman bin Affan dan Utsman telah merampas hak yang bukan miliknya." 

 

Demikian dicatat di Kitab “Al Bidayah wan Nihayah”.

 

Di antara isu-isu yang disebarkan oleh ‘Abdullah bin Saba’ untuk memecah belah Umat Islam pada saat itu antara lain:

 

1.        Bahwa Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - telah menerima wasiat sebagai pengganti Rosululloh sholollohu ‘alaihi wa sallam. (An Naubakhti , firaq As Syi’ah, hal. 44)

2.        Bahwa Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan, rodhiollohu ‘anhum, adalah orang-orang zalim, karena telah merampas hak khilafah Ali - rodhiollohu ‘anhu - setelah wafatnya Rosululloh shalollohu ‘alaihi wa sallam. Umat Islam saat itu yang membai’at ketiga khilafah tersebut dinyatakan kafir. (An Naubakhti, op cit, hal. 44)

3.        Bahwa Ali bin Abi Thalib - rodhiollohu ‘anhu - adalah pencipta semua mahluk dan pemberi rezeki. (Ibnu Badran, Tahdzib al Tarikh al Dimasyq, Juz VII, hal. 430)

4.        Bahwa Rosululloh Muhammad shollollohu ‘alaihi wasallam akan kembali lagi ke dunia sebelum hari Kiamat, sebagaimana kepercayaan akan kembalinya Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam (Ibnu Badran, op cit, juz VIII, hal. 428)

5.        Bahwa Ali - rodhiollohu ‘anhu - tidak mati, melainkan tetap hidup di angkasa. Petir adalah suaranya ketika marah dan kilat adalah cemetinya. (Abdullah Al Thahir Ibnu Muhammad Al Baghdadi, Al Firaq Baina Al Firaq, hal. 234)

6.        Bahwa ruh Al Quds berinkarnasi ke dalam diri para Imam Syi’ah. (Al Bad’u wa Al Tarikh, juz V, hal. 129, th 1996)

7.        Dan lain-lain

 

Dapat ditambahkan pula bahwa Abu Muhammad  al Hasan Ibnu Musa An Naubakhti, seorang ulama Syi’ah yang terkemuka, di dalam bukunya  “Firaq As Syi’ah” hal. 41-42 mengatakan bahwa Ali – rodhiollohu ‘anhu - pernah hendak membunuh Abdullah bin Saba’ karena fitnah dan kebohongan yang disebarkan, yakni menganggap Ali sebagai tuhan dan mengaku dirinya sebagai Nabi, akan tetapi tidak jadi karena tidak ada yang setuju.

 

’Abdullah bin Saba’ sendiri justru kemudian dihukum mati oleh Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - namun melarikan diri ke Qarqisita. Ini dapat dilihat di Kitab Al Bidayah wan Nihayah dan Al Aqidah ath-Thohiriyah halaman 488.

Pengikutnya bahkan ada yang menyatakan bahwa Ali rodhiyallahu ’anhu adalah jelmaan Tuhan.

 

Namun beberapa kalangan Syi’ah - bahkan berkeras - mengatakan bahwa ’Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif. Di Indonesia, M. Hashem (sebagian orang mengatakan ia adalah O. Hashem) antara lain adalah satu di antaranya, dan ini ia tuliskan dalam bukunya yang berjudul “Abdullah bin Saba’ Benih Perpecahan Ummat” yang diterbitkan oleh YAPI, Bandar Lampung.

 

Ini adalah saduran dari buku yang berjudul “Abdullah bin Saba’” yang ditulis oleh Murtadha Al Askari, seorang imam Syi’ah yang bermukim di Irak.

 

Menurutnya:

 

1.        Seluruh berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ yang ditulis dalam buku-buku sejarah baik oleh Ibnu Katsir, Ibnu Atsi, Ahmad Amin, Nicholson, Wehausen maupun yang lainnya, mengutip dari buku sejarah tulisan Ath Thabari.

2.        Sedangkan Ath Thabari memperoleh berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ melalui jalur Saif bin Umar At Tamimi.

3.        Padahal Saif bin Umar At Tamimi dikenal sebagai perawi yang lemah, suka berdusta dan tidak bisa dipercaya. Demikian menurut ahli-ahli hadits seperti Ibnu Hajar, Ibnu Hibban, Al Hakim, nasa’i dan lain-lain.

 

Oleh karena itu, menurut M. Hasem, berita tentang ‘Abdullah bin Saba’ yang ditulis dalam buku sejarah dengan mengambil sumber buku Ath Thabari tak dapat dipercaya, karena dalam setiap jalur riwayat (sanad) yang diambil oleh Ath Thabari, terdapat Saif bin Umar At Tamimi yang tak dapat dipercaya.

 

Begitulah kata M. Hashem (lihat skema di halaman 81). Dan buku tersebut ternyata ada juga pengaruhnya di kalangan intelektual - kiranya yang kurang tahu atau tidak berpendirian kuat - di Indonesia seperti pada mendiang Nurcholis Majid (sebagaimana di tulisannya di majalah Tempo, 19 Desember 1987, hal. 102) atau yang serupa dengannya dan mereka yang tidak mempunyai pengetahuan cukup tentang sejarah Islam.

 

Sebenarnya yang mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif, sudah agak lama juga muncul.

 

Pendapat tersebut dipelopori oleh para Orientalis dan dikembangkan oleh Murtadha Al Askari, seorang tokoh Syi’ah pertengahan abad XX yang berasal dari Iraq itu. Kemudian diikuti oleh; Dr. Kamal Asy-Syibi, Dr. Ali Al-Wardi (keduanya murid orientalis dari Iraq). Dr. Thaha Husein, Dr. Muhammad Kamil Husein, Thalib Al Husein, Al Rifa’i (murid-murid orientalis dari mesir), Muhammad Jawad Al mughniyah, Dr. Abdullah Fayyah (murid-murid orientalis dari Libanon).

 

Maka mengenai ini, benarlah bahwa Saif bin Umar At Tamimi memang dinyatakan lemah, dan tidak dapat dipercaya oleh para ‘Ulama Ahlul Hadits. Akan tetapi ini dalam masalah yang ada hubungannya dengan hukum Syari’ah, Hadits, dan sama-sekali bukanlah dalam bidang Sejarah.

 

Yang mereka lemahkan adalah kualitas periwayatan haditsnya. Artinya, jika Saif bin Umar At Tamimi meriwayatkan hadits, kualitas periwayatan haditsnya lemah.

 

Namun dalam masalah Sejarah, maka beliau, Saif At Tamimi, justru dapat dijadikan sandaran dan rujukan dengan kualitas baik.

 

Dan perkara Syi’ah jelas adalah perkara Sejarah dan Politik, tentu saja, utamanya.

 

Imam Adz-Dzahabi yang juga adalah ‘ulama yang Syi’ah jadikan rujukan untuk melemahkan Saif bin Umar At-Tamimi juga berkata dalam kitabnya Mizanul I’tidal 2/ 255, “Ia (Saif bin Umar) adalah pakar sejarah yang paham.”

 

Jaminan kedudukan baik Saif bin Umar at Tamimi sebagai rujukan sejarah ini antara lain dinyatakan oleh Ibnu Hajar - yang beliau ironisnya termasuk ‘ulama Sunni yang Syi’ah jadikan rujukan untuk melemahkan kedudukan Saif bin Umar At-Tamimi dalam perkara ‘Abdullah bin Saba’ itu - dalam kitabnya Tahdzibut Tahdzib 1/408 dan Taqribut Tahdzib 1/408, sebagaimana berikut:

 

“Saif bin Umar At-Tamimi pengarang kitab Ar-Riddah, ada yang mengatakan dia Adh-Dhabi ada yang mengatakan selainnya, Al-Kufi Dha’if haditsnya, (akan tetapi) Umdah (bisa dijadikan sandaran) dalam bidang tarikh/sejarah.”

 

Demikian pula Syaikh Al-Mubarakfuri yang juga terkenal sebagai salah satu penulis Sirah Nabawiyyah atau Sejarah-Biografi Nabi dari berbagai buku Sirah Nabawiyyah dalam kitabnya Tuhfatul Ahwadzi 10/249 menyebutkan seperti ucapan Ibnu Hajar di atas.

Umar Kahalah dalam kitabnya Mu’jamul Muallifin 4/288 juga mengatakan:

 

“Saif bin Umar At-Tamimi Al Burjumi, Ahli sejarah berasal dari Kufah.”

 

Dan lagipula, berita tentang adanya Abdullah bin Saba’ tidak hanya melalui jalur Saif bin Umar At Tamimi saja. Malah Abu Amr Muhammad ibnu Umar Al izz Al Kasyi (imam hadits dari kalangan Syi’ah sendiri) meriwayatkan Abdullah bin Saba’ melalui 7 jalur, dan ini tanpa melalui jalur periwayatan Saif bin Umar At tamimi, yang dianggap mereka lemah tak cukup dapat dipercaya itu.

 

Periwayatan adanya ‘Abdullah bin (ibnu) Saba’, yang tanpa jalur periwayatan dari Saif bin Umar At Tamimi itu yaitu:

 

1.        Dari Muhammad ibnu Kuluwaihi Al Qummy dari Sa’ad ibnu Abdullah ibnu Abi Khalaf, dari Abdurrahman ibnu Sinan, dari Abdu Ja’far A.S.  Al Kisyi juga mengemukakan hal yang sama dalam bukunya Rijalul Kisyi hal 106-108 (Rijal Al Kasyi, tepatnya halaman 107). Dalam buku Al Maqolat wal Firoq halaman 10-21, Al Qummi mengakui keberadannya dan menganggap Ibnu Saba’ sebagai orang pertama yang mengatakan bahwa nabi telah mewasiatkan kepada Ali untuk menjadi imam , bahwa Ali akan kembali lagi ke dunia setelah wafat, dan orang pertama yang memulai mencela dan memaki Abu Bakar, Umar, Utsman dan seluruh sahabat nabi. Hal ini seperti dikemukakan Naubakhti dalam bukunya Firoqusyi’ah hal 19-20.

2.        Dari Muhammad ibnu Kuluwaihi, dari Sa’ad ibnu Abdillah dari Ya’qub ibnu Yazid dan Muhammad ibnu Isa, dari Abu Umair, dari Hisyam Ibnu Salim dari Abu Abdillah A.S. (Rijal Al Kasyi, halaman 107).

3.        Dari Muhammad ibnu Kuluwaihi, dari Sa’ad ibnu Abdillah dari Ya’qub ibnu Yazid dan Muhammad ibnu Isa dari Ali ibnu Mahzibad, dari Fudhallah ibnu Ayyud Al Azdi, dari Aban ibnu Utsman dari Abu Abdillah A.S. (Rijal Al Kasyi, halaman 107).

4.        Dari Ya’qub ibnu Yazid, dari Ibnu Abi Umair dan Ahmad ibnu Muhammad ibnu Isa dari Ayahnya dan Husein Ibnu Sa’id, dari Ibnu Abi Umair, dari Hisyam ibnu Salim, dari Abu Hamzah Ats Tsumali, dari Ali ibnu Husein. (Rijal Al Kasyi, halaman 108).

5.        Dari Sa’ad ibnu Abdillah, dari Muhammad ibnu Khalid Ath Thayalisi, dari Abdurrahman ibnu Abi Najras, dari Ibnu Sinan, dari Abu Abdillah A.S. (Rijal Al Kasyi, halaman 108).

6.        Dari Muhammad ibnu Al Hasan, dari Muhammad Al Hasan Ash Shafadi, dari Muhammad ibnu Isa, dari Qasim ibnu Yahya, dari kakeknya Al Hasan ibnu Rasyid, dari Abi Bashir, dari Abu Abdillah A.S. (Al Shaduq, Ila Al Syara’i’I, cetakan ke II, halaman 344).

7.        Dari Sa’ad ibnu Abdillah, dari Muhammad Isa ibnu Ubaid Al Yaqthumi, dari Al Qasim ibnu Yahya, dari kakeknya Al Hasan Ibnu Rasyid, dari Abi Bashir dan Muhammad ibnu Muslim, dari Abi Abdillah A.S. (Ash Shaduq, Al Khisal, cetakan tahun 1389 H, halaman 628).

 

Demikianlah, yang justru dari kalangan Syi’ah sendiri.

 

Adapun dari kalangan Sunni, Al Hafiz Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam bukunya “Lisan al Mizan” (jilid III, halaman 289-290, cetakan I, tahun 1330 H) meriwayatkan tentang Abdullah bin Saba’ melalui enam jalur, yang juga tanpa melalui jalur periwayatan dari Saif bin Umar At Tamimi itu. Yaitu:

 

1.        Dari Amr ibnu Marzuq, dari Syu’bah, dari Salamah ibnu Kuhail, dari Zaid ibnu Wahab, dari Ali bin Abi Thalib - rodhiollohu ‘anhu -

2.        Dari Abu Ya’la Al Muslihi, dari Abu Kuraib, dari Muhammad ibnu Al Hasan Al Aswad, dari Harun ibnu Shahih, dari Al Harits ibnu Abdirrahman, dari Abu Al Jallas, dari Ali bin Abi Thalib. - rodhiollohu ‘anhu -

3.        Dari Abu Ishaq al Fazari ibnu Syu’bah, dari Salamah ibnu Kuhail, dari Abu Zara’i’i dari Yazid ibnu Wahab.

4.        Dari Al Isyari dan Al Alka’i dari Ibrahim, dari Ali. - rodhiollohu ‘anhu -

5.        Dari Muhammad ibnu ‘Utsman Abi Syaiban, dari Muhammad ibnu Al  Ala’i, dari Abu Bakar Ayyash, dari Mujalid, dari Asy Sya’bi.

6.        Dari Abu Nu’aim, dari Ummu Musa (Yusuf Al Kandahlawai, hayatus shahabah).

 

Berdasarkan 13 riwayat yang sama-sekali tidak melalui Saif bin Umar At Tamimi ini (baik dari ‘ulama Syi’ah maupun ulama ‘Sunni), maka alasan mereka yang hendak menghilangkan figur Abdullah bin Saba’ dari catatan Sejarah, tentu saja sama-sekali tidak dapat dipertahankan.

 

Maka Abdullah bin Saba’ jelaslah bukan tokoh fiktif.

 

Pada Abad pertama Islam, ajaran Syi’ah masih terbatas pada pengutamaan Kholifah Keempat Ali - rodhiollohu ‘anhu - terhadap Kholifah Keempat Utsman (dinyatakan oleh Imam Sya’bi dan Ja’far Ash Shadiq) rodhiollohu ’anhu.

 

Lama kelamaan ini berkembang menjadi madzhab tersendiri bahkan gerakan makar yang tak mau mengakui keKholifahan Kholifah Pertama Abu Bakar As Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, Kholifah Kedua Umar bin Khoththob - rodhiollohu ‘anhu -, dan Kholifah Ketiga Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -, bahkan mengkafirkan ribuan sahabat Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam lain.

 

Bahkan Syi’ah ini menjadi agama tersendiri yang lain daripada Islam.

 

Termasuk karenanya menjadi bahkan tak mempercayai Hadits-hadits yang diriwayatkan oleh mereka, yang kemudian tentunya termasuk tak mempercayai bahkan mengkafirkan muslim pengikutnya (yang kemudian jamak disebut sebagai kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Sunni atau Al Ghuroba’ atau Ath Thoifatul Manshuroh atau Al Firqotun Najiyah dan sebagainya itu).

 

Syi’ah karenanya lebih mempercayai Hadits dan ajaran yang dibawa oleh imam mereka sendiri, yang sayangnya ternyata banyak yang tak melalui verifikasi Hadist yang ketat.

 

Dan karenanya, terutama kaum atau sekte ekstrem dari Syi’ah juga menganggap Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai golongan Nawashib atau golongan yang membenci Ahlul Bait, satu hal yang tentu saja sangat tak masuk akal dituduhkan kepada kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah, setidaknya karena jelas kaum ini menuruti Hadits, dan salah satu Hadits menyuruh muslim untuk mencintai kaum Ahlul Bait atau keturunan dari Rosulullah shollollohu ‘alaihi wasallam.

 

Dan karenanya, terutama kaum atau sekte ekstrem dari Syi’ah juga menganggap Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Sunni) sebagai golongan Nashibi Nawashib atau golongan yang membenci Ahlul Bait, satu hal yang tentu saja sangat tak masuk akal dituduhkan kepada kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah, setidaknya karena jelas kaum ini menuruti Hadits, dan salah satu Hadits menyuruh muslim untuk mencintai kaum Ahlul Bait atau keturunan dari Rosulullah shollollohu ‘alaihi wasallam.

 

Dan begitu banyak hadits yang diriwayatkan Ahlul Bait dengan standar verifikasi yang ketat dan benar, ada di khazanah buku-buku Ahlus Sunnah, dan dilaksanakan Ahlus Sunnah. Lain dengan klaim Syi’ah bahwa mereka mengajarkan ajaran Rosululloh shollollohu ’alaihi wasallam dan Ahlul Bait, namun berdasarkan hadits atau ajaran palsu yang sanadnya tak sampai ke Rosululloh shollollohu ’alaihi wasallam dan para Ahlul Baitnya.  

 

Yang terbesar dari semua golongan kaum Syi’ah adalah yang disebut sebagai kaum Syi’ah Rofidhoh.Kata “Rofdh” secara bahasa memiliki makna menolak. (“Qamus A Muhith”, Fairuz Abadi 2 atau 332,“ Ibnu Faris 2 atau 422.) karena mereka tak sejalan dengan Imam Syi'ah mereka - keturunan Ali RA yang mereka jadikan imam - yang justru tak mau memaki para Sahabat.

 

Rofidhoh secara istilah bermakna, sebuah firqoh(kelompok) yang menyatakan diri mendukung dan mencintai ahlul bait dari Rosulullah  - shollollohu ‘alaihi wasallam - dengan memusuhi Abu Bakar dan Umar serta Utsman rodhiollohu ‘anhu (padahal mereka adalah mertua, dan menantu dan masih kerabat Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam dan dijamin Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam masuk Surga dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah) serta para sahabat rodhiollohu ‘anhum kecuali beberapa orang sangat sedikit darinya, mengkafirkan mereka, dan mencela, memaki, memusuhi para sahabat rodhiollohu ‘anhum, ribuan darinya.

 

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulloh berkata bahwa golongan Syi’ah Rofidhoh adalah mereka yang memusuhi sahabat nabi shollollohu ‘alaihi wasallam, yang memaki-maki dan menghina mereka (“Tobaqot A Hanabilah Ibn Abi Ya’la” 1 atau 33).

 

Anak beliau, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, "Aku bertanya kepada ayahku (Imam Ahmad bin Hanbal) tentang Rofidhoh maka dia menjawab bahwamereka adalah yang memaki Abu Bakar dan Umar." (Riwayat Al Khollal dalam kitab “As S no 777 dengan sanad sohih menurut peneliti kitab tsb).

 

Imam Abu Qosim Attaimiy yang dijuluki “Pembela Sunnah”, berkata tentang Rofidhoh, bahwa, "mereka adalah yang memaki Abubakar dan Umar rodhiollohu ‘anhuma, semoga Allah meridhoi mereka berdua dan para pecinta mereka berdua" (“Al Hujjah fi B“ 2 atau 478). Tidak ada kelompok lain selain Rofidhoh yang mencela Abu Bakar dan Umar.

 

Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah kemudian berkata, "Hanya Rofidhoh yang memusuhi dan melaknat Abu Bakar dan Umar, tidak ada selain mereka yang membenci kedua sahabat tersebut." (“Majmu’ Fatawa” 4 atau 435)

 

Dalam literatur Rafidhoh telah dijelaskan bahwa cinta kepada Abubakar dan Umar adalah batasan yang membedakan mereka dengan kelompok lain yang mereka sebut sebagai Nawasib. Darrazi meriwayatkan dari Muhammad bin Ali bin Musa, "Aku menulis surat kepada Ali bin Muhammad Alaihi (Abul Hasan  Ali Al Hadi bin Muhamad Al Jawad yang adalah salah seorang Imam Syi’ah) tentang masalah mengenai Nasibi, apakah perlu untuk mengujinya atau mengetahuinya dengan lebih jauh dari sekedar mendahulukan Jibt dan Toghut (yang dimaksud adalah Abubakar dan Umar, disebutkan dalam tafsir Al Ayyasyi 1 atau 246 dalam keterangan Al Quran surat Annisa’ ayat 51) daripada Ali dan meyakini bahwa mereka berdua adalah Imam? Maka beliau menjawab bahwa siapa saja yang begitu berarti nasibi” karangan Muhamad A Asfur Addarrozi hal. 145).

 

Sementara itu kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa sebab mereka disebut Rofidhoh adalah karena mereka menolak Zaid bin Ali yang tak mau ikut membenci para Sahabat, dan keluar dari tentaranyasetelah sebelumnya mereka adalah tentara Zaid bin Ali saat beliau memberontak kepada Kholifah Hisyam bin Abdul Malik tahun 121 Hijriyyah setelah mereka mengumumkan permusuhan terhadap Abubakar dan Umar lalu dilarang oleh Zaid.

Abul Hasan Al Asy’ari berkata, ”Zaid bin Ali berpendapat bahwa Ali adalah sahabat yang paling utama dan berpendapat boleh memberontak kepada pemerintahan yang zolim serta mencintai Abubakar dan Umar. Setelah muncul orang yang memaki Abu Bakar dan Umar di kalangan tentaranya maka dia memarahi mereka. Lalu sebagian tentaranya menolak perkataan Zaid dan memisahkan diri dari kelompoknya lalu Zaid berkata, "Kalian telah menolakku (rofadhtumuunii), maka dikatakan bahwa mereka disebut sebagai Rofidhoh karena perkataan zaid di atas” (“Maqolatul Islamiyiin” 1 atau 137).

 

Qowamussunah (Alhujjah fi bayanil mahajjah 2/478Arrozi I’tiqod Firoqul Muslimin wal Musyrikin ), Syihristani (Al Milal wannihal 1/155), Ibnu Taymiyyah (Minhajussunnah 1/8 Majmu’ Fatawa 13/36) juga berpendapat demikian.

 

Sementara itu Abul Hasan Al Asy’ari memiliki pendapat lain, yaitu mereka disebut Rofidhoh karena mereka menolak kepemimpinan Abubakar dan Umar – rodhiollohu ‘anhu - [Maqolatul Islamiyin 1/89].

 

Kaum Rofidhoh sangat tidak senang dengan sebutan ini dan berpendapat bahwa julukan ini (rofidhoh) adalah sebutan yang berasal dari musuh mereka.

 

Muhsin Al Amin berkata “Rofidhoh adalah ejekan kepada mereka yang mengutamakan Ali bin Abi Tolib dalam khilafah dan kebanyakan digunakan untuk ejekan” (A’yanu Syi’ah 1/20).

 

Dan Syi’ah Itsna asy Asy’ariyah (12 Imam) yang sekarang berkuasa di Iran, tentulah saja biasanya termasuk Rofidhoh ini. Karena menolak Abu Bakar dan Umar, dan bahkan keluar dari petunjuk Zaid bin Ali - imam mereka sendiri - untuk tidak membenci para Sahabat.  

 

Pokok-pokok ajaran Syi’ah adalah (sejak Abad pertama Islam dan dengan segala perkembangannya):

IMAM: Imam sesudah Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - adalah Ali bin Abi Tholib rodhiollohu ‘anhu, bukan Abu Abakar Ash Shiddiq rodhiollohu ‘anhu.ALI ADALAH ISTIMEWA: Keyakinan akan keutamaan bahkan sebagian darinya menyebut akan kejelma-tuhanan Kholifah ’Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu -, yang dideklarasikan ‘Abdullah ibnu Saba’ dan pengikutnya (yang pengikutnya akhirnya dihukum mati oleh Kholifah Ali - rodhiollohu ‘anhu - sendiri namun ’Abdullah bin Saba’ melarikan diri) sebagai sekte paling ekstrem dari Syi’ah, yakni Ghulat atau Ghula’iyyah, dan aksi disebut-sebut sebagai cikal-bakal Syi’ah, walau berbagai sekte Syi’ah generasi berikutnya tak lagi sampai menuhankan .Keyakinan pengutamaan Ali - rodhiollohu ‘anhu - terhadap Abu Bakar - rodhiollohu ‘anhu - dan Umar - rodhiollohu ‘anhu - (yang  Ali - rodhiollohu ‘anhu - sendiri  memutuskan hukuman cambuk kepada kaum yang meyakininya).AHLUS SUNNAH ADALAH HINA: Di antara keyakinan orang Syi’ah adalah pengharaman bermuamalat dengan Ahlus Sunnah wal Jama’ah kecuali dengan bentuk taqiyyah, melaknat kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang telah wafat, dan dilarang membayar zakat kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah (lihat ”Haqiqah as-Syi’ah Hatta la Nankhadi” karya ‘Abdullah al-MusiliIMAM SYI’AH ADALAH ISTIMEWA: Keyakinan bahwa  Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - dan para Imam mengetahui rahasia ghaib masa lalu dan akan datang (di Kitab Syi’ah Al Kafi Jilid I hal 261), Imam mereka ma’shum (suci dari dosa dan tak dapat berbuat salah) bahkan dapat menentukan waktu kematian mereka (di Kitab Syi’ah ”Al Kafi” Jilid I hal 258), dapat menghidupkan orang mati (di ”Kitab ’Uyun al Mu’jizat”, hal 28), semua makhluk diciptakan untuk para Imam (Kitab ”’Ilm al-Yaqin fi Ma’rifati Ushul ad-Din”, Jilid II, hal 597).

Para Imam yang telah wafat akan hidup kembali sebelum Hari Kiamat untuk membalas dendam kepada para perampas hak keKholifahan muslim (Kholifah Pertama Abu Bakar As Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, Kholifah Kedua Umar bin Khottob - rodhiollohu ‘anhu -, dan Kholifah Ketiga Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -). Syi’ah percaya kepada kaidah ”Ar-Raj’ah” atau kembalinya roh-roh ke jasad masing-masing (reinkarnasi a la Syi’ah) di dunia sebelum Kiamat saat Imam Mahdi ghaib mereka keluar dari persembunyiannya dan menghidupkan Ali - rodhiollohu ‘anhu - dan anak-anaknya untuk membalas dendam. Mengenai Raj’ah ini dapat dilihat di ”Firaq al-Islamiyah” halaman 207-208.

TASYAYYU: Keyakinan untuk mencaci maki, menghujat, dan membenci (tasyayyu’) para sahabat Nabi  - shollollohu ‘alaihi wasallam - (terutama Abu Bakar Ash-Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -, Umar bin Khottob - rodhiollohu ‘anhu -, dan Utsman bin Affan - rodhiollohu ‘anhu -) dan keluarganya termasuk istri Rosululloh shollollohu ‘alaihi wasallam, ‘Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq - rodhiollohu ‘anhu -

Antara lain disebutkan di ”Dirasat Fil Ahwa’ wal Firaq wa Mauqifus Salah Minha” hal 237, oleh DR Nashir bin Abdul Karim, juga Ash-Shafy dalam Tafsir Al Quran Jilid V, hal 28, ”Ni’matullah al-Jazairy” dalam kitab Al-Anwar an-Nu-maniyah Jilid I hal 53, dan 63, laluZainudin al-Bayadhy di Kitab ”Ash-Shirath al-Mustaqim ila Mustahiq at-Taqdim” Jilid II hal 30, dan 129, kemudian Al-Majlisy dalam Kitab ”Bihaar al-Anwar” Jilid XXX hal 237 dan di ”Mir’ah al-”Uqul” halaman 488, serta di dalam Kitab ”Tafsir al’Iyasi” (1/21), al-Barahan (2/208), dan ”ash-Shafi” (1/242).

TUHAN AHLUS SUNNAH BUKAN TUHAN SYI’AH: Syi’ah beranggapan Tuhan dari kaum Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah berbeda dari tuhan mereka (Kitab ”Al Anwar An-Nu’maniyah”, Jilid I, hal 278 karangan Ni’matullah al-Jazairy) dan orang-orang dari golongan Rafidhoh mereka (yang sekarang mendominasi Syi’ah), mengkafirkan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Kitab ”Minhaj an-Najah” hal 48 karangan Al-Faidl al KasyanyPARA SAHABAT NABI MURTAD: Syi’ah meyakini bahwa para sahabat - rodhiollohu ‘anhu - sepeninggal Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - menjadi murtad, kecuali Al Miqdad bin Al Aswad, Abu Dzar Al Ghifari, dan Salman Al Farisy (disebutkan di kitab Syi’ah, Ar-Raudhah minal Kafi, Juz VIII hal 245 dan Al-Ushul minal Kafi, Juz II hal 244).RUKUN IMAN SYI’AH: Rukun Imannya adalah:Tauhid (keesaan Allah), Al ’Adl (keadilan Allah), Nubuwwah (kenabian), Imamah (keimaman), Ma’ad (hari kebangkitan dan pembalasan) yang disebutkan di Al ’Aqaidatul Imamiyah olehMuhammad Ridho MudzaffarRUKUN ISLAM SYI’AH: Dan rukun Islamnya: Shalat, Zakat, Puasa, Haji, Wilayah (perwalian)TAQIYYAH: Syi’ah menggunakan senjata Taqiyyah (berbohong) dengan cara menampakkan sesuatu yang berbeda, untuk mengelabui lawannya (termasuk Ahlus Sunnah wal Jama’ah), bahkan dengan makar, tipu muslihat dan permusuhan. Sesuatu yang amat serupa dengan taktik Yahudi.AL BADA’: Syi’ah percaya akan (kaidah) ”Al Bada’” yakni bahwa baru tampak bagi Allah akan keimaman Ismail (anak Ja’far Ash-Shadiq, imam ketujuh Syi’ah) setelah sebelumnya tidak. Allah dapat salah, namun Imam adalah ma’shum.SEKS BEBAS BERKEDOK NIKAH MUT’AH: Syi’ah membolehkan melakukan Nikah Mut’ah (nikah atau hubungan seks kontrak berjangka waktu tertentu yang  disepakati tak untuk selamanya yang pelaksanaannya sangat berbeda persyaratannya dengan pernikahan biasa, bahkan dapat telah ditentukan waktu cerainya sebelum menikah. Dan dapat dilakukan berulang-kali dengan orang yang sama setelah 'cerai', bahkan dengan istri orang. 

Antara lain disebutkan di ”Tafsir Minhajus Shodiqin”, Juz II, hal 493) yang telah diharamkan oleh Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - sendiri yang bahkan diriwayatkan oleh Ali bin Abi Tholib - rodhiollohu ‘anhu - sendiri selain para sahabat lain, di berbagai Hadits. Bahkan menurut mereka Mut’ah adalah pengganti larangan minuman khamr (disebutkan di ”Ar-Raudhah min al-Kafi” halaman 151 dan ”Wasa’il asy-Syi’ah” (14/438) dan bagi yang tak pernah melakukan mut’ah, akan datang pada hari Kiamat dengan tangan dan kaki yang putus, serta bahwa yang melakukan mut’ah sebanyak empat kali maka sama derajatnya dengan derajat Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - (disebutkan di ”Manhaj ash-Shodiqin” halaman 356 karya Fathullah al-Kasani).

 

“Mut’ah itu adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Yang mengamalkannya, mengamalkan agama kami dan yang mengingkari nya mengingkari agama kami, bahkan ia memeluk agama selain agama kami. Dan anak dari mut’ah lebih utama dari pada anak istri yang langgeng. Dan yang mengingkari mut’ah adalah kafir murtad.” (Tafsir Manhaj Asshadiqin Fathullah Al-Kasyani hal.356) “’Barangsiapa melakukan mut’ah sekali dimerdekakan sepertiganya dari api neraka, yang mut’ah dua kali dimerdekakan dua pertiganya dari api neraka dan yang melakukan mut’ah tiga kali dimerdeka kan dirinya dari neraka.” Ayatullah Khomeini juga berkata: “Semua bentuk menikmati, seperti meraba dengan penuh syahwat, memeluk, dan adu paha boleh walaupun dengan bayi yang sedang menyusui”. Tahrirul Wasilah 2/216.

ZIARAH KUBUR LEBIH BAIK DARIPADA HAJI: Ziarah ke makam Imam Husain adalah lebih utama daripada Haji ke Baitullah (Kitab Wasail asy-Syi’ah, karangan Al-Hurr al-Amily, Jilid I, hal 371).AL QURAN ITU PALSU: Al Quran yang sesungguhnya yang ditulis oleh Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ’anhu menurut kaum Syi’ah akan dibawa Imam Mahdi versi Syi'ah- yang sedang bersembunyi sejak lahir ratusan tahun lalu - pada akhir jaman nanti (”Ma Ba’da azh-Zhuhur” halaman 637 yang ditulis Muhammad Shadiq ash-Shadr dan ”Yaum al-Khalash” halaman 373 serta Kitab al-Ghaibah halaman 318) dan bahwa Al Quran telah diubah (lihat ”Al Fashl fi al-Ahwa’ wa al-milal wa an-Nihal” 5/182 dinukil dari al-Jama’at al Islamiyyah oleh Salim al-Hilali halaman 246).IMAM MAHDI: Perbedaan keyakinan akan Imam Mahdi:

Mahdi bagi Ahlus Sunnah Al Jama’ah bernamaMuhammad bin ‘Abdullah (keterangan dari Hadits Rosululloh  - shollollohu ‘alaihi wasallam - riwayat Sunan Abu Dawud dan At-Tirmidzy, dishahihkan olehAl Albani dalam Myskat al Mashabih). Beliau dari keturunan Hasan bin Abi Thalib, belum dilahirkan, muncul dari arah Timur, memenuhi Bumi dengan keadilan (Shahih Sunan Abu Dawud 4/82) dan kesejahteraan selama 7 atau 8 tahun, menegakkan syari’at Islam, memakmurkan Bumi (Bumi mengeluarkan tetumbuhan, langit menurunkan hujan, ada harta-benda yang banyak, banyak binatang ternak, umat semakin mulia). Beliau memerangi Yahudi dan Nasrani dan beserta Nabi ‘Isa ’alaihis salaam akan membunuh Dajjal.

 

Sedangkan Imam Mahdi Syi’ah adalah Muhammad bin Hasan Al Asykari. Dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Tholib, yang telah dilahirkan tahun 255 Hijriyyah dan sampai sekarang masih hidup namun bersembunyi (Kitab ”Al-Ghummah” Jilid II, hal 236, oleh Al-Arbalydan dikuatkan Syaikh mereka Abdul Hamid Al-Muhajir), muncul dari Sirdab Samira’, akan tinggal di Bumi selama 70 tahun untuk membalas dendam, menegakkan hukum keluarga Dawud (Bani Israil), akan menyeru ke Allah dengan nama Ibraninya (Kitab ”Ushul Al Kafi” Jilid I, hal 398), menghancurkan semua Masjid (Kitab ”Al Gharib” hal 247 oleh Ath-Thusy). Ia berdamai dengan Yahudi dan Nasrani, dan menghalalkan darah muslim (Kitab ”Bihar al-Anwar”Jilid 52 hal 376). Doktrin Mahdiyah (perihal al-mahdi) dan Raj’ah (kedatangan kembali) dihubungkan dengan status Imam Mastur (bersembuyi) yang dipercaya akan muncul kembali sebagai Mahdi yang membangun kerajaan Allah menjelang hari Kiamat kelak. Ajaran ini bagi sebagian kalangan ditengarai memiliki akar dalam ajaran agama Zarathustra/Zoroaster (Majusi) penyembah Iblis Lucifer-Api, yang dianut bangsa Persia sebelum kedatangan Islam yang datang ke Persia pada masa Kholifah Umar bin Khoththob - rodhiollohu ‘anhu -. ‘anhu -.

 

Satu hal yang mengherankan, apakah Sunni tidak harus dan patut mencintai Ahlul Bait sedangkan ini bagian dari akidah Sunni?

 

Mengapa sampai dikesankan demikian? Padahal jumlah hadits dari dan tentang kaum Ahlul Bait dalam kitab-kitab Sunni amat-sangat lebih banyak daripada di kitab-kitab Syi’ah?

 

Dan ini pun dengan kualitas hadits yang terjaga verifikasinya? Berbeda dengan yang ada di kitab-kitab Syi’ah?

 

Dan hadits-hadits itu pun dijalankan oleh Sunni.

 

Mengapa Syi’ah berusaha menonjolkan klaim mereka akan ’kecintaan kepada Ahlul Bait’ ini sebagai ciri khas mereka, padahal Keduabelas Imam mereka tidak berusaha membenci dan menyebarluaskan kebencian terhadap Sahabat Nabi, yang sebenarnya juga adalah Ahlul Bait, dan mereka pun saling berkerabatan?

 

Padahal mereka saling berbesan? Saling bermenantu? Saling bermertua?

 

Dan ini termasuk Rosululloh shollollohu ’alaihi wasallam yang mulia sendiri, yang demikian?

 

Maka sungguh, kaum Syi’ah, berlindung di balik klaim kecintaan terhadap Rosululloh shollollohu ’alaihi wasallam dan kaum Ahlul Bait, namun justru sebenarnya memfitnahi mereka, menjerumuskan mereka, dengan halus, namun sebenarnya amat keji.Kejam. Dan licik bahkan bebal. 

 

Jadi kemudian Syi’ah berlindung kepada kecintaan – berlebihan – terhadap golongan Ahlul Bait, dan pengikutnya. Dan namun, tak semua Ahlul Bait mau menjadi Syi’ah versi mereka ini, yang kemudian ritual ibadah dan akidahnya menjadi aneh dalam pandangan Sunni berdasarkan Al Quran dan Al Hadits.   

 

Maka inilah jasa besar 'Abdullah bin Saba, Yahudi dari Yaman itu, dalam ikut membentuk agama Syi'ah, yang sesungguhnya adalah ajaran 'aqidah dan politik Yahudi, Majusi Persia, Filsafat, Mistisme, dan dinodakan ke Islam, dan mengklaim diri sebagai Islam yang sebenarnya.  

 

(Abu Taqi Mayestino dari berbagai sumber)

Saturday, October 10, 2015

Kisah Nyata : Menabrak Polisi, Dapat Jodoh

Aku tak tahu, apakah ini kesialanku atau keberuntunganku. Satu yang kutahu, inilah jalan yang diberikan Allah untuk bertemu jodohku. Meski awalnya, aku merasa sial karena kecelakaan itu dan aku harus mengganti rugi tidak sedikit. Toh akhirnya justru kesialanku itu membawaku ketemu jodoh.

Ceritanya begini, secara tak sengaja aku menabrak seorang polisi sepulang kuliah. Tak kusangka “motor butut”-ku bisa merusak total motornya yang bernilai puluhan juta. Perasaan, mataku sudah fokus ke jalan, tak jelalatan kemana-mana. Doa juga sudah kubaca saat aku menyalakan mesin motor di parkiran I kampus.

Memang sudah apes dan inilah yang dinamakan takdir. Nggak diminta dan meski sudah hati-hati eh… nabrak juga, … polisi lagi.
Aku dan motorku sempat juga jungkir balik, Alhamdulillah lukaku tak seberapa parah, meski jidatku sempat berdarah-darah dan tanganku terkilir, serta luka lecet hamper diseluruh tubuh. Meski tak sampai membuatku pingsan, aku harus merasakan mondok tiga hari di rumah sakit.

Sementara polisi yang kutabrak tak separah aku. Tapi justru motornya yang parah, sempat aku ciut nyali saat temen-temen polisi dan orang-orang mengerumuniku. Di TKP teman-teman polisi itu justru yang marah-marah dan bersikap agak keras padaku, tapi mas polisi itu justru minta teman-temannya bersikap baik dan sabar padaku.

“Sudah, nggak papa namanya juga nggak sengaja, memang ada orang mau nabrak atau ditabrak? Jangan kasarlah aku baik saja kok. Kayaknya motor yang kena, nanti kan bisa diselesaikan baik-baik”.

Aku dibuat kagum bahkan polisi yang kutabrak itu berbaik hati mengantarku ke rumah sakit dan mengabari keluarga dirumah. Selama tiga hari itu dia juga menyempatkan diri menjengukku di rumah sakit. Kami jadi akrab karenanya.

Nah, setelah keluar dari rumah sakit aku mulai disibukkan urusan ganti rugi onderdil motor senilai puluhan juta itu. Ganti rantai saja nilainya jutaan rupiah, itu pun belum spare part lain.

Makanya hampir seluruh tabungan hasil kerja sampinganku ludes semua. Tapi aku memang harus bertanggungjawab bukan? Aku tak mau menyusahkan orangtua soal ganti rugi, hingga aku bilang ke mas polisi cuma bisa mencicil sedikit demi sedikit.

Seperti biasa, kali ini aku ke rumah mas polisi untuk mencicil ganti rugi. Ini keempat kalinya aku kesana. Sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih dia menerima “setoranku”. Dan seperti biasa pula kami ngobrol sejenak. Tak kusangka dia tiba-tiba bertanya, “sudah ada gambaran nikah belum?” tanyanya padaku sambil mesem-mesem.

“Ya kadang pingin juga mas, kerja kecil-kecilan insya Allah sudah ada, pinginnya nggak nunda-nunda, tapi jodohnya belum ada”. Jawabku sambil cengar-cengir.

“Mau sama adikku? Serius nih, orangnya pake jilbab gedhe kamu carinya kan yang kayak gitu”. Mas polisi bilang gitu mungkin karena celanaku yang “kayak orang kebanjiran” seperti temen-temen kampus yang suka meledekku.

“Bener kok, serius!” Ujarnya menegaskan.

Sore itu aku pulang dan berjanji memikirkan tawarannya. Setelah berkonsultasi dengan orang tua dua pekan kemudian kuberikan jawaban “Ya”. Tentu saja, akhwat dan keluarganya sudah tahu keadaanku yang perbedaannya ibarat langit dan bumi dengan mereka yang dari keluarga berada. Meski awalnya minder, sikap bapak akhwat yang begitu baik membuatku percaya diri, pesannya padaku singkat.

“Laki-laki yang bisa menjadi imam dan tanggungjawab, satu lagi jaga anak perempuan saya, dia sepenuhnya saya titipkan ke kamu”.

Meski diberi tanggungjawab yang tak ringan, hatiku serasa diguyur es, sejuk…. Rasanya. Aku segera pulang ke awang-awang sepulang nazhar. Mas Har, si mas polisi yang kutabrak itu mencegatku, ia menyerahkan amplop tebal padaku.

“Ini uang yang kamu titipkan padaku, ini hadiahku tapi bener ya cepet jemput bidadarimu! Ia memukul pundakku ringan dan pergi tanpa memberiku kesempatan bertanya lagi.

Masya Allah, di rumah, begitu kubuka amplop ternyata isinya uang sesuai ganti rugi motor yang kuberikan kepada mas Har. Segera kuhubungi mas Har lewat telepon, tapi ia tertawa ringan.

“Aku sudah bilang, itu untuk calon adikku”.

Berkaca-kaca saat kututup telepon sambil tak henti-hentinya bersyukur. Sudah nabrak orang, dikasih adiknya, dipercaya orangtuanya, uang ganti ruginya masih dikembalikan padaku.

Semalaman aku tak bisa tidur entah karena senang atau bingung. Uang senilai hampir sepuluh juta itu, kuberikan sebagai mahar saat akad nikah buat istri. Tepat sebulan sebelum Ramadhan.

Kini kami sudah punya 2 momongan, insya Allah beberapa bulan lagi akan bertambah seorang lagi. Mas Har menikah 2 tahun kemudian, ia baru punya satu momongan, Alhamdulillah kami semua hidup bahagia. Mas har dan istrinya juga mulai tertarik manhaj mulia ini. Dan itu menambah kebahagiaan kami.

Wallahua’lam bish Shawwab ….
Barakallahufikum ….

Sumber : Majalah nikah sakinah volume 9 no 6 dengan sedikit perbaikan tulisan viaAsliBumiAyu.wordpress.com kemudian dipublikasikan ulang oleh kisahmuslim.com

[Foto Hanya Ilustrasi]

Wednesday, October 7, 2015

Relawan Sepuh Kita Ini, Pulang ke Allah Sambil Tersenyum

KEMARIN dini hari sebuah pesan masuk lewat telefon. Di Yogyakarta, subuh masih jauh. Di Gaza, bahkan belum tengah malam. Pesan itu pesan kematian. Ada ribuan kematian di Gaza. Semuanya istimewa.

Tapi untuk Sahabat Al-Aqsha, pesan ini lebih istimewa karena sangat pribadi. Salah satu pribadi yang pernah banyak membantu tunainya amanah-amanah Anda, Allah panggil pulang. Relawan sepuh kita bernama Ahmad Abu Syusya, usia 76 tahun, wafat kemarin lusa (10/12).

Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun.

Sungguh kita semua milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita semua kembali.

Kami memanggilnya Abu Wail, panggilan sayang yang biasa dipanggilkan anggota keluarganya.

Abu Wail saksi mata peristiwa An-Nakbah. Yaitu ketika tahun 1948 terjadi puncak pembantaian, teror oleh gerombolan-gerombolan Zionis Israel yang mengusir ribuan warga Palestina 1948.

Kala itu Abu Wail berusia 10 tahun, dipaksa serdadu Zionis ikut berjalan kaki mengungsi bersama orang tuanya, dari Palestina sampai ke Kuwait, 1.200 kilometer! Ya, jalan kaki.

Ya Allah… ya Allah…

Abu Wail ini pribadi yang sungguh istimewa. Umm Wail, demikian kami memanggil istri beliau, pernah bercerita kepada relawati Sahabat Al-Aqsha, “Abu Wail sangat sayang kepada saya. Lebih dari 50 tahun kami menikah, dia tak pernah marah…”

Pertama kali kami kenal Abu Wail, Musim Panas 2008, saat Sahabat Al-Aqsha berkunjung ke kamp pengungsi Khan Danun, di pinggir kota Damaskus, Suriah. Kakek belasan cucu itu penanggung jawab kesejahteraan ratusan keluarga pengungsi.

Ia pernah mengemban amanah yang sama di ‘Adn, Yaman. Sesudah pensiun dari profesinya sebagai paramedis.

Sejak perjumpaan di Damaskus hari itu, Abu Wail lah yang menangani bantuan yang disalurkan Sahabat Al-Aqsha ke kamp Khan Danun. Diantaranya santunan anak yatim pengungsi Palestina, daging qurban, dan bantuan untuk pusat kursus menjahit bagi kaum ibu.

Abu Wail juga hafal Al-Quran 30 juz.

“Ahlan… ahlan.. ahlan…,” pria yang fasih berbahasa Inggris ini menyambut kami seperti menyambut keluarga yang sudah puluhan tahun tak berjumpa. Padahal itu hari pertama kami berkenalan.

Rupanya itulah kekhasan Abu Wail, jumpa dengan siapa saja yang lama baru ketemu, dibungkukkan sedikit tubuhnya yang jangkung dan kekar itu. Lalu tangannya membuka lebar seperti kiper siap menangkap bola. Lalu memeluk kami.

Kalau ada orang yang punya hubungan paling dekat di rombongan itu, diangkatnya tubuh orang itu sambil dipeluk. Umur 70-an pun masih kuat mengangkat tubuh orang.

Senyumnya lebar. Senyumnya lebar… ya Allah, senyum itu…

Lihat, jenazahnya pun tersenyum lebar.

[Foto]
(Berikut ini terjemahan syair yang tertulis di poster di atas, yang dibuatkan sahabatnya Muhammad Rabah itu…)

Katakanlah kepadaku

demi Rabb mu

apakah yang engkau lihat

dan membuatmu tersenyum?

Apakah kamu telah memulai

hari-hari penuh kenikmatan

wahai tuanku..

Apakah kamu telah melihat

Ja’far atau Bilal atau

kedua matamu telah lepas

dari dahaga dengan melihat

Nabi Muhammad

Shallallaahu ‘alayhi wa sallam

yang tercinta..

Mereka adalah Ahlul Quran…

Mereka adalah Ahlullah

dan orang-orang yang dipilih-Nya..

semoga Allah merahmatimu

wahai Abu Wail.

Katakanlah kepadaku

demi Rabb mu

apakah yang engkau lihat

dan membuatmu tersenyum…

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Abu Wail meninggalkan Damaskus di awal tahun 2012. Kegiatannya menolong warga Suriah yang dizhalimi rezim Basyar Assad, sudah sampai mengundang bahaya yang mengancam nyawanya.

Oleh para pemimpin Palestina di Suriah, Abu Wail termasuk yang diminta segera menyingkir. Ia boyong keluarganya, bukan ke Kuwait City, kota superkaya tempat ia dibesarkan jadi seorang paramedis profesional. Tapi ke Gaza yang sedang dikepung.

“Saya ingin Allah wafatkan saya di Tanah Ribath ini, Tanah Jihad,” katanya saat kami berkunjung Mei 2012.

Sehabis Perang Hijaratus Sijjil, Desember 2012, Sahabat Al-Aqsha singgah lagi di rumah mungilnya di kamp pengungsi Asy-Syathi’.

Abu Wail bercerita, hari-harinya dihabiskannya mengkaji Al-Quran. Beri’tikaf di masjid. Mengurus cucu. Menyemangati anak-anak dan cucu-cucunya untuk bertahan dan berjihad bersama para Mujahidin Gaza. Mencintai habis-habisan istrinya, Umm Wail, di sisa-sisa waktu yang Allah berikan. Sebelum kelak dipengantinkan lagi selama-lamanya di Firdausil A’la.

Aduh, Abu Wail…

Semakin banyak menulis ini… semakin berat rasanya kau tinggal kami duluan. Rindu senyummu. Sebaiknya cukup di sini saja.

Semoga Allah muluskan hisabmu. Tanpa hisab. Josss… langsung ke Syurganya, menjumpai para Nabi dan Rasul, para Shiddiqiin, para Syuhada, para Shalihin.

Allahumma aamiin.

[FOTO]

(Berikut ini terjemahan puisi di poster kedua, yang dibuatkan sahabatnya Muhammad Rabah)

Inikah rembulan yang menghilang

tanpa menyisakan cahaya pada kegelapan negeri Yaman

Inikah mentari yang terbenam tidak menerangi bumi Syam,

karena kafan menghalangimu

Engkau meninggalkanku

dengan lesatan api yang menghanguskanku.

Aku menjadi orang asing tanpa negeri

Dalam diam,

sedih ini telah kehilangan pelipur mata,

mengungkap perih yang terkandung hati

Aku rindu senyummu yang cahayanya

memendari bagaimana cara merindui negeri

Aku rindu teguhmu yang tinggi,

telah menanamkan jejak perjuangan

sepanjang Damaskus hingga ‘Adn

Allah menjadi saksi atas janjimu,

Ayahanda, bahwa engkau mulia dan sabar

walau coba dan uji mendera

Semoga Allah alirkan bagimu Rahmat-Nya,

sebagaimana beburung bermain di dedaunan

di antara dedahan pohon.

=================================
[Sahabat Al-Aqsha.com]

https://www.islampos.com/relawan-sepuh-kita-ini-pulang-ke-allah-sambil-tersenyum-152081/

Thursday, July 30, 2015

Kekawatiran Negeri Barat Atas Peraturan Perzinahan di Turki

(Repost)

Barat khawatir Turki memutuskan zinah sebagai kejahatan. Jika mereka yakin ideologi sekuler-liberal dan kebebasan, mengapa umat Islam tidak boleh yakin akan hukum agamanya? Harian New Straits Times edisi 15 September 2004, memuat berita berjudul “Turkish women denounce plans to criminalise adultary”. Wanita-wanita Turki mengecam rencana untuk mengkriminalkan perbuatan zina. Diceritakan, bahwa parlemen Turki sedang mendiskusikan satu Rancangan Undang-undang yang diajukan pemerintah yang isinya menetapkan perzinahan sebagai satu bentuk kejahatan kriminal. Menurut PM Turki, Recep Tayyip Erdogan, Undang-undang itu dimaksudkan untuk melindungi keluarga dan istri-istri dari perselingkuhan/perzinahan suaminya. RUU itu kemudian menimbulkan kontroversi hebat. Yang menarik, bukan kalangan dalam Turki saja yang ribut, tetapi juga pejabat-pejabat Uni Eropa. Pejabat perluasan Uni Eropa, Guenter Verheugen, menyatakan, bahwa sikap anti perzinahan dapat menciptakan imej bahwa UU di Turki mulai mendekati hukum Islam. Bahkan, Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw menyatakan, bahwa jika proposal itu disahkan sebagai Undang-undang, maka akan menciptakan kesulitan bagi Turki. 
"If this proposal, which I gather is only a proposal in respect of adultary, were to become firmly fixed into law, than that would create difficulties for Turkey".

Setelah mengalami perdebatan dan tekanan dari berbagai pihak, pemerintahan Turki akhirnya membatalkan RUU tersebut. Kasus di Turki ini menarik untuk disimak, bagaimana masalah moral yang menjadi urusan internal dalam negeri satu negeri muslim ternyata mendapat perhatian besar dari tokoh-tokoh Barat. Bahkan, dapat berdampak pada masalah politikus yang serius. Mengapa orang-orang Barat (Eropa) itu begitu khawatir jika rakyat Turki, melalui parlemen mereka, memutuskan bahwa perzinahan adalah salah satu bentuk kejahatan? Ada apa dibalik semua ini? Apakah karena mereka merupakan pelanggan tetap pelacur-pelacur Turki, sehingga dengan diundangkannya larangan perzinahan, maka mereka akan kehilangan kesempatan untuk melampiaskan syahwat mereka? Mengapa mereka tidak membiarkan saja, sesuai jargon demokrasi liberal mereka, rakyat Turki untuk menentukan apa yang baik dan buruk untuk mereka? Mengapa langsung saja mereka mengingatkan, bahwa undang-undang itu akan mendekatkan Turki kepada Islam? Mengapa? Banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan. Tetapi, menarik untuk mencermati masalah ini dari sudut konflik peradaban dan menelaah kembali ramalan-ramalan ilmuwan terkenal Francis Fukuyama yang ditulis dalam bukunya “The End of History and The Last Man.” Kasus Turki ini menunjukkan, bahwa ramalan-ramalan Fukuyama, yang kadang dipopulerkan sebagai “teori”, tentang “akhir sejarah” umat manusia adalah tidak tidak benar. Sebagaimana diketahui, Fukuyama merupakan ilmuwan yang sangat terkenal setelah Era Perang Dingin, bersamaan dengan nama Samuel P. Huntington. Sebagaimana Huntington yang menulis bukunya setelah perdebatan panjang tentang artikelnya ‘The Clash of Civilizations?’ di Jurnal Foreign Affairs (summer 1993), buku Fukuyama itu juga merupakan pengembangan dari artikelnya ‘The End of History?’ di jurnal The National Interest (summer 1989). Dalam makalahnya tersebut, Fukuyama, mencatat, bahwa setelah Barat menaklukkan rival ideologisnya -- monarkhi herediter, fasisme, dan komunisme – dunia telah mencapai satu konsensus yang luar biasa terhadap demokrasi liberal. Ia berasumsi, bahwa demokrasi liberal adalah semacam titik akhir dari evolusi ideologi atau bentuk final dari bentuk pemerintahan. Dan ini sekaligus sebuah ‘akhir sejarah’ (the end of history). ("A remarkable consensus concerning the legitimacy of liberal democracy as a system of government had emerged throughout the world over the past few years, as it conquered rival ideologies like hereditary monarchy, fascism, and most recently communism. More than that, however, I argued that liberal democracy may constitute the “end point of mankind’s ideological evolution” and the “final form of human government,” and as such constituted the “end of history".) 

Dalam bukunya, Fukuyama memasang sederet negara yang pada tahun 1990-an memilih sistem demokrasi-liberal, sehingga ini seolah-olah menjadi indikasi, bahwa - sesuai Ramalan Hegel - maka akhir sejarah umat manusia adalah kesepakatan mereka untuk menerima Demokrasi Liberal. Tahun 1790, hanya tiga negara, AS, Swiss, dan Perancis, yang memilih demokrasi liberal. Tahun 1848, jumlahnya menjadi 5 negara; tahun 1900, 13 negara; tahun 1919, 25 negara, 1940, 13 negara; 1960, 36 negara; 1975, 30 negara; dan 1990, 61 negara. Pada ‘akhir sejarah’, kata Fukuyama, tidak ada lagi tantangan ideologis yang serius terhadap Demokrasi Liberal. Di masa lalu, manusia menolak Demokrasi Liberal sebab mereka percaya bahwa Demokrasi Liberal adalah inferior terhadap berbagai ideologi dan sistem lainnya. Tetapi, sekarang, katanya, sudah menjadi konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam, untuk menerapkan Demokrasi Liberal. Ia menulis:  “At the end of history, there are no serious ideological competitors left to Liberal Democracy. In the past, people rejected Liberal Democracy because they believed that it was inferior to monarchy, aristocracy, theocracy, fascism, communist totalitarianism, or whatever ideology they happenned to believed in, But now, outside the Islamic world, there appears to be a general consensus that accpets liberal democracy’s claims to be the most rational form of government, that is, the state that realizes most fully either rational desire or rational recognition.” 

Pendapat Fukuyama bahwa pada masa akhir sejarah tidak ada tantangan serius terhadap Demokrasi Liberal dan umat manusia - di luar dunia Islam - telah terjadi konsensus untuk menerapkan Demokrasi Liberal adalah merupakan statemen yang sangat debatable. Dalam memandang ‘demokrasi’, Fukuyama mengadopsi pendapat Huntington, tentang perlunya proses sekularisasi sebagai prasyarat dari demokratisasi. Karena itu, ketika Islam dipandang ‘tidak compatible’ dengan demokrasi, maka dunia Islam juga tidak kondusif bagi penerapan demokrasi yang bersifat sekular sekaligus liberal. Dalam kajiannya tentang Gelombang ketiga demokratisasi, Huntington menyebutkan: “Tampaknya masuk akal menghipotesakan bahwa meluasnya agama Kristen mendorong perkembangan demokrasi.” Fukuyama menyorot dua kelompok agama yang menurutnya sangat sulit menerima demokrasi, yaitu Yahudi Ortodoks dan Islam fundamentalis. Keduanya dia sebut sebagai “totalistic religious” yang ingin mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat publik maupun privat, termasuk wilayah politik. Meskipun agama-agama itu bisa menerima demokrasi, tetapi sangat sulit menerima liberalisme, khususnya tentang kebebasan beragama. Karena itulah, menurut Fukuyama, tidak mengherankan, jika satu-satunya negara Demokrasi Liberal di dunia Islam adalah Turki, yang secara tegas menolak warisan tradisi Islam dan memilih bentuk negara sekular di awal abad ke-20.  
Klaim-klaim Fukuyama tentang “konsensus umat manusia terhadap demokrasi liberal” dan “tidak adanya tantangan ideologis yang serius terhadap demokrasi liberal saat ini” sebenarnya sangatlah lemah dan paradoks dengan sikap negara-negara Barat sendiri. Itulah yang terlihat dalam kasus RUU anti-perzinahan di Turki. Tindakan Barat yang mengancam Turki soal RUU anti-perzinahan itu, membuktikan bahwa Barat memandang Islam secara paranoid, sebagai tantangan serius secara ideologis terhadap Demokrasi Liberal. Mereka masih terbukti sangat khawatir terhadap munculnya negara yang menerapkan ideologi Islam. Kita bisa mengingat kembali, bagaimana kuatnya dukungan Barat terhadap pembatalan Pemilu di Aljazair yang dimenangkan oleh FIS, padahal sikap itu justru bertentangan dengan demokrasi yang mereka kampanyekan. Menurut Christoper Ogden (dalam artikel "View from Washington", Times, 3 Februari 1992), tindakan AS yang mendukung permainan kekuasaan antidemokrasi merupakan suatu tindakan yang sangat keliru. Sikap AS dan Perancis yang menyatakan bahwa kudeta Aljazair "konstitusional", tidak lain merupakan gejala penyakit gila paranoid (ketakutan tanpa dasar) terhadap Muslim Fundamentalis. Ogden menulis bahwa nonsense menyatakan AS tidak dapat mempengaruhi perubahan di Aljazair. Seperti disebutkan terdahulu, pasca runtuhnya Komunisme, justru Barat menerapkan pandangan yang paranoid dan berlebihan terhadap Islam. Itu bisa disimak dari berbagai perlakuan yang diterima kaum Muslim yang memasuki negara-negara Barat setelah peristiwa 11 September 2001. Hanya karena namanya berbau Islam, atau wajahnya bercorak Arab, maka seseorang yang memasuki negara-negara Barat dapat menerima perlakuan yang tidak manusiawi. 
Koran Utusan Malaysia, edisi 15 September 2004, juga menurunkan tulisan Kamaruzaman Mohamad, seorang wartawan senior Malaysia yang baru-baru mengikuti pertemuan wartawan di AS. Ia menulis artikel berjudul “11 Sept. Ubah polisi AS”. (dalam bahasa Indonesia, artinya: 11 September Ubah Kebijakan AS). 
Diceritakan, bahwa kebijakan anti-terorisme memang pada kenyataannya, ditujukan kepada semua orang Islam. Itu dialami oleh semua orang Islam yang memasuki AS, yang secara dicurigai sebagai teroris atau mendukung teroris, sehingga harus diperlakukan khusus saat memasuki negara itu. Hanya karena namanya Islam, Ia diperiksa ketat, tasnya dibuka tanpa pengetahuannya, dan prosedur ketat lainnya. Ia bertanya, mengapa hanya orang Islam saja yang diperlakukan seperti itu? Mengapa orang bukan Islam mudah-mudah saja memasuki AS? Apakah yang melakukan tindakan terorisme hanya orang Islam? Mungkin, tindakan ketat semacam itu, sebagaimana diceritakan oleh Kamaruzaman, tidak berlaku atas orang-orang dari kalangan Muslim yang jelas-jelas sudah dikenal sebagai “The Darling of Washington” yang mengabdikan hidup dan matinya demi menyebarkan nilai-nilai dan pandangan hidup yang diridhoi oleh AS. 

Sebuah buku berjudul “Painting Islam as the New Enemy” (2003), karya Abdulhay Y. Zalloum, cukup memberikan gambaran, bagaimana rekayasa kelompok-kelompok garis keras di AS, termasuk Wolfowitz, Rumsfeld, dan Huntington, untuk membuat skenario politik internasional pasca Perang Dingin. Kelompok inilah yang menskenario tampilnya Presiden George W. Bush, dan kemudian mempengaruhi jalannya politik internasional hingga saat ini. Pada akhirnya, pasca Perang Dingin, mereka menskenario, untuk menempatkan Islam sebagai musuh utama. Aksi terorisme yang dilakukan umat Islam akan dicap sebagai terorisme, sementara aksi teror terhadap penduduk Muslim akan dikspose sebagai tindakan mulia untuk memberantas teroris. Tajuk Koran Utusan Malaysia juga mengupas tentang isu terorisme (keganasan), yang berjudul “Melihat keganasan dari dua sudut”. Tajuk ini mempertanyakan, “Apakah bedanya serangan bom yang dilancarkan oleh kumpulan Jemaah Islamiyah (JI) dengan serangan bom yang dilakukan oleh AS?” Kasus respon Barat terhadap RUU anti-perzinahan di Turki juga menunjukkan, begitu takutnya Barat terhadap kembalinya Islam ke dalam kehidupan masyarakat dan politik di Turki. Barat tidak ribut dengan dominannya cengkeraman kristen fundamentalis dalam politik di AS, tetapi khawatir sekali dengan Islam. Sebab, masa lalu Turki adalah masa lalu yang penuh kegemilangan, ketika mereka masih di bawah kekuasaan Utsmani. Setelah kalah dari Barat, Turki diwajibkan sekular, dan tidak secara “sukarela” untuk menjadi sekular. Adalah salah besar klaim Fukuyama, bahwa telah terjadi konsensus umat manusia terhadap demokrasi liberal. Jika ia memuji Turki sebagai satu-satunya negara yang menerapkan demokrasi liberal di dunia Islam, maka Fukuyama mestinya mengungkap fakta, bahwa demokrasi liberal dan sekularisme di Turki ditegakkan dengan tangan besi dan kekuasaan yang kejam. 

Kasus yang menimpa PM Erbakan, yang hanya berkuasa selama 18 bulan, bisa disimak. Karena dianggap mengancam prinsip negara sekular, Erbakan dijatuhkan. Penggantinya, Mesut Yilmaz dari Partai Ibu Pertiwi, menyatakan: “Negara ini butuh pemerintahan yang kuat yang mampu mempertahankan sistem sekular." Babak-babak berikutnya adalah kehidupan yang penuh represif terhadap kaum muslim Turki. Di bawah jargon “mempertahankan sistem sekular”, pemerintahan sekuler Yilmaz yang disokong penuh oleh militer dan Barat bertindak tidak demokratis (otoriter). Setelah Erbakan diturunkan, Partai Refah dilarang. Sekularisasi diberlakukan dengan ketat. Wanita-wanita muslimah dilarang mengenakan jilbab di kantor-kantor pemerintah dan di kampus. Sekolah-sekolah agama ditutup. Jam siaran agama di TV dipangkas. Turunnya Erbakan dapat dikatakan sebagai jalan terbaik untuk menghindari terjadinya kudeta militer, sebagaimana terjadi pada tahun 1960. Kasus tahun 1960 itu hampir sama dengan kasus yang menimpa Erbakan. Pada pemilihan umum tahun 1950, Partai Demokrasi pimpinan Adnan Mandaris unggul atas Partai Republik bentukan Musthafa Kemal Attaturk, Bapak Sekularis Turki.

Selama 10 tahun berkuasa, Adnan Mandaris berusaha menempatkan Islam kembali dalam masyarakat Turki, dengan cara yang sangat halus. Di masa Mandaris, azan kembali dikumandangkan dalam bahasa Arab (sebelumnya dilakukan dalam bahasa Turki; Lafazh Allahu Akbar diganti dengan Allahul Buyuk), masjid-masjid yang telah dihancurkan direnovasi, fakultas teologi dibuka kembali, dan sejumlah lembaga tahfidzul Quran muncul kembali.
Meskipun yang dilakukan oleh Mandaris adalah sangat manusiawi dan jauh dari sikap radikal, akan tetapi kebijakan-kebijakan Mandaris itu dianggap sebagai kejahatan oleh kaum Sekular Turki, terutama kelompok militer yang bertindak sebagai penjaga gawang sekulerisme. 
Di Turki, salah satu fungsi militer adalah sebagai National Security Guard (NSC). Mandaris dituduh menciptakan pemerintahan yang primitif, statis, berkhianat terhadap ajaran Kemal Attaturk, mengancam demokrasi, merusak struktur hukum, dan lain sebagainya. Sebagai “hukuman” terhadap Mandaris, pada tahun 1960, terjadi kudeta militer dan Mandaris bersama Ketua Parlemen Bulatuqan dan Menteri Luar Negeri Fatin Zaurli dihukum mati. Attaturk sendiri menjalankan pemerintahan sekularnya secara diktator. Ia tak segan-segan menghukum mati orang-orang yang enggan kepada pemerintahan Kemalis. Pada tanggal 13 Juli 1926, 15 orang digantung dimuka umum. Tahun 1930, 800 orang anti-Kemalis ditangkap dan dihukum mati. Tahun 1931, keluar peraturan yang melarang media massa mengeluarkan propaganda yang dianggap membahayakan pemerintahan sekular Kemalis. Selama 80 tahun lebih Turki telah berkhidmat kepada Barat, mengikuti prinsip sekularisme, tetapi nasib mereka masih belum berubah. Uni Eropa masih tetap menolak permohonan Turki untuk bergabung. Turki diwajibkan menjadi negara sekular. Dia dipuji Fukuyama sebagai satu-satunya negara demokrasi liberal di dunia Islam. Tetapi pada saat yang sama dia tidak boleh menjalankan prinsip dan mekanisme demokrasi ketika demokrasi itu digunakan untuk menyepakati hal-hal yang sesuai dengan Islam, seperti kriminalisasi perzinahan.

Itulah prinsip Barat dalam berdemokrasi liberal: wajib sekular, wajib anti-Islam! Di kalangan Muslim, kadangkala ada yang tidak peduli akan hal ini. Mereka berteriak-teriak menuding orang Islam yang mereka katakan “menghegemoni kebenaran”, tetapi pada saat yang sama, mereka menutup mata terhadap perilaku “tuannya” yang juga melakukan hegemoni kebenaran dengan memaksakan sekularisme kepada umat manusia, dan menghalang-halangi umat Islam untuk menerapkan keyakinannya.

Jika Barat dan pengikutnya yang sekular-liberal yakin dengan ideologinya, yakin dengan sekular dan liberalnya, yakin dengan kebebasan zina dan homoseksualnya, yakin dengan kemaslahatan pelacuran dan kebebasan ekspresi pornografinya, lalu mengapa umat Islam tidak boleh yakin akan keagungan Tuhan dan hukum-hukum-Nya?
: