KEMARIN dini hari sebuah pesan masuk lewat telefon. Di Yogyakarta, subuh masih jauh. Di Gaza, bahkan belum tengah malam. Pesan itu pesan kematian. Ada ribuan kematian di Gaza. Semuanya istimewa.
Tapi untuk Sahabat Al-Aqsha, pesan ini lebih istimewa karena sangat pribadi. Salah satu pribadi yang pernah banyak membantu tunainya amanah-amanah Anda, Allah panggil pulang. Relawan sepuh kita bernama Ahmad Abu Syusya, usia 76 tahun, wafat kemarin lusa (10/12).
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun.
Sungguh kita semua milik Allah dan sungguh kepada-Nya kita semua kembali.
Kami memanggilnya Abu Wail, panggilan sayang yang biasa dipanggilkan anggota keluarganya.
Abu Wail saksi mata peristiwa An-Nakbah. Yaitu ketika tahun 1948 terjadi puncak pembantaian, teror oleh gerombolan-gerombolan Zionis Israel yang mengusir ribuan warga Palestina 1948.
Kala itu Abu Wail berusia 10 tahun, dipaksa serdadu Zionis ikut berjalan kaki mengungsi bersama orang tuanya, dari Palestina sampai ke Kuwait, 1.200 kilometer! Ya, jalan kaki.
Ya Allah… ya Allah…
Abu Wail ini pribadi yang sungguh istimewa. Umm Wail, demikian kami memanggil istri beliau, pernah bercerita kepada relawati Sahabat Al-Aqsha, “Abu Wail sangat sayang kepada saya. Lebih dari 50 tahun kami menikah, dia tak pernah marah…”
Pertama kali kami kenal Abu Wail, Musim Panas 2008, saat Sahabat Al-Aqsha berkunjung ke kamp pengungsi Khan Danun, di pinggir kota Damaskus, Suriah. Kakek belasan cucu itu penanggung jawab kesejahteraan ratusan keluarga pengungsi.
Ia pernah mengemban amanah yang sama di ‘Adn, Yaman. Sesudah pensiun dari profesinya sebagai paramedis.
Sejak perjumpaan di Damaskus hari itu, Abu Wail lah yang menangani bantuan yang disalurkan Sahabat Al-Aqsha ke kamp Khan Danun. Diantaranya santunan anak yatim pengungsi Palestina, daging qurban, dan bantuan untuk pusat kursus menjahit bagi kaum ibu.
Abu Wail juga hafal Al-Quran 30 juz.
“Ahlan… ahlan.. ahlan…,” pria yang fasih berbahasa Inggris ini menyambut kami seperti menyambut keluarga yang sudah puluhan tahun tak berjumpa. Padahal itu hari pertama kami berkenalan.
Rupanya itulah kekhasan Abu Wail, jumpa dengan siapa saja yang lama baru ketemu, dibungkukkan sedikit tubuhnya yang jangkung dan kekar itu. Lalu tangannya membuka lebar seperti kiper siap menangkap bola. Lalu memeluk kami.
Kalau ada orang yang punya hubungan paling dekat di rombongan itu, diangkatnya tubuh orang itu sambil dipeluk. Umur 70-an pun masih kuat mengangkat tubuh orang.
Senyumnya lebar. Senyumnya lebar… ya Allah, senyum itu…
Lihat, jenazahnya pun tersenyum lebar.
[Foto]
(Berikut ini terjemahan syair yang tertulis di poster di atas, yang dibuatkan sahabatnya Muhammad Rabah itu…)
Katakanlah kepadaku
demi Rabb mu
apakah yang engkau lihat
dan membuatmu tersenyum?
Apakah kamu telah memulai
hari-hari penuh kenikmatan
wahai tuanku..
Apakah kamu telah melihat
Ja’far atau Bilal atau
kedua matamu telah lepas
dari dahaga dengan melihat
Nabi Muhammad
Shallallaahu ‘alayhi wa sallam
yang tercinta..
Mereka adalah Ahlul Quran…
Mereka adalah Ahlullah
dan orang-orang yang dipilih-Nya..
semoga Allah merahmatimu
wahai Abu Wail.
Katakanlah kepadaku
demi Rabb mu
apakah yang engkau lihat
dan membuatmu tersenyum…
Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Abu Wail meninggalkan Damaskus di awal tahun 2012. Kegiatannya menolong warga Suriah yang dizhalimi rezim Basyar Assad, sudah sampai mengundang bahaya yang mengancam nyawanya.
Oleh para pemimpin Palestina di Suriah, Abu Wail termasuk yang diminta segera menyingkir. Ia boyong keluarganya, bukan ke Kuwait City, kota superkaya tempat ia dibesarkan jadi seorang paramedis profesional. Tapi ke Gaza yang sedang dikepung.
“Saya ingin Allah wafatkan saya di Tanah Ribath ini, Tanah Jihad,” katanya saat kami berkunjung Mei 2012.
Sehabis Perang Hijaratus Sijjil, Desember 2012, Sahabat Al-Aqsha singgah lagi di rumah mungilnya di kamp pengungsi Asy-Syathi’.
Abu Wail bercerita, hari-harinya dihabiskannya mengkaji Al-Quran. Beri’tikaf di masjid. Mengurus cucu. Menyemangati anak-anak dan cucu-cucunya untuk bertahan dan berjihad bersama para Mujahidin Gaza. Mencintai habis-habisan istrinya, Umm Wail, di sisa-sisa waktu yang Allah berikan. Sebelum kelak dipengantinkan lagi selama-lamanya di Firdausil A’la.
Aduh, Abu Wail…
Semakin banyak menulis ini… semakin berat rasanya kau tinggal kami duluan. Rindu senyummu. Sebaiknya cukup di sini saja.
Semoga Allah muluskan hisabmu. Tanpa hisab. Josss… langsung ke Syurganya, menjumpai para Nabi dan Rasul, para Shiddiqiin, para Syuhada, para Shalihin.
Allahumma aamiin.
[FOTO]
(Berikut ini terjemahan puisi di poster kedua, yang dibuatkan sahabatnya Muhammad Rabah)
Inikah rembulan yang menghilang
tanpa menyisakan cahaya pada kegelapan negeri Yaman
Inikah mentari yang terbenam tidak menerangi bumi Syam,
karena kafan menghalangimu
Engkau meninggalkanku
dengan lesatan api yang menghanguskanku.
Aku menjadi orang asing tanpa negeri
Dalam diam,
sedih ini telah kehilangan pelipur mata,
mengungkap perih yang terkandung hati
Aku rindu senyummu yang cahayanya
memendari bagaimana cara merindui negeri
Aku rindu teguhmu yang tinggi,
telah menanamkan jejak perjuangan
sepanjang Damaskus hingga ‘Adn
Allah menjadi saksi atas janjimu,
Ayahanda, bahwa engkau mulia dan sabar
walau coba dan uji mendera
Semoga Allah alirkan bagimu Rahmat-Nya,
sebagaimana beburung bermain di dedaunan
di antara dedahan pohon.
=================================
[Sahabat Al-Aqsha.com]
https://www.islampos.com/relawan-sepuh-kita-ini-pulang-ke-allah-sambil-tersenyum-152081/
No comments:
Post a Comment