: Bait Bait Jiwa: April 2017

Wednesday, April 12, 2017

Perawat terbebani dengan 25 SKP, Biaya pelatihan mahal


Memasuki tahun 2013, tenaga kesehatan wajib menjalani Uji Kompetensi agar dapat Surat Tanda Registrasi (STR). Apa bila tanpa STR, bisa dianggap ilegal melakukan praktek klinik di Pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan tamat kuliah di bawah tahun 2012, mengalami pemutihan, dapat STR tanpa ujian.

STR ditelorkan oleh Pemerintah dengan tujuan meningkatkan kualitas dan kompetensi dalam rangka melindungi masyarakat. Tidak saja Perawat, seluruh tenaga kesehatan yang ada di Indonesia wajib memiliki STR. Kepastian peraturan itu, tertuang dalam PERMENKES RI NO. 1796/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang Registrasi Tenaga Kesehatan.

Selain tujuan tertulis, penulis berpendapat Peraturan ini lahir sebagai tameng untuk menangkis lulusan STIKes yang menjamur bak cendawan tumbuh setelah hujan. Tidak ada jaminan lulusan tersebut memiliki kompetensi yang bagus.

Di postingan ini, penulis mengerucutkan khusus tenaga Perawat. Bahwa, tiap tahun Tamatan Akper/ STIKes baik negri maupun swasta di Indonesia sebanyak 26.928 orang. Dan, masih tidak ada jaminan tamatan ribuan tersebut memiliki kompetensi standar nasional.

Memang tidak semuanya diserap oleh bursa kerja, penuturan Sekjen PPNI, Harif Fadhillah pada wartawan Kompas (2011), bahwa hanya 4-10 persen dari 26.928 orang yang dapat pekerjaan, baik di instansi pemerintah, maupun swasta. Sisanya menguap entah kemana?

Bagi yang belum dapat pekerjaan, dan yang akan tamat, jika ingin jadi Perawat yang kompeten harus ikuti uji kompetensi yang diselenggarakan Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). MTKI memiliki kewenangan penuh mengeluarkan sertifikat, dan apabila punya sertifikat kompetensi, maka berhak mendapatkan STR. 

STR ini penting, selain keharusan sebagai warga negara taat hukum, juga penting untuk syarat melamar kerja, tanpa STR, pihak Klinik atau Rumah Sakit tidak dibenarkan merekrut.

STR berlaku 5 tahun, setelah masa habis, wajib diperpanjang. Syarat memperpanjang STR ini terasa memberatkan. Perawat harus mengumpulkan Satuan Kredit Profesi (SKP)  minimal 25 SKP selama 5 tahun. SKP didapatkan melalui pelatihan, seminar, workshop dan kegiatan ilmiah. Nilai SKP ditentukan oleh organisasi profesi. 

Kurang enam tahun jadi Perawat (2007-2013), saya hanya mampu mengumpulkan nilai 7 SKP, angka tersebut saya dapatkan dari pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) dengan nilai 3, dan ditambah 2 pada Pertemuan Ilmiah Tahunan HIPKABI. Dan, 2 SKP lagi saya dapatkan pada Seminar bertajuk " Uji Kompetensi bagi Perawat" yang diadakan alumni di bekas kampus.

Mengikuti seminar,pelatihan dan temu ilmiah yang mampu menghasilkan nilai SKP bukan saya tidak mau. Malahan senang, ilmu terupdate, sahabat bertambah dan wawasan juga semakin luas. Tapi, biaya mengikuti kegiatan yang dimaksud, mahalnya lumayan ampun. Sebut saja pelatihan BTCLS, kisaran biaya pendaftaran 4-6 juta, belum termasuk akomodasi dan transportasi. Begitu juga dengan pelatihan yang lain, mahal. 

Untuk memenuhi syarat perpanjangan STR ini, saya pribadi merasa keberatan. Bagaimana dengan Perawat honorer, tentu mereka berfikir seribu kali untuk ikut, gaji saja tidak cukup untuk makan. 

Yang jadi pertanyaan mendasar, Apakah tanpa STR  Perawat dikatakan tidak memiliki kompetensi atau berkompeten? Merunut dari pengertian Uji kompetensi dalam Bab 1, pasal 1, ayat 3,  Uji Kompetensi adalah suatu proses untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap tenaga kesehatan sesuai dengan standar profesi. Jika hanya mengukur pengetahuan, ketrampilan, dan sikap rasanya tidak perlu dipaksakan harus mengumpulkan 25 SKP. Banyak cara untuk belajar, tidak mutlak harus pelatihan,atau temu ilmiah,dll.

Jika hanya untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap. MTKI cukup dengan serangkaian tes/uji saja, baik ujian tulis, maupun ujian praktek dan wawancara.

Berhubung Permenkes No. 1796 baru mulai dijalankan, hendaknya segenap organisasi profesi, terutama PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) menyelenggarakan kegiatan ilmiah yang murah dan mudah bagi anggota agar kuota SKP terpenuhi. Jika tidak, secara tidak langsung Perawat (tidak) berkompeten telah tersingkir dari profesinya.

Pelatihan Pencerahan Suara Hati, 
Dapat Sertifikat tanpa nilai SKP. (2013)

Salam,

Anton Wijaya

Referensi:
http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_permenkes/PMK%20No.%201796%20ttg%20Registrasi%20Tenaga%20Kesehatan.pdf
http://regional.kompas.com/read/2011/12/03/03301290/Lulusan.Perawat.Hanya.Terserap.4-10.Persen

PPNI Harus Gelar Pendidikan dan Pelatihan Murah Untuk Perawat

Malang nian nasib Perawat yang bergaji pas-pasan atau Perawat kontrak ataupun honorer. Gaji mereka bisa-bisa hanya untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi saja, seperti memperpanjang STR, mereka wajib mengumpulkan 25 SKP (Satuan Kredit Profesi), hal tersebut diatur oleh Permenkes nomor 1796 tahun 2011.

Bagi Perawat yang tidak mampu mengumpulkan 25 SKP selama 5 tahun, maka Perawat bersangkutan akan terhalang, tidak memenuhi salah satu syarat untuk memperpanjang STR yang dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI). Sedangkan STR syarat penting untuk bisa bekerja sebagai Perawat.

Untuk mendapatkan 25 SKP, Perawat wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh badan/institusi pelatihan yang terakreditasi. Dalam 1 kali pelatihan atau kegiatan ilmiah Perawat bisa mendapatkan 1 hingga 2 SKP. Artinya dalam 1 tahun Perawat harus mengikuti minimal 3 hingga 4 kali pendidikan dan pelatihan.

Syarat Pengurusan STR Menurut Undang-Undang Keperawatan ?

Undang-undang Keperawatan nomor 38 tahun 2014 yang mana mengatur seluruh Perawat Indonesia belum menunjukan progress signifikan dalam mengatur tentang registrasi Perawat, yakni belum terbentuknya Konsil Keperawatan sebagai pengganti peran MTKI.

Dalam Undang-undang Keperawatan, pada pasal 18 mengatur tentang tata cara pelaksanaan Registrasi Perawat. Yang berwenang mengeluarkan STR Perawat adalah Konsil Keperawatan, namun hingga saat ini (2016) Konsil Keperawatan itu belum terbentuk. Adapun persyaratan untuk Registrasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pasal 18  meliputi:
memiliki STR lama; memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi; memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi;telah mengabdikan diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidangnya;memenuhi kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur oleh Konsil Keperawatan. Dan, mengenai tata cara Registrasi dan Registrasi ulang diatur dalam peraturan konsil keperawatan. Demikian tertulis dalam pasal 18 tentang Registrasi.

Pertanyaannya, apakah peraturan Konsil Keperawatan yang belum terbentuk, senantiasa mirip dengan Permenkes nomor 1796 tahun 2011, yang mana Perawat wajib mengumpulkan 25 SKP selama 5 tahun?Penulis belum mendapat jawaban akan hal itu. Jadi kita sama-sama menunggu jawabannya.
Sumber : Undang-undang Kesehatan 
Nomor 36 Tahun 2014Terkait pembentukan Konsil keperawatan ini, diperkuat oleh Undang-undang kesehatan nomor 36 tahun 2014, tertuang pada pasal 44 dan pasal 45. Bahwa, mengenai tata cara Registrasi dan Registrasi ulang tenaga kesehatan diatur oleh peraturan masing masing Konsil Tenaga Kesehatan. Tentunya, kalau Perawat, mengacu pada peraturan Konsil Keperawatan.

Kembali ke SKP, perlu jadi kajian dan pertimbangan oleh pengurus Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). Jika Konsil Keperawatan telah terbentuk, dan seandainya mengadopsi salah satu syarat memperpanjang STR, bahwa Perawat wajib mengumpulkan 25 SKP, maka penulis berharap  PPNI harus mampu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang murah untuk anggota.

Merupakan rahasia umum, bahwa pelatihan yang sering hadir dikalangan tenaga kesehatan kental aroma bisnis, meskipun dibalut dengan pesona "ilmiah" bertujuan hanya meraup keuntungan sebesar-besarnya, pastinya biaya mengikuti pelatihan mahal. Jelas, bagi Perawat bergaji pas-pasan akan keberatan, apa lagi Perawat honorer/kontrak akan kesulitan untuk memenuhi syarat demikian. Okelah bagi Perawat yang dapat sponsor dari instansi atau pemerintah daerah, tapi apakah anggaran cukup mengirim Perawat 3-4 kali dalam 1 tahun? Dan, bagaimana pula bagi Perawat yang tidak punya sponsor dan bergaji pas-pasan? Otomatis akan berhenti jadi Perawat, karena tidak bisa memperpanjang STR.

Solusi ?

Pada dasarnya, penulis setuju bahwa Perawat wajib meningkatkan kemampuan dan skill melalui pendidikan pelatihan berkelanjutan. Namun, penulis khawatir akan kebijakan pendidikan dan pelatihan yang wajib diikuti perawat dan   diselenggarakan oleh badan/ institusi hanya sebagai lahan bisnis yang menambah beban Perawat. Benar 25 SKP hanya sedikit, kira-kira kurang lebih selama 5 tahun Perawat harus mengikuti 20-25 kali mengikuti pelatihan. Tapi, terasa berat diongkos.

Terkait : Tenaga Kesehatan Tidak Kompeten Tersingkir Oleh Permenkes  Nomor 1796

Idealnya, PPNI sebagai wadah berkumpulnya Perawat, pengurus harus menyelenggarakan pelatihan murah dan terjangkau bagi Perawat yang berkantong pas-pasan. PPNI sebagai Organisasi yang melegitimasi stempel pada sertifikat pelatihan, sangat berpotensi dan memiliki kekuatan untuk melakukan itu. Agar Perawat tidak tersingkir dari profesinya gara-gara STR tidak bisa diperpanjang. (AntonWijaya)

: